37. Ibu dan Anak Perempuannya

1.4K 196 26
                                    

Heylooooo

Apa kabar? Masih semangat buat baca lanjutannya?

Mau happy ending atau sad ending? Atau...dua duanya?

Jangan lupa tekan vote dan komen ya!

Terimakasih dan Happy reading  ❤❤❤

"Jadi yang semalam telpon Ibu itu Om Ezar, Bu?" tanya Cal pada sang ibu. Wajahnya yang semula menghadap langit - langit kamarnya, kini telah menoleh ke samping kanan. Matanya menatap wajah sang Ibu yang masih memejamkan mata.

Fay mendesah panjang. Tak lama, kepalanya mengangguk sebagai sebuah jawaban. Wajah yang telah dipenuhi masker berwarna hijau dengan aroma khas green tea itu lantas menoleh ke samping.

"Maaf soal yang semalam ya, Kak?" ujar Fay lirih, tetapi memiliki makna yang begitu dalam. "Dalam kondisi seperti itu, Ibu malah pergi meninggalkan kamu karena pekerjaan. Harusnya Ibu mengajak kamu berbicara dari hati ke hati sama kamu 'kan ya? Bukannya justru malah marah - marah dan pergi karena alasan pekerjaan?"

Mata Fay mulai berkaca - kaca. Tangannya yang semula tampak nyaman bersedekap di atas perutnya, kini beralih dan terulur menarik tangan Cal hingga membuat putrinya itu cukup terkejut kala melihat pancaran kesedihan dan penyesalan di bola mata hitam milik sang Ibu.

"Ibu jangan nangis," cicit Cal sambil melepaskan tangannya dari genggaman tangan Fay. Kini giliran tangannya yang tampak meremas lembut tangan wanita yang melahirkannya itu. "Nanti maskernya kena air mata Ibu, jadi gagal deh acara maskeran kita," lanjut Cal sambil mengukir senyum.

Fay terkekeh kecil. Kepalanya mengangguk pelan. Senyum mulai kembali terbit, lalu Fay mengembuskan napasnya pelan sebelum kembali melanjutkan ucapannya.

"Lagipula, itu bukan salah Ibu kok. Kakak yang salah. Kakak yang udah bikin Ibu kecewa dengan mengkhianati kepercayaan Ibu ke Kakak. Jadi ya wajar Ibu marah, 'kan?"

Fay membuang napas. Bibirnya menunjukkan senyum masam. "Tetap aja, 'kan? Nggak seharusnya Ibu pergi di saat Ibu harusnya berada di samping Kakak. Mengajak Kakak berbicara dari hati ke hati."

"Tapi memang Ibu harus pergi, 'kan semalam? Itu udah jadi bagian tanggung jawab Ibu sebagai pengacara. Lagipula, Kakak yakin banget...kalau hal itu nggak penting, nggak mungkin Om Ezar telpon Ibu malam - malam gitu. Nggak mungkin juga Ibu nekad pergi sampai buat muka Ayah asem gitu."

"Asem?" Nada sedih pada suaranya tiba - tiba berubah dengan nada bingung. "Asem gimana maksudnya, Kak?"

Cal membuang napasnya kasar. "Masa iya Ibu nggak sadar? Ayah cemburu banget, Bu. Nggak cuma semalem aja sih, pas Ibu ada seminar di Bali dan bareng sama Om Ezar juga. Ayah sampe uring - uringan loh kata Kaf..." Bibir Cal langsung terkatup saat menyadari nama siapa yang nyaris keluar dari bibirnya.

"Kafin?" kata Fay menyambung ucapan sang putri. Matanya sedikit menyipit kala memandang wajah Cal yang tampak kehilangan sedikit fokusnya.

"Kak?" Fay mengguncang tubuh Cal pelan saat tak juga mendapatkan respon apapun dari putri cantiknya itu.

"Ah iya, Bu? Kenapa?" Cal terhenyak. Ia buru - buru mengalihkan pandangannya kembali ke arah sang Ibu.

"Yang cerita ke kamu soal Ayah itu Kafin, Kak?"

"Ah, i-iya. Ka-Kafin yang sempat cerita ke Kakak, Bu." Cal kembali menunduk. Walaupun sempat terbata, Cal berhasil mengendalikan dirinya. Ia tak mungkin menunjukkan secara gamblang alasan apa yang baru saja mengganggu pikirannya.

"Kak?" Fay ikut menunduk.

"Kamu kenapa?" tanya Fay memastikan. "Ada masalah, Kak? Ada yang sedang kamu pikirkan?" Fay langsung beranjak untuk duduk. Rasa khawatir tiba - tiba menyergap pada benaknya.

The BloodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang