21

1.4K 118 27
                                    

***

"Shit!" umpat Maya untuk ke sekian kali.

Di tangan menggenggam kaleng bir, mata sayu menatap nyalang pada orang-orang yang berlalu lalang di depan.

"Sombong! Sok jago! Ngelawan gue juga gue yakin lo kalah, Lonte!" maki Maya lagi, pada udara kosong.

Target makian adalah empat gadis tadi siang yang ditemui, berani sekali mereka menghina terang-terangan. Selama ini Maya selalu percaya diri dengan penampilan, cantik, mempesona walaupun masih duduk di bangku akhir tahun SMP.

Untuk ke sekian kali Maya ditolak saat meminta bergabung dengan geng Demonic Kings. Tujuan masuk geng itu adalah tentu saja ingin ditakuti dan bebas, belum lagi anggotanya adalah orang kaya dan tampan, Maya yakin kalau berhasil masuk ke dalam geng itu maka cukup mudah untuk menggaet dua atau tiga laki-laki kaya.

Maya bahkan harus merengek, memaksa pada Miranda untuk dibelikan mobil sport yang harganya bisa membeli rumah baru.

"Mentang-mentang udah jadi anggota geng, sok iya banget," cibir Maya lagi, melempar kaleng kosong begitu selesai menenggak tetes terakhir.

Bangkit dari duduk dengan sempoyongan karena sudah setengah mabuk, menyampirkan tas di pundak kiri, lalu berjalan meninggalkan tongkrongan.

"Ke mana, May?" tanya salah satu gadis melihat Maya keluar tempat berkumpul mereka.

"Pulang," balas Maya, melambaikan tangan dengan lemah sambil terus berjalan menuju mobil.

Memasuki mobil sesekali masih sambil mengumpat kesal, menjalankan dengan kecepatan tinggi. Belum cukup jauh dari tempat tongkrongan, mobil nahas menabrak tiang lampu jalan hingga bumper bagian depan penyok.

Orang-orang sekitar mulai mendekat melihat insiden cepat itu, ambulance dihubungi untuk datang, seketika tempat semakin ramai.

***

Radia merintih di tengah tidur, bergerak gelisah dengan tangan meremas baju bagian perut. Meringis merasakan sakit luar biasa pada perut bawah, membuat Reiki yang tidur di posisi memeluk jadi terusik.

"Kenapa, Ra?" tanya Reiki mengangkat kepala dari leher Radia untuk menatap, mengerjai berkali-kali karena sangat mengantuk.

"Sa-kit," lirih Radia pelan menjawab, membuka mata yang tertutup dan balas menatap Reiki dengan linangan airmata.

Reiki mengusap wajah sebelum berguling mengulurkan tangan ke meja nakas, menyalakan lampu kamar agar pencahayaan menerpa kondisi sekitar yang temaram.

"Apa yang sakit? Di mana?" tanya Reiki setelah berguling kembali.

Radia tidak menjawab, malah terisak dan meringkuk memegang perut, membuat Reiki panik melihat tangis kesakitan itu.

"Perut yang sakit? Kenapa? Salah makan? Bilang sama gua, Ra. Kalo lu nangis gini gua gak ngerti," kata Reiki mengacak rambut duduk di samping Radia yang meringkuk.

"Perut ... sakit," jawab Radia terbata-bata menahan sakit.

Reiki sibak selimut untuk mengecek perut yang dikatakan sakit, ingin gadis itu tiduran telentang, tapi mata segera membola menangkap bercak merah pada seprei.

Tidak bisa berpikir jernih, Reiki bangkit dengan tergesa-gesa, turun dari kasur untuk meraih jaket di gantungan dekat lemari dan mengenakan. Mendekati sisi ranjang lain, lalu menggendong gadis itu yang terus merintih.

"Tahan bentar, kita ke rumah sakit," kata Reiki gusar, keringat dingin sebesar biji jagung menggantung di pelipis saat membawa Radia keluar kamar.

Menekan digit angka pengunci pintu, keluar apartemen dengan berlari seperti orang kerasukan.

Stay With Me { Tamat }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang