11. Lobang hidung

18.3K 1.2K 151
                                    

Joshua menaik-turunkan alisnya, “Gimana, terharu kan lo liat mahakarya gue.”

Darryl memasuki ruangannya, sekilas ia memperhatikan pintu ruangannya yang ternyata sudah diganti oleh Joshua. Pintu itu memberi kesan elegan dan mewah di saat yang bersamaan, ia mengakui hasil rancangan Joshua itu.

Menepuk bahu Joshua, “Sekitar tujuh belas tahun kita kenal, baru kali ini kerjaan lo bener.” Darryl tersenyum bangga.

Joshua manggut-manggut, “Kenalin, gue Joshua, Magister Arsitektur.” ujarnya membanggakan diri.

Seketika bulu kuduk Darryl berdiri, ia geli sendiri memiliki sahabat sejenis Joshua.  Ia melanjutkan langkahnya menuju kursi kebesarannya, sedang Joshua mengekor. Padahal pria itu juga punya ruangan sendiri. Joshua rebahan di sofa yang tersedia.

Darryl kini memeriksa semua dokumen dan data-datanya, selama ia mengambil cuti, benar saja pekerjaannya menumpuk. Ia melirik Joshua, pria gila itu sedang menatap layar handphone-nya dengan kening berkerut.

“Woy, lo gak ada kerjaan, ya? Sana ke ruangan lo sendiri!”

“Bentar!”

“Gak usah bentar-bentar, gue gak mau mata gue katarak gara-gara ngeliat lo terus.”

Joshua berdecak sebal, ia berdiri dan menunjukkan layar ponselnya pada Darryl, “Si Juminten nih, gak pernah ikhlas kalau ngechat gue.”

“Kenapa?”

“Minta dibalas terus.”

Kan asem!

~~~

Makan siang, Joshua masuk lagi ke ruangan Darryl. Emang gak ada kerjaan itu orang.

Darryl mendengus melihat kedatangan Joshua, sudah dia katakan jika Joshua adalah bencana. Karena si Magister Arsitektur itu sudah duduk di depannya, jadinya ia menyodorkan semangkok rantang berisi nasi goreng buatan Anastasha.

Mata Joshua berbinar, “Wah, thank you very much my best friend!”

Joshua pun makan dengan anteng, jika seperti ini kan Darryl like. Dari pada koar-koar tak jelas. Joshua melahap hingga tandas, setelahnya ia minum.

“Argh, so delicious! Istri lo idaman banget, nih!”

“Ya iyalah, gue kan gak pernah salah pilih.”

“Iya deh iya,” Dalam hati Joshua nyinyir.

“Eh gak deng, gue pernah sekali salah pilih.” Darryl menepuk meja, seakan ia baru ingat sesuatu.

“Salah pilih dalam hal apa?”

Darryl menepuk-nepuk pundak sahabatnya, “Salah pilih, kenapa dulu gue bisa milih lo jadi sahabat gue.”

“Bajingan!” umpat Joshua. Untung saja ia baik, jadi tidak terlalu mempermasalahkan perkataan Darryl.

“Btw, lo tau gak sih perbedaan nasi goreng pedes sama yang enggak?”

Darryl mengangguk, “Ya bedanya pedes sama enggak.”

“Bego, salah.”

“Yang pedes pake cabe, yang gak pedes gak pake cabe.”

“Bego lo murni, ya.”

Darryl yang tak terima dirinya dikatai bego, mengangkat dagunya, “Terus apaan?”

“Kalo yang gak pedes karetnya satu, yang pedes karetnya dua. Bego, sih!”

Anjing!

~~~

WHERE'D YOU GO, Anastasha?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang