17. Malam Minggu

1.2K 230 69
                                    

Pilih cerita ini lanjut, atau sudah cukup sampai disini aja?

Yuk vote

Lanjut?

Or

Stop?

Koment di line ya, mana yang kalian pilih.

Thank you ❤️❤️❤️

Jangan lupa ramaikan part ini dengan vote dan komen dari kalian ya guys.

Happy reading, bosque ❤️

"Lo tenang aja. Gue percaya, dia lama - lama bakal luluh kok sama lo. Kalau masih belum luluh ... lo bikin aja dia hamilin lo."

Bugh

Bugh

Bugh

"Aww ... sakit, Gis!" ujar Gafin mengaduh. Pukulan - pukulan yang sebenarnya tak terlalu kencang itu ternyata mampu menciptakan rasa perih di bahu dan lengannya.

"Gila, lo!" maki Gafin sambil mengusap bahu dan lengannya yang menjadi korban pemukulan Gista.

"Bar - bar banget sih jadi cewek. Kalau sama Kafin bisa kalem banget, giliran sama gue ganasnya bukan main!"

"Mulut lo buat gue kesel sih abisnya! Kalau mau ngomong tuh dipikir pakai otak dulu jangan malah pakai dengkul lo yang hitam itu dong, Tyaga!"

Gista meluapkan seluruh kekesalannya. Dibanding dengan Kafin, hubungan Gista dengan Gafin memang jauh lebih dekat. Interaksi di antara keduanya memang sudah terjalin cukup akrab. Tak ayal jika keduanya sering melemparkan candaan - candaan yang lebih lebih sering membuat Gista kesal hingga meluapkannya dengan kemarahan ataupun pukulan - pukulan kecil seperti yang Gista lakukan sebelumnya.

Kedekatan itu pula yang akhirnya membuat Gafin mengetahui bahwa Gista mememiliki perasaan lebih terhadap kakaknya. Walaupun sempat tak mengaku, Gafin akhirnya berhasil membuat Gista membuka suara.

Jika kalian berpikir bahwa Gista memanfaatkan Gafin agar lebih dekat dengan Kafin, maka jawabannya adalah salah. Gafin memang berinisiatif untuk mendekatkan sahabat dan kakaknya itu.

Alasannya Gafin selalu sama. Tak ingin melihat Kafin selalu jomlo atau khawatir jika Kafin ternyata penyuka sesama jenis. Mengingat, Kafin tak pernah sedikit pun menunjukkan ketertarikannya pada perempuan mana pun. Jangankan menunjukkan, bercerita pada Gafin pun tak pernah. Berbeda dengan Gafin yang kerap kali menceritakan gadis yang ia sukai, Yaya.

"Lah, emang gue salah apa?" tanya Gafin polos.

"Lagian nih, gue punya alasan kuat kenapa gue kepikiran buat dia hamilin lo."

Plak

"Aw!" teriak Gafin lagi. Kali ini jauh lebih keras karena pukulan yang diberikan Gista memang jauh lebih kencang.

"Apaan sih, Gis?" ujar Gafin dengan nada kesal. "Bawaan lo mukul - mukul gue mulu. Bisa dimarahin Yaya nih lo kalau dia tau calon suaminya disiksa sama calon kakak iparnya."

Sontak, Gista memutar bola matanya dengan malas.

"Makanya kalau ngomong tuh ya dipikir pakai otak, Gaf."

"Nah, itu karena gue mikir pakai otak makanya gue bilang kaya gitu."

Gista berdecak. Kedua tangannya terangkat dan melipat di depan dada.

"Kalau yang tadi bener pakai otak, gimana pas lo mikir pakai dengkul?" sungut Gista. "Bakal jadi apa coba?"

"Nah, nah ini nih...."

The BloodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang