Jadi, sudah siap baca lagi?
Jangan lupa tekan bintang dan kasih komen ya.
Terimakasih
Happy reading...
Hari sudah cukup siang kala Gista mulai mengerjapkan mata. Rasa pening yang menyerang kepala membuatnya enggan membuka mata. Namun rasa dahaga pada tenggorokkannya memaksanya segera meraih kesadaran.
"Udah bangun, Gis?"
Mata Gista langsung terbuka lebar kala mendengar suara seseorang yang tak asing baginya. Belum lagi sebuah punggung tangan yang mendarat di keningnya, membuat Gista benar - benar mendapatkan kesadarannya.
"Demamnya udah turun," ucap Kafin cuek penuh kelegaan. Senyum kecil nan manis terukir indah di ujung kedua bibirnya.
"Kafin? Lo ngapain di kamar gue?" Gista sontak bangkit untuk duduk dengan punggung bersandar pada headboard ranjang. Kedua tangannya menarik selimut hingga menutupi tubuhnya sebatas dada.
Kafin lantan mengernyit. Tentu dirinya merasa heran dengan pertanyaan yang diajukan oleh Gista.
"Kamar lo?" beo Kafin lalu mengedarkan pandangannya ke seluruh kamar. "Lo yakin kamar lo kaya gini? Terakhir gue nyaris...." Kafin menjeda ucapannya sejenak sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal karena merasa tak enak, "Khilaf sama lo, kamar lo nggak kaya gini."
Wajah Gista langsung memerah. Ingatannya tertuju pada malam panas yang sempat dirinya dan Kafin lewati bersama. Gista kemudian berdeham pelan, berusaha mencairkan suasana yang terasa semakin canggung. Matanya pun ikut berpendar mengamati seisi ruangan, berusaha meyakinkan diri dimana dirinya berada saat ini.
Satu hal yang langsung Gista sadari, dirinya tak berada di dalam kamarnya. Ruangan itu terlihat begitu asing. Ingatannya kemudian berputar pada kejadian semalam. Berawal dari kejutan ulang tahun untuk sang papa, faktaa mengenai statusnya, hingga berakhir dengan pengusiran Rayhan.
Wajah Gista seketika berubah sendu. Setiap kalimat menyakitkan yang keluar dari bibir Rayhan terekam jelas di ingatannya. Membuatnya sedih sekaligus rindu pada sosok pria yang selama dua puluh dua tahun menjadi ayah bagi dirinya itu.
"Semalem baju lo basah gara - gara kehujanan."
Gista langsung menoleh ke arah Kafin. Merasa ada yang janggal, matanya langsung turun ke arah tubuhnya. Tangannya bergerak cepat untuk membuka selimut yang semula menutupi tubuhnya.
Matanya terbelalak seketika kala menyadari pakaian yang dirinya pakai sekarang bukan pakaiak yang semalam dirinya pakai. Gista jelas mengingat, saat meninggalkan rumahnya - rumah Rayhan Hamka, bukan pakaian ini yang dirinya kenakan. Melainkan celana denim dengan kaus berwarna biru tua dengan motif kartun doraemon kesukaannya. Sementara saat ini, sebuah piyama berwarna ungu dengan motif pita di beberapa bagiannya lah yang melekat pada tubuhnya.
"Baju gue...." cicitnya sembari mengalihkan kembali pandangannya pada Kafin. Tangannya meremas selimut dengan kencang. "Lo yang ganti baju gue, Kaf? Lo lihat...."
Pletak
"Aww...." Gista langsung merintih saat sentilan kecil dari tangan Kafin mendarat di keningnya.
"Gue nggak seberani itu buat lihat badan lo langsung, Gis," ujar Kafin mencoba memberi penjelasan. Mudah bagi Kafin menebak isi pikiran Gista mengenai dirinya.
Sejenak Kafin terdiam, tapi tatapannya masih tertuju pada wajah Gista yang tampak pucat. Hingga akhirnya Kafin menghela napas panjang sebelum berjalan menghampiri Gista dan duduk di pinggiran ranjang.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Blood
ActionKisah cinta antara laki - laki dan perempuan, merupakan hal biasa yang memang sudah menjadi naluri bagi setiap orang untuk merasakannya. Lalu, apa yang akan terjadi jika kisah cinta itu melibatkan dua anak manusia yang terikat oleh hubungan darah...