Alexa melesatkan tembakannya ke kepala James, membuat suasana seketika berubah. "Sudah lama aku menanti ini." Ujarnya disertai senyuman bangga. James ambruk dari tempatnya, terduduk tanpa bisa berkomentar apa-apa. Orang-orangnya segera mengarahkan senjata mereka pada Alexa.
"Kau..-"
"Bagaimana rasanya? Mengejutkan?" Alexa tertawa puas. Pelurunya memang mengarah ke kepala James, namun tidak benar-benar menembusnya, hanya lewat begitu saja. "Hampir seperti inilah yang dulu pernah kau lakukan padaku. Menembak kepalaku, tapi kau tak benar-benar melakukannya. Atau lebih tepatnya, kau terlalu bodoh untuk melakukannya. Benarkan?" Ia memandangi pistolnya.
Salah seorang anak buah James membantu pria itu bangkit berdiri. Menopang dengan salah satu tangannya. Sedikit linu, jantungnya bahkan masih berdebar kencang. "Kelakuanmu memang..-"
"Apa yang ingin kau bicarakan denganku?" Ujar Alexa lagi. "Aku tahu orang-orangmu sudah menguasai kapal ini. Apa lagi yang kau butuhkan? Kau tak ingin langsung membunuhku saja lalu menggunakan apa yang kumiliki di sini untuk menjalankan projekmu?"
James tertawa mendengar ucapan Alexa. "Ya, ya sebenarnya itu yang memang ingin kulakukan. Tapi sayangnya aku masih belum punya cukup modal untuk melakukannya." James melangkah mendekat. "Aku butuh umpan. Umpan yang entah kau simpan di mana. Anak-anak buahku tak bisa menemukan umpan apapun yang harusnya bisa kugunakan."
"Umpan?"
"Ya. Katakan dimana kau menyimpan umpanku,"
"Umpan apa? William? Sean?" Alexa mengusap-usap permukaan pistolnya dengan santai.
James berjalan lebih dekat, menekan intonasinya. "Katakan saja, ALEXA! Katakan di mana kau menyembunyikan mereka, aku tahu benar mereka ada di sini, di kapal ini, terutama Sean. Katakan atau kau tidak akan pernah bisa kembali ke daratan."
"Jangan menakutiku James." Alexa mengulurkan tangannya, membelai wajah pria itu. "Aku tak tahu apa yang kau maksud dengan, umpan-di kapalku. Jangan sok mengancamku seperti ini. Kau hanya ingin memanfaatkanku. Berhentilah bicara omong kosong."
"Kau ingin mati saat ini juga?"
"Mati?" Wanita itu tertawa. "Ayolah, aku tahu kau tak mungkin melakukan itu, membunuhku?"
"Aku bersungguh-sungguh."
"Tidak, kau tak bersungguh-sungguh, aku tahu bagaimana sifatmu James. Kita sudah berteman cukup lama. Kau justru tak akan membunuhku selama aku tak mengatakan tentang William dan Sean." Alexa lebih lembut memainkan jemarinya.
Namun James segera menyingkirkan tangan wanita itu. "Ternyata kau takut mati juga."
"Takut mati?"
"Ya. Kau sangat ketakutan bukan? Lihat dirimu." Ejek James.
Alexa mengangguk kecil, seakan mengiyakan kalimat tersebut. "Ya, ya sebenarnya aku takut mati, kau benar, hebat. Aku memang tak ingin mati saat ini apalagi aku belum mendapat tangkapan apapun." Alexa memalingkan pandangan ke arah lain. Orang-orang James tampak sedikit santai sekarang. "Maka dari itu, aku harusnya lebih dapat berjuang untuk ini. Menjawab atau tidak menjawab pertanyaanmu, membunuh atau dibunuh, kau pikir itu pilihan yang sulit untukku?" Tanpa melanjutkan kalimatnya lagi, tiba-tiba wanita itu meraih leher James dengan cepat, menjepitnya dengan siku lalu mengarahkan pistolnya ke orang-orang James yang kini terkejut namun ragu untuk mengeluarkan tembakannya karena James yang mendadak menjadi sandera.
Saat yang tepat ketika Alexa mulai menghabisi mereka. Wanita itu melepas tembakan demi tembakan dengan mudah layaknya seorang profesional. James yang terkejut semakin dibuat tak berkutik saat Alexa juga menempelkan ujung pistolnya ke pelipis pria itu dan langsung menarik pelatuknya hingga ujung peluru, akhirnya menembus tempurung kepalanya. James, seketika tewas di dekapan Alexa.
Alexa menjatuhkan jasadnya ke lantai. "Ya ampun, maafkan aku James." Ia menginjak dada pria itu yang berada tak jauh dari kakinya. "Maaf sudah mengakhiri kompetisimu. Aku memang takut mati, jadi kukira kau tak keberatan kalau kau yang mati. Lagipula kau sendiri yang melatihku untuk ini sepuluh tahun yang lalu. Ingat?"
*******
William mencoba melepaskan ikatan di pergelangan tangannya. Ia membuka simpulnya, melonggarkannya sedikit demi sedikit, berusaha semaksimal mungkin menggunakan jemarinya yang tak leluasa. Dan jujur, hal itu sepertinya hanya membuang waktu saja. Simpul Meree terlalu kuat untuk ia bisa melepaskannya.
Tak kehabisan akal, ia memandang ke tempat lain, mencari sesuatu yang bisa membantunya, yang mungkin bisa ia gunakan untuk memotong benda itu. Pemandangan tebing laut cukup indah sebenarnya, tapi juga mengerikan. Tak banyak terumbu karang atau apapun yang hidup di sekitar sana. Hanya bebatuan dan ikan-ikan kecil berwajah aneh yang sesekali lewat. William tak tahu jenis apa saja itu, yang pasti, mereka tak mungkin bisa membantunya membebaskan diri.
Lelaki itu terdiam sebentar, menggali ide apapun yang ada di kepalanya. Namun nihil. Andai James tak setengah-setengah mengubah wujudnya, ini pasti akan sangat mudah. Gigi yang tajam, kuku-kuku yang kuat, sirip, atau apapun yang sama persis dengan bangsa Meree, pasti hal-hal seperti ini bukan masalah besar untuknya. Dan mungkin ia tak akan selalu terjebak. Selalu menjadi sosok yang membutuhkan pertolongan? Hebat.
William mencoba menarik tali itu, membuatnya terputus. Ia berusaha sebisa mungkin ketika tiba-tiba terdengar sebuah suara dari balik pucuk tebing. Suara raungan seekor siren.
Seketika ia berhenti dari aktifitasnya. Jelas itu bukan suara dari koloni Meree yang meninggalkannya tadi. Terdengar sekali, suara itu berasal hanya dari satu ekor siren, bukan ratusan. Dan tentu juga bukan suara Meree.
Ia mendongak dan memeriksa asal suara tersebut, memandang ke tepi-tepi tebing. Namun untuk sejenak ia tak melihat ada apapun di sana.
Lelaki itu kembali fokus dengan tali yang mengikat tangannya. Bagaimana pun ia memang harus cepat-cepat membebaskan diri dari sana. Tanpa sadar sirip di punggungnya menjadi tegak, sementara warna ekornya berubah sedikit lebih gelap, William berubah menjadi sangat waspada. Dengan kesal ia hampir memukul sisi tebing sebelum suara raungan itu tiba-tiba terdengar lagi untuk yang kedua kali. Lebih keras dan menakutkan.
William kembali berpaling ke atas. Jujur itu semakin membuatnya merasa terancam. Ia tahu benar maksud raungan itu, raungan yang tidak bersahabat. Mungkin seekor siren jantan? Tidak salah lagi, siren betina tak mungkin meraungkan sebuah raungan tantangan.
William merapat ke dinding tebing ketika akhirnya mahkluk itu muncul. Benar saja, seekor siren jantan berenang mendekatinya, mengibaskan ekornya yang lebih besar dari milik Meree menuju ke arahnya. Ekornya berwarna keperakan dengan loreng hitam. William tak tahu mengapa siren itu tak ikut dengan koloninya yang lain ke permukaan. Tapi sepertinya merman tersebut memang sudah mengincarnya dan berusaha mencari-cari kesempatan.
'...Kau seekor pejantan?...' Mahkluk itu meraung lebih pelan namun menatap cukup tajam, lebih tajam dari pada Meree. Sementara tangannya segera menggapai pergelangan tangan William yang masih terikat, menjilatinya dengan perlahan. William bisa menebak ini bukan pertanda yang baik.
...
KAMU SEDANG MEMBACA
THEIR MERMAN [COMPLETE]
FantasyAlasan kenapa Duyung Jantan/Putra Duyung jarang terlihat & didengar adalah "Para Mermaid, membunuh pasangannya sehari setelah perkawinan usai." Saat musim Kawin para Siren tiba, Sean Alex.. Seorang atlet renang yang tengah mempersiapkan diri untuk...