34. Malam untuk Gista

997 163 39
                                    

Hujan yang turun deras dini hari itu, tak lagi Kafin pedulikan. Jalanan ibukota yang lengang mendorong Kafin untuk memacu mobilnya semakin kencang. Keselamatannya sendiri bahkan dirinya abaikan. Seluruh isi kepalanya kini hanya dipenuhi oleh Gista keadannya.

Kekhawatiran Kafin memuncak. Tangannya melempar ponsel ke kursi penumpang di sampingnya saat panggilannya ke nomor Gista lagi - lagi tak tersambung.

"Lo dimana sih, Gis? Lo kenapa? Kenapa gue perasaan gue nggak enak banget?"

Ponselnya tiba - tiba berdering. Kafin buru - buru menepikan mobilnya. Berharap panggilan tersebut berasal dari Gista. Setelah mobil berhasil menepi, secepat kilat tangannya meraih ponselnya yang berada di kursi penumpang.

Helaan napas panjang keluar dari bibirnya. Sempat  berharap bahwa panggilan tersebut berasal dari Cal. Tanpa berpikir panjang, Kafin langsung menolak panggilan tersebut. Kafin tak ingin kembali goyah untuk mengakhiri hubungan terlarangnya dengan sang kakak jika kembali mendengar suara Cal.

Kamea Caley R.

Angkat telpon aku, Sayang.
Kamu pasti bohong kan soal Gista?
Kalian nggak punya hubungan apapun kan?

Ternyata Cal tak patah semangat. Setelah panggilannya ditolak oleh Kafin, Cal justru mengirimkan sebuah pesan. Berharap bahwa dengan pesan tersebut, Kafin akan memberikan sebuah tanggapan.

Namun hasilnya? Tetap nihil. Nyatanya keputusan Kafin untuk menghentikan segalan kegilaan yang terjadi antara dirinya dan Cal memang direstui semesta. Hampir saja tembok pertahanannya kembali runtuh dengan membalas pesan dari Cal, sebuah panggilan berasal dari rumah Gista sudah kembali masuk.

Sontak, kesadaran Kafin kembali datang. Tak ingin membuang waktu lebih lama, ibu jarinya langsung menggeser layar ponselnya untuk menjawab panggilan tersebut.

"Hallo, Gis? Lo di rumah? Tadi kenapa?"

"Hallo, Mas Kafin?"

Kafin mengernyit. Suara yang baru saja terdengar jelas bukan suara Gista.

"Hallo, Mas? Ini Bibik Ratih."

Kafin tersentak. "Ah, iya. Gimana, Bik? Gista mana ya? Saya dari tadi telpon ke hp nya nggak diangkat."

"Nah itu, Mas. Makanya Bibik telpon Mas Kafin. Bibik mau minta tolong sama Mas Kafin."

"Tolong? Kenapa, Bik? Ada apa sama Gista?" Nada khawatir jelas terdengar dari suaranya. Kafin memang tak dapat membalas perasaan cinta Gista, tapi tak memungkiri bahwa ada kepeduliannya terhadap gadis yang memiliki nasib sama sepertinya itu. Kehilangan ibunda sejak baru saja dilahirkan ke dunia.

"Tolong cari Mbak Gista, Mas. Bibik khawatir."

"Apa? Gista kemana, Bik?"

"Mbak... Mbak Gista pergi, Mas. Tolong cari. Bibik khawatir banget."

"Pergi kemana, Bik? Kenapa bisa Gista pergi jam segini?"

"Bibik nggak tahu, Mas. Mbak Gista...diusir oleh Tuan dari rumah."

***
Gelap dan sepi. Hanya rinai hujan yang menemani tangisan Gista malam itu. Tak peduli sebasah apapun pakaiannya. Tak peduli sedingin apa udara malam itu, Gista tetap bergeming. Pandangannya nanar tertuju pada sebuah batu nisan bertuliskan nama wanita yang melahirkannya.

"Mama, kenapa Mama pergi tinggalin Gista?"

Gista mengusap papan nisan ibunya dengan jari - jarinya. "Mama kenapa biarin Gista dibesarkan oleh orang yang ternyata... bukan papa kandung Gista?"

The BloodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang