Suara riuhnya anak kecil bermain di taman, seolah tidak terdengar sama sekali di telinga seorang gadis yang saat ini tengah duduk terdiam melamun dengan tatapan kosongnya. Senyum miris tercetak di bibir tipisnya kala menyadari bahwa hanya dirinya lah yang merasa tidak bahagia di sini.
Matanya memandang lurus ke depan, di mana terdapat seorang anak kecil yang sedang dimarahi oleh seorang wanita setengah baya yang tak lain merupakan ibu dari anak kecil itu.
Anak kecil itu terus menangis karena tidak mau pulang dengan alasan masih ingin bermain dengan teman-temannya.
Karena sang anak tak mau mendengarkan ucapan Ibunya sehingga dengan secara paksa wanita setengah baya itu membawa pulang sang anak. Anak kecil itu langsung menangis kecang membuat ibunya tidak tega. Alhasil, wanita setengah baya itu segera membelikan es krim dan kemudian sang anak kembali tersenyum senang seperti semula.Terlihat sederhana, namun begitu bermakna.
Ada rasa iri ia melihat semua itu.
Rasanya ia ingin ada di posisi anak itu. Bagaimana Ibu dari anak itu begitu menyayangi sang anak bisa dilihat dari tatapan kasih sayang yang dipancarkan oleh wanita itu. Walaupun tadi wanita itu sempat memarahi anaknya.
Ia ingin diperhatikan, ingin juga dimarahi ketika membuat kesalahan. Tetapi, mungkin itu hanya menjadi angan-angannya saja. Mengingat kasih sayang dari kedua orang tuanya sendiri begitu sulit untuk ia dapatkan sekarang.
Tes
Tanpa sadar bulir air matanya kembali menetes. Seharusnya ia tidak menjadi cengeng seperti ini. Tetapi, ia tidak bisa. Tetap saja, beribu kali pun menahannya, pertahanannya itu tetap akan runtuh pada akhirnya. Ia begitu lelah.
Lelah batin dan fisik.
Sejujurnya ia begitu benci terlihat lemah. Walaupun selama ini ia berpura-pura kuat tetapi tetap saja ia akan terlihat lemah.
Sebuah sapu tangan putih terulur di hadapannya. Ia sontak mendongak menatap seseorang yang kini tengah berdiri di hadapannya. Seorang cowok seumuran dengannya menyungingkan sebuah senyum seraya masih mengulurkan sapu tangan yang belum ia terima. Cowok itu terlihat tidak asing baginya.
"Buat hapus air mata lo," ujar cowok itu gemas sembari mengambil salah satu tangannya untuk menerima sapu tangan itu karena dirinya tak kunjung mengambilnya.
Ia sedikit tersentak, walaupun begitu ia tetap menerima sapu tangan pemberian cowok itu. Dengan perlahan dia mulai menghapus air matanya.
Dia melirik sedikit ke arah cowok itu yang kini sudah duduk di sampingnya. Ternyata cowok itu juga tengah menatapnya. Ia dapat melihat cowok itu tersenyum kembali padanya. Entah apa maksud dari senyuman itu. Kemudian ia segera memutuskan kontak matanya dengan cowok itu dan kembali memandang lurus ke depan.
"Cengeng."
Dirinya dapat mendengar jelas apa yang baru saja cowok itu ucapkan. Walaupun cowok itu hanya mengumankannya pelan. Mengingat jarak kedua begitu dekat.
"Kenapa kamu perduli?" ucapnya untuk pertama kali membuka suara.
Cowok itu memperhatikan dari samping gadis yang masih menatap lurus ke depannya itu. "Gue gak tega aja liat cewek nangis sedirian di taman."
"Kamu gak tau masalahnya apa."
Salah satu bibir cowok itu tertarik. "Gue emang gak tau masalah lo apa. Tapi dengan lo nangis kayak gitu, Lo keliatan kayak cewek yang baru aja patah hati."
Ia terdiam.
Ucapan cowok itu memang benar. Dia memang patah hati. Patah hati yang mungkin sulit untuk disebuhkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AmorAtlas
Teen FictionTidak pernah terpikir oleh Amora bahwa hanya pertama kalinya ia datang terlambat kesekolah membawanya harus berurusan dengan Atlas. Si Bad boy tampan plus playboynya. Dimana ia harus terjerat hutang dengan cowok itu, dan di sanalah awal mula hidupn...