48 - Surat panggilan

988 76 20
                                    

Siapa hayooo yang nungguin? Author update nih. Jangan lupa tinggalkan vote and comment.

Buat yang baca mode offline skuyy nyalain datanya sebentar aja, gak susah kan? Setelah vote dan comment boleh di bikin mode offline lagi kok.

Tak terasa hari sudah pagi, matahari telah menampakan sinarnya. Pagi ini Noa dan juga Tio telah sampai di makam milik seorang perempuan yang bertuliskan Marlina binti suryodjo.

"Sudah lama kita tidak berjumpa, bagaimana kabarmu? Apakah baik?" Tio mengusap batu nisan dan menatapnya dengan tatapan lembut, tak ada percikan amarah yang terlukis dari sorot matanya, yang ada hanya kesedihan.

"Tiooo." panggil seorang perempuan paruh baya, ia adalah ibu dari Marlina.

"Semat pagi Ibu, Ayah, bagaimana kabar Ibu dan Ayah? Sudah lama kita tidak berjumpa." wanita paruh baya itu tersenyum berdampingan seorang laki-laki yang ikut tersenyum.

"Kita baik-baik saja, sudah lama sekali kamu tidak mengunjungi Marlina. Apakah kamu telah menemukan penggantinya?" tanyanya lembut, Tio menggelengkan kepalanya. Semenjak Marlina meninggal Tio belum membukakan hati untuk siapa saja yang mendekatinya.

"Mengapa? Umurmu sudah cukup lho." ucapnya.

"Belum siap membangun rumah tangga." Wanita itu menepuk pundak Tio.

"Semua di dunia ini akan mati, gak ada yang abadi di dunia ini. Cari wanita yang pantas untuk kamu masukan ke hati, selagi kamu masih bisa memilih. Pilihlah yang terbaik untukmu dan juga untuk buah hatimu kelak." Tio tersenyum, menganggukan kepalanya mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Ibu Marlina, sejak Tio berpacaran dengan Marlina ibu Astu telah menganggapnya sebagai anak sendiri, begitupun juga dengan bapak Darto.

Keempatnya menaburkan bunga dan menuangkan air mawar pada makan Marlina, sampai sesekali mereka bercanda dan tertawa, sudah lama sekali mereka tidak bertemu, sudah lama pula mereka tidak bercengkrama.

"Ibu saya ingin bertanya, dulu ibu sempat sakit dan kekurangan?" bu Estu menganggukan kepalanya.

"Ya, perusahaan kita sempat mengalami kebangkrutan. Saat itu Marlina lah yang menjadi tulang punggung keluarga." Tio tersentak, ia pikir Marlina berbohong. Walaupun tidak berbohong, mana ada laki-laki yang ingin di duakan oleh pasangannya.

"Saya pamit bu, ayah." bu Estu menganggukan kepalanya begitupun juga dengan Darto.

"Sering-sering kesini, Marlina pasti juga merindukan kamu."

"Pasti bu, aku akan sering ke sini." Jawab Tio.

***

Pagi ini Ana telah sampai di sekolah, setelah 2 hari membolos. Teman-teman Ana sudah terbiasa dengan tingkah Ana yang selalu membolos, beruntung Ana tertolong dengan nilainya yang memuaskan, jika tidak mungkin ia akan di turunkan kekelas 2 SMK atau bahkan tidak diluluskan oleh pihak sekolah.

"Habis dari mana?" tanya Alvin tiba- menghampiri.

"Kabur." ungkapnya jujur.

"Masalah lagi?" Ana menganggukan kepalanya. "Dengan siapa?" Ana mengarahkan kepalanya, Alvin menoleh sekilas. Ia menganggukan kepalanya mengerti.

"Kalo ada masalah tuh di selesaikan, emang gak cape selalu kabur dari masalah?"

"Bukan urusan lu." sentak Ana.

"Dulu memang bukan urusan gua, karena kita udah berteman segala urusan pasti akan menjadi bagian dari tugas gua."

"Serah lu." Ana memutarkan bola matanya malas, berurusan dengan Alvin sama saja membuang buang waktu karena ia tidak akan mungkin mengalah.

Please don't be possessive (COMPLETED) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang