33

1.3K 107 22
                                    

***

"Aku yang mau Rei naik, jangan marahin," kata Radia dengan mempertahankan tangan Reiki untuk tetap memeluknya.

Reiki mengulas senyum sengit melirik Dina yang mau tidak mau tidak bisa membahas lagi jika sudah keinginan Radia. Detik selanjutnya memukul tangan Dina untuk melepaskan telinga dan langsung menatap sepenuhnya pada Radia.

Baru saja Radia ingin menggerakkan tubuh untuk duduk, tapi urung karena linu langsung menyerang luka di perut, padahal saat memberontak tadi tidak terlalu berasa, kenapa sekarang sakit sekali.

Ringisan Radia terdengar, membuat tiga orang di dekat ranjang lebih fokus lagi padanya.

"Kenapa, Ra? Mana yang sakit? Jangan banyak gerak dulu makanya," tanya Reiki langsung ingin mengecek luka di perut Radia.

"Tante panggilin dokter," kata Dina cepat bertindak menekan tombol merah di dinding atas kepala ranjang.

Zaki yang menyaksikan itu dalam diam, cukup tercengang.

Rasanya ini moment langka sekali, melihat Reiki dan Dina yang seperti ibu dan anak normal. Semua orang mengenal Reiki mungkin tidak akan percaya bahwa laki-laki itu memiliki sisi manusiawi, jika tidak melihat langsung interaksi dengan Dina atau Radia.

***

Banyak yang terjadi dalam beberapa hari setelah siuman dari kritis dua minggu ini, semuanya merubah Radia yang tenang menjadi lebih paranoid jika sendirian. Maka karena alasan itu, kamar rawat tidak pernah ditinggalkan sepi dalam waktu lama, bahkan jika sangat penting, akan ada satu orang yang menemani Radia.

Zaki, Reiki, dan Dina bergantian menemani gadis itu siang dan malam, tapi, tetap, Reiki yang paling sering.

Sejak serangan Miranda pagi itu, mereka sangat berhati-hati walau hanya untuk ke kamar mandi rumah sakit. Untungnya tidak ada kejadian lagi setelah itu, Miranda sudah diproses ke kantor polisi, Radia sudah mengetahui ini, mungkin ayahnya pun akan segera tau.

Dina juga sempat menanyakan apakah perlu memberitahu Sintya, tapi Radia mengatakan tidak perlu, karena tidak mau membuat sang ibu khawatir dan memaksakan keuangan untuk mendatangi ke Jakarta.

Di hari ke delapan Radia siuman, keadaan mulai membaik dengan luka-luka mulai menghilang, meski tidak sepenuhnya. Setiap hari Zaki membawakan makanan ringan seperti coklat atau camilan lain tanpa sepengetahuan Reiki.

Yah, Reiki melarang Radia makan apapun selain bubur dari rumah sakit.

Tidak ada yang menjenguk Radia karena memang tidak ada satupun kenalan di Jakarta, jadi tidak terlalu berharap. Hanya rasanya Radia cukup bosan dan kesepian, entah sampai kapan di sini untuk pemulihan.

Sepertinya tidak untuk malam ini, ruang rawat seluas kamar hotel bintang lima itu sekarang terdengar sedikit ricuh oleh suara beberapa gadis.

"Ja~di gi~ma~na ka~bar lo~?" tanya gadis bersurai tosca –Mina– dengan intonasi lambat.

Nada aneh dari suara itu membuat tiga sahabatnya memutar bola mata jengah, satu geplakan mendarat di pundak Mina dari gadis berambut bob –Sherly– di sampingnya.

"Dia juga manusia bumi, Kom. Bukan alien mars, jadi lo bisa gak, berenti ngomong kayak orang keseleo leher gitu?" tanya Sherly mendengkus, geli sendiri mendengar nada suara Mina yang seperti video dislow motion.

Stay With Me { Tamat }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang