30

1.3K 120 17
                                    

***

Samar-samar pendengaran Radia menangkap suara percakapan orang di sekitar, kening berkerut dalam sebelum mengerang di balik masker oksigen.

Suara percakapan seketika berhenti, Radia membuka mata perlahan, sesaat pandangan buram, mengerjab beberapa kali sebelum bisa melihat tiga wajah berbeda menatap harap-harap cemas. Seorang pria berjas putih layaknya Dokter, seorang suster dan seorang lagi wanita yang amat Radia ingat, Dina.

"T-Tan-te," panggil Radia lirih, tangan terangkat ingin menggapai ke arah Dina, satu-satunya yang dikenal di sini.

Dina menyambut tangan itu, mendekat pada Radia dengan kelegaan luar biasa terpancar di mata. Dokter melepaskan masker pada mulut dan hidung agar gadis itu bisa bicara lebih mudah, mengganti dengan selang oksigen.

"Iya, Sayang? Kenapa? Ada yang sakit? Butuh sesuatu? Apa? Bilang sama Tante," tanya Dina beruntun dengan lembut, mengelus surai kusut Radia dan memberi kecupan di kening.

"Ma-na ..." Radia menelan saliva kasar saat suara yang keluar serak dan tenggorokan sakit, entah berapa lama tidak sadarkan diri.

"Iya? Mana apanya, hm?" tanya Dina dengan senyum hangat mengelus pipi gadis itu.

"Rei," lanjut Radia pelan dengan suara bergetar.

Dina terdiam mendengar Radia menyebut nama Reiki yang pertama ditanyakan saat baru membuka mata. Sekuat itukah ikatan benang merah terjalin, hingga saat siuman dari kritis satu minggu, Radia langsung mencari Reiki, bukan anggota keluarga ataupun bertanya kondisi sendiri.

"Dia ng-gak ada?" tanya Radia saat tidak mendapat respon, mata sudah berembun.

"Tante, Rei- ... mana Rei?" tanya Radia lagi meminta jawaban, firasat mendadak tidak nyaman lagi.

Mengingat kejadian terakhir sebelum pingsan adalah aksi penembakan, Radia takut peluru untuknya hanya sebagai pembuka, dan selanjutnya sukses mengenai Reiki.

"Radia istirahat dulu aja, ya. Kamu baru siuman, Cantik, masih harus banyak istirahat," bujuk Dina lembut, tidak menjawab pertanyaan.

Radia menggeleng membuat lelehan airmata jatuh di sisi wajah, menatap Dina dan dokter bergantian dengan sorot memohon, hanya bertanya di mana Reiki, kenapa tidak dijawab dengan mudah.

"Rei- ... Rara cuma nanya di mana Rei, kenapa kalian gak jawab? Rara mau ketemu Rei, Kak Kiki Rara itu Rei," tangis Radia akhirnya pecah sepenuhnya, dada sesak mengetahui fakta terlambat disadari, padahal sudah dua bulan lebih tinggal bersama Reiki.

"Sayang. Sayang dengerin Tante, iya iya nanti Rei pasti ke sini. Rara pasti ketemu Kak Kiki Rara lagi, ya. Tapi sekarang Rara harus istirahat," bujuk Dina lagi, memeluk kepala Radia yang mulai bergerak-gerak tidak beraturan.

"Kak Kiki Rara ... Kak Kiki- ... Tante, Tante kasih tau Rei ... kalo- ... huk-! K-Kalo Rara udah sadar, Rara nemuin Kak Kiki, Rara mau- ... uhuk!"

Radia memberontak, mencengkeram lengan Dina menggunakan tangan yang tertempel jarum infus. Menangis mengucapkan nama Reiki berulang kali, sambil melonjak di kasur, menendangi selimut dengan tatapan tertuju pada pintu ruang rawat.

"Dokter, bantu saya, Dok, ini gimana nenanginnya," pinta Dina pada dokter yang diam di belakang.

Dokter langsung bertindak begitu diminta, menyuntikkan obat penenang pada pergelangan tangan Radia hingga rontaan berangsur melemah, mata pelan-pelan tertutup menyisakan jejak basah di pipi.

Stay With Me { Tamat }Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang