22. fire and water

248 32 3
                                    

"LO KENAPA BISA BEGINI ASTAGA SEAN! MAKANYA JANGAN BAR-BAR JADI ORANG! JANGAN SUKA CARI MASALAH SAMA ORANG! LO NGAPAIN SAMPE DIGEBUKIN GINI HAH?!"

Sean yang sedang dimarah habis-habisan oleh Dilon itu hanya diam, duduk di sofa sambil memainkan jari-jarinya.

Tadi di rumah sakit Dilon gak marahin dia kok, setelah beberapa menit kedatangan kedua temannya itu Sean sudah diperbolehkan pulang karena kondisinya yang sudah mulai membaik. Nahh, sampe di rumah ini khodamnya Dilon langsung keluar.


"LO ITU MASIH BARU DISINI! BISA GAK SIH GAK USAH BERPETUALANG KESANA KEMARI SENDIRIAN?! INI DARAT BUKAN LAUT. BUKAN DAERAH KEKUASAAN AYAH LO! NGERTI GAK SIH?!!"

Arfel yang ada di sebelah Dilon itu menghela pelan, capek si Arfel tah. Beginilah Dilon ketika sudah dalam mode maung. Pemuda berfreckles itu kemudian menepuk pelan pundak Dilon guna menenangkannya agar tidak menggeluarkan kata-kata yang mungkin nantinya dapat menyakiti hati kecil Sean.

Mau bagaimanapun Arfel mengerti keadaan Sean saat ini. Rasa ingin tahu Sean itu tinggi sekali jadi Arfel memakluminya, tapi tidak dengan Dilon yang entah kenapa jadi lebih emosian dibanding sebelumnya setelah mengetahui Sean mencintai seorang manusia.

Dilon mengusap wajahnya kasar lalu menghela napas berat. Ia kemudian mendudukkan dirinya disebelah Sean sembari menatap wajah tampan Sean yang masih dihiasi lebam itu.

"Apa masih sakit?" tanya Dilon pelan yang langsung dibalas gelengan lesu oleh Sean.

"Sudah tidak."

"Maaf gue terlalu emosi, gue cuma gak mau lo kenapa-napa, Se. Lo tanggung jawab gue sama Arfel disini udah seharusnya kita jagain lo di daratan sini. Maaf ya?" ucap Dilon penuh penyesalan, merasa dirinya terlalu berlebihan memarahi Sean yang baru pulang dari rumah sakit itu.

"Tidak apa-apa, aku mengerti aku sangat ceroboh.."

"Sean, gu–"

"Aku mau izin istirahat di kamar," ucap Sean sambil beranjak dari duduknya dan berjalan ke kamar dengan langkah malasnya.

Dilon menyebikkan bibirnya lalu menoleh ke arah Arfel. Temannya itu malah menatapnnya tajam dengan tangan yang disilangkan di depan dadanya.

"Udah tau punya temen baperan, masih aja. Lo diem disini, biar gue yang ngomong sama Sean," ujar Arfel lalu pergi ke kamar menyusul Sean, meninggalkan Dilon sendirian.

Arfel membuka pelan pintu kamar Sean dan melihat Sean sedang duduk bersila diatas kasur menghadap headboard sambil menopang dagunya. Apa Sean setertekan itu? Apa maksudnya duduk menghadap headboard kasur seperti orang bodoh?

Masuk dan menutup pelan pintu kamar Sean, Arfel berjalan mendekati pemuda itu dan duduk di tepi kasur menghadap ke arah punggung Sean.

"Pangeran?" panggil Arfel yang mana membuat Sean menoleh ke arahnya dan mengubah posisi duduknya.

"Ini daratan, jangan panggil aku dengan sebutan itu. Aku–"

"Gak usah ngambek gitu dong pangeran, nanti cakepnya ilang loh," rayu Arfel sambil menyolek dagu Sean yang mana membuat Sean menatapnya kesal.

"Jangan berlebihan atau kupukul kau agar wajahmu itu sama sepertiku!"

Arfel terkekeh pelan lalu memegang kedua tangan Sean, menahan tangan pangerannya agar tidak mendaratkan pukulan di wajahnya yang imut lucu kiyowo itu.

"Ehehe, jangan dong. Oiya omong-omong, wajahmu kenapa?" tanya Arfel sambil menunjuk wajah Sean dengan dagunya.

"Tidak bisa lihat sendiri? Aku kira matamu masih sehat," ketus Sean.

[1] Sirena ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang