Vote dan koment sebanyak banyaknya ya
Kalau bisa tiap line kasih koment hahahah
Kafin berteriak meminta pertolongan kepada para perawat setibanya di Rumah Sakit tak jauh dari kampusnya berada. Tangannya memapah sang adik yang mengalami sesak napas.
"Tolong ... tolong adik saya!"
Dua orang perawat yang sedang berjaga berlari menghampiri Kafin. Tubuh lemas Gafin kemudian dibawa menuju ruang pemeriksaan menggunakan brankar yang sudah disiapkan.
"Maaf, Mas. Anda bisa tunggu di luar saja. Biar kami memeriksa kondisi adik anda terlebih dahulu," ucap salah seorang perawat kala Kafin hendak menerobos ke dalam ruang pemeriksaan.
"A-adik saya enggak apa - apa 'kan, Sus?" tanya Kafin dengan suara bergetar. "Dia sesak napas, katanya dadanya sakit."
"Kami akan pastikan keadaannya dulu, Mas. Masnya silakan tunggu di luar terlebih dahulu."
Tak sampai sempat menyahuti ucapan perawat tersebut, pintu ruang UGD sudah tertutup. Kafin terdiam, matanya menatap pintu kaca itu dengan tatapan nanar.
Air mata lolos begitu saja. Membasahi wajah yang sedari tadi diliputi ketakutan.
"Ya Allah, aku mohon jaga adikku. Lindungi Gafin dari segala hal buruk."
***
Plak
"Ka-Kak Cal?" ucap Kafin terbata.
Kafin mengusap pipinya yang terasa perih. Baru saja ia merasa lega karena Gafin sudah sadar, ia sudah kambali harus merasakan sakit di wajahnya karena sebuah tamparan yang dilayangkan oleh kakak perempuannya - Cal.
"Kakak!" tegur Fay saat melihat ulah sang anak perempuan.
"Apa - apaan kamu? Ini rumah sakit!" ucap Fay lagi dengan nada tak suka. Ia bahkan menarik lengan putrinya agar menjauh dari Kafin.
"Ibu apaan, sih?" sahut Cal tak suka. Ia kemudian menarik tangannya dari cengkeraman sang ibu dan kembali mendekati Kafin.
"Puas lo!" Cal mendorong tubuh Kafin kasar hingga membentur dinding.
"Puas lo buat adik gue sakit kaya gitu, huh?"
"Kak, udah. Bukan salah Kafin!" Kembali Fay menarik tangan sang putri agar tubuhnya kembali menjauh dari tubuh Kafin.
"Lepas, Bu!" Sekali lagi, Cal berhasil melepaskan diri.
Gadis cantik berusia dua puluh tahun itu kembali menghampiri adiknya itu. Ia bahkan meremas kuat bahu Kafin sambil mengguncangkan tubuhnya.
"Puas lo bikin adek gue kesakitan?"
"Apa lo memang terlahir buat hidup keluarga gue menderita?"
"Kamea!" tegur Fay lagi. Namun tetap saja diabaikan oleh sang putri.
Cal tertawa sumbang. Ia menatap remeh laki - laki yang usianya terpaut sebelas bulan dari dirinya itu.
"Apa lagi setelah ini?" tanya Cal dengan suara dingin.
Cal menyeringai kecil sebelum mendekatkan wajahnya dengan wajah Kafin.
"Belum puas ya lo? Udah nyokap lo bikin kakak gue meninggal, sekarang lo juga lenyapin adek gue?"
"Cal, cukup!" Kali ini Fay berhasil menghentikan ulah putri cantiknya.
"Masalah Gafin enggak ada hubungannya sama Kafin apalagi sama almarhumah tante Sifa. Kamu enggak boleh ngomong kaya gitu ke Kafin. Gimana pun juga dia adik kamu."
Cal tertawa sumbang.
"Adik?" beo Cal sembari menatap ibunya.
"Maksud Ibu, aku dan anak perempuan murahan itu saudara?"
"Kamea!" teriak Fay.
Cal kembali tersenyum sinis. Ia kemudian melayangkan tatapan tajam pada Gafin yang sedari tadi masih mematung tanpa melakukan pembelaan apapun. Walaupun, jauh di dalam lubuk hatinya terasa begitu hancur kala sosok wanita yang telah berjasa menghadirkannya di dunia ini mendapatkan hinaan.
"Perlu lo inget ya. Dalam hidup gue, gue cuma punya satu adik dan itu Gafin. Sedangkan lo?" ucapnya sambil menunjuk ke arah Kafin dengan jari telunjuknya.
"Enggak lebih dari sekedar pengganggu di tengah - tengah kehidupan keluarga gue. Persis kaya nyokap lo."
Tanpa merasa bersalah, Cal kemudian melangkahkan kakinya meninggalkan Kafin dan juga sang Ibu. Ia lebih memilih untuk menemui Gafin untuk memastikan kondisi adik kesayangannya itu.
Cukup sekali ia kehilangan saudara. Cal tak ingin kembali kehilangan Gafin karena penyakit yang di derita oleh adiknya itu.
"Kaf...." Suara lembut Fay membuat Kafin tersentak. Alih - alih menumpahkan rasa kesal di dalam hatinya, laki - laki itu justru mengukir senyuman kepada wanita yang telah turut andil membesarkannya selama ini.
"Maafin Kak Cal ya, Sayang," ucap Fay penuh penyesalan. Tangannya mengusap lembut pipi Kafin yang masih memerah karena tamparan Cal yang cukup keras.
Kafin menggeleng. Tangannya menarik tangan Fay yang bertengger di pipinya lalu memgusapnya perlahan.
"Ibu enggak perlu minta maaf. Kak Cal juga enggak salah kok," jawab Kafin lirih. Ia berusaha terus mengukir senyuman di bibirnya walau matanya tampak berkaca - kaca.
"Kaf--"
"Atas nama Bunda, Kafin minta maaf sa-sama Ibu ya..." ucap Kafin dengan suara serak.
"Maaf kalau kehadiran kami, aku dan Bunda dulu selalu menjadi penghancur kebahagiaan Ibu, Kak Cal, dan Gafin. Bahkan Kak Chas...."
"Sayang, hei." Fay merangkum wajah putranya itu. Kafin memang tak terlahir dari rahimnya. Namun Kafin akan tetap menjadi anaknya.
"Semua yang terjadi di dalam kehidupan Ibu atau bahkan Kak Chas enggak ada hubungannya sama kamu. Kamu enggak perlu merasa seperti itu."
"Tapi Gafin sekarang sakit juga gara - gara aku, Bu."
"Kata siapa?"
Kafin mencoba menahan isakkannya. "Tadi Gafin sesak napas setelah aku ajak main bola. Kafin bisa bunuh Gafin, Bu. Kafin bisa jadi pembunuh buat adik Kafin sendiri.
Fay menggeleng. Dadanya ikut sesak melihat sisi rapuh Kafin yang jarang terlihat. Ia tahu, Kafin mencintai keluarganya begitu dalam. Terutama pada Gafin bahkan Cal. Tak peduli sikap Cal seperti apa, kasih sayang Kafin kepada kedua saudaranya tetap begitu besar.
"Dengerin Ibu, Kaf."
"Kamu bukan pembunuh. Kamu bukan penghancur keluarga. Kamu anugerah yang Tuhan beri lewat almarhumah bunda kamu."
"Ah, satu lagi ... kamu itu juga kakak dan adik terbaik yang dimiliki Gafin dan Kak Cal. Percaya ya sama Ibu."
Gimana part ini?
Dikit dulu deh ya....
Mau lihat reaksi dulu...
Hahahhahaha, lanjut enggak nih?!
Voment jangan lupa yaa....
KAMU SEDANG MEMBACA
The Blood
AksiKisah cinta antara laki - laki dan perempuan, merupakan hal biasa yang memang sudah menjadi naluri bagi setiap orang untuk merasakannya. Lalu, apa yang akan terjadi jika kisah cinta itu melibatkan dua anak manusia yang terikat oleh hubungan darah...