Kafin tampak terkejut saat melihat Gafin melempar konsol game dari tangannya. Tak hanya itu, raut kekesalan juga tampak jelas di wajah sang adik. Refleks, Kafin mengerutkan keningnya heran dengan apa yang dilihatnya.
"Lo kenapa sih, Kaf?" todong Gafin tanpa basa - basi.
Mata Kafin sempat mengerjap. Salah satu tangannya yang semula memegang konsol game kini telah beralih untuk menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Jujur saja, rasa heran kini bergelayut di dalam batinnya atas pertanyaan yang baru saja diajukan oleh sang adik.
"Maksud lo gimana sih, Gaf? Gue nggak kenapa - napa kok. Gue yang harusnya tanya, lo kenapa kayak marah - marah gitu sih?"
Gafin lantas mendengus kencang. "Gue bukannya marah, tapi lagi kesel sama lo."
Lagi - lagi, kerutan muncul di kening Kafin. Semakin tak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh sang adik.
"Kesel kenapa?" tanyanya dengan nada heran. "Abis main dan menang terus kok malah kesel sama gue sih? Bukannya malah senang?"
Gafin berdecak pelan. "Justru itu alasannya. Karena gue menang terus, gue jadi kesal sama lo!"
Kafin menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Bukannya lo malah senang ya kalau menang terus? Biasanya kan lo suka nggak terima kalau gue menang terus."
Gafin sontak memutar bola matanya malas. "Ya jelas gue nggak senang, orang lo kalah nggak ada perlawanan sama sekali. Gue kaya nggak lagi main sama lo, tapi sama anak TK."
Kafin meringis kecil. Wajahnya menunjukkan raut tidak enak di hadapan sang adik. "Masa sih? Gue kok nggak ngerasa gitu."
Gafin lantas memutar bola matanya malas. "Lo kenapa sih? Lagi mikirin apa?"
"Nggak ada, kok," kilahnya. Padahal jauh dalam hatinya, Kafin jelas berusaha menutupi segala hal yang mengganggu pikirannya.
"Kalau lo lagi nggak mood main, atau lagi capek ya bilang aja lagi. Jangan apa - apa yang gue mau, lo turutin," ujar Gafin dengan suara yang mulai melunak. "Gue nggak akan mati secepat itu, sampai lo harus ngikutin semua kemauan gue dan nganggep itu jadi permintaan terakhir gue sebelum meninggal." Kekehan meluncur santai dari bibir Gafin. Ia bahkan tak menyadari perubahan pada wajah sang kakak yang menunjukkan raut tak nyaman karena ucapannya.
"Gaf!" geram Kafin dengan suara tertahan. Tangannya telah terkepal erat. Dadanya selalu merasa sesak setiap kali Gafin menyinggung soal penyakitnya. Kafin selalu merasa tak suka, kala Gafin merasa pesimis atas kondisinya. Terlebih setiap kali Gafin menyinggung soal kematian.
Gafin tergelak. Tangannya yang semula bebas langsung merangkul bahu sang kakak dengan erat. Berusaha mencairkan suasana yang dirasa menegang karena ucapannya. Terlebih saat menyadari ekspresi wajah Kafin yang terlihat tegang.
"Ya kecuali kalau lo nggak fokus tadi karena mikirin cewek, itu gue mah nggak akan protes," ucapnya diiringi kikikan geli. "Soalnya gue juga sering gitu kalau lagi kangen sama Yaya. Tapi masalahnya, nggak ada cewek yang kayanya lo pikirin secara lo nggak punya pacar kan? Kecuali, lo lagi mikirin ceweknya orang lain." Gafin berkata santai. Nada suaranya cenderung meledek dengan tawa yang ikut terdengar di sela - sela ucapannya. Namun sayang, tanpa sepengetahuannya justru ucapan itu tepat mengenai sasaran.
Ya, faktanya hal itu memang benar adanya. Alasan Kafin tak dapat konsen saat bermain game ini dengan Gafin memang karena sedang memikirkan seorang gadis yang sialnya memang adalah kekasih orang lain atua bahkan mungkin status itu sudah meningkat menjadi calon istri mengingat gadis yang dicintainya itu baru saja dilamar oleh sang kekasih.
Mengingat hal itu membuat Kafin tersenyum kecut. Dadanya berdenyut nyeri kala kalimat Mario ketika melamar Cal berputar - putar di kepalanya.
"Makanya cepet cari pacar deh lo. Gista tuh loh pacarin aja, daripada keburu diambil orang lain. Kak Cal bentar lagi nikah tuh sama Bang Mario, masa lo mau dateng sendirian ke nikahannya? Gigit jari lo nanti, gue aja udah sama Yaya."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Blood
ActionKisah cinta antara laki - laki dan perempuan, merupakan hal biasa yang memang sudah menjadi naluri bagi setiap orang untuk merasakannya. Lalu, apa yang akan terjadi jika kisah cinta itu melibatkan dua anak manusia yang terikat oleh hubungan darah...