45. Kangen rumah, gue mau pulang.

12.6K 1.5K 356
                                    

Untuk pertama kalinya, Darryl kembali menginjakkan kaki di kantornya. Karyawan yang awalnya memenuhi Neal Corp, kini tidak sebanyak itu lagi. Yang biasanya berlalu lalang sebanyak pengendara motor Jakarta, sekarang tidak sepadat itu lagi.

Bukan, bukan karena Darryl bangkrut. Karena ia dengan sengaja meminta Joshua untuk memecat semua karyawan wanita, termasuk sekretarisnya sendiri dengan tunjangan yang sudah disediakan.

Ia takut kesalahan yang kedua kembali terulang, walaupun sekarang dia sudah tidak bersama Anastasha lagi.

Darryl tak langsung ke ruangannya, melainkan berbelok arah menuju ruangan yang tertulis “The director of architect.”. Dilihatnya pria dengan kemeja navy sedang berkutat dengan beberapa design denah di atas meja.

“Jo!”

“Hm,” ujar Joshua seadanya, fokus pada gambar di depannya.

Darryl menutup pintu lalu mendekati Joshua duduk di atas meja Joshua, “Gue mati.”

“Tinggal gue kubur, susah amat.”

“Gue hancur.”

“Pake semen tiga roda biar kokoh.”

“Gue retak.”

“Nippon Paint solusinya.”

“Gak usah lawak, gue lagi sedih.” ujar Darryl mendengus.

Joshua menghela nafasnya, lalu mengalihkan perhatian sepenuhnya pada Darryl.

“Terus gue harus bantu apa? Nemenin lo nangis tiap malam sampe ketemu malam lagi?” Joshua membereskan denahnya, “gue tau lo terpuruk, tapi lo juga gak boleh terjebak sama masa lalu.”

Darryl mengangguk setuju, “Iya, gue tau. Tapi, gue gak pernah nganggap Tasya masa lalu.”

“Saat cerita udah selesai, itu namanya masa lalu.” kata Joshua lagi.

“Tasya adalah alasan kenapa gue selalu bertahan, dia alasan kenapa gue gak pernah buka hati buat yang lain.”

Joshua berdecak sebal saat Darryl selalu membantah setiap cuitannya, “Tau banget gue kalo lo sayang sama Tasya, tapi ini udah berakhir, Ryl. Biarin dia pergi, semua bakalan baik-baik aja.”

Kata-kata yang sama kembali Joshua ucapkan saat Darryl terpuruk dulu, saat ia selalu saja memeriksa handphonenya untuk melihat apa ada kabar atau tidak dari Anastasha.

“Yakin lo gue bakalan baik-baik aja?”

Dengan mantap Joshua menjawab, “Gak yakin!”

Darryl menunduk lesuh, sakitnya masih sangat nyata. Satu kelemahan Darryl, dia tidak bisa memasang topeng yang tebal untuk menutupi kesedihannya. Sangat berbeda sebelum ia mengenal Anastasha, sedihnya selalu kalah dengan ego, sehingga cermin saja tidak bisa menjelaskan perasaan pria itu. Karena rautnya selalu datar dan tak pernah berubah.

Anastasha memang berdampak besar pada kehidupan seorang Darryl yang keras kepala dan selalu mengedepankan ego. Sampai pria yang tidak kenal arti kasih sayang itu, menjadi rapuh akan cinta.

Semua tidak luput dari perhatian Joshua, ia dengan jelas melihat tangan Darryl yang mengepal dan sedikit bergetar. Menahan tangis yang di tahan dengan sangat. Ia tahu seberapa rindu Darryl pada mantan istirnya itu.

“Lo butuh sedikit refreshing, ikut gue.”

Joshua menarik tangan Darryl untuk ikut dengannya, Joshua sedikit tersentak saat merasakan tangan sahabatnya itu sangat dingin, padahal hari tidak sedingin itu.

🌸🌸🌸

Joshua memperhatikan Darryl yang berpegangan di sisi pagar pembatas sedikit tidak jauh darinya, sahabatnya itu memandang sungai di depannya terlalu intens. Joshua tahu walaupun Darryl menggunakan kacamata. Ia kenal Darryl dengan baik.

Langkah demi langkah Joshua mendekat pada Darryl, dipegangnya pundak sang sahabat dan diputar paksa menghadapnya. Joshua memukul tiba-tiba tepat pada dada Darryl, sehingga pria itu meringis tak terima.

“Gue tau lo gak sekuat itu!”

Joshua melepas jasnya, topi, kacamata dan juga masker yang dia kenakan. Membuangnya begitu saja ke aspal. Darryl mengernyit heran, seakan bertanya alasan Joshua melepas semua yang bisa menutupi identitasnya.

Joshua juga melepas milik Darryl sehingga terpampang wajah pria itu yang bisa Joshua lihat jelas, kalau Darryl baru saja menangis.

“Lo bukan robot, Ryl. Lo gak harus sempurna.”

“Nangis bukan kelemahan, lo gak harus jadi sempurna di mata mereka.” nasihat Joshua pada Darryl, saat mulai banyak yang memperhatikan mereka berdua. Bahkan ada yang merekam mereka secara terang-terangan.

“Dunia ini bukan tentang mereka yang berlomba-lomba buat jadi yang sempurna.”

Joshua menepuk-nepuk bahu sahabatnya itu, “Lo emang publik figur, tapi bukan berarti lo harus diatur sama mereka.”

Joshua kemudian mundur dua langkah dan tersenyum hangat pada sang sahabat, “Nangis aja bego, dan gue bakalan temenin lo nangis juga. Biar lo gak sendirian dikatain gila.”

Setelahnya Darryl memeluk erat Joshua, membiarkan air matanya meluruh. Meluapkan kesedihannya yang ia tahan sejak tadi, menangis untuk meluapkan rasa rindunya pada Anastasha, dan juga putra kecilnya di sana.

“Gue kangen Tasya sama Daneal, Jo.”

“Kangen ....”

Joshua mengusap air mata yang ternyata juga menetes di pipinya, menepuk pundak Darryl. Tubuh sahabatnya itu berguncang karena nafas yang memburu.

“Gue, gue mau pulang. Gue kangen rumah ....”

Jelas Joshua tahu, rumah apa yang dimaksud oleh Darryl.

“Gak ada yang baik-baik aja tentang perpisahan, Ryl. Dan lo harus terima.”

🌸🌸🌸

Jauh dari belahan bumi yang Darryl pijak, seorang wanita menggendong anaknya sambil menatap layar kaca yang membuat hatinya sesak. Seorang pria yang sedang memeluk pria lainnya sambil bercucuran air mata.

Ia lalu memandangi wajah damai sang anak yang baru saja tidur karena menangis seharian mencari papanya.

“Maafin mama, Nak.”

Anastasha mencium wajah anaknya yang sangat persis seperti mantan suaminya.

“Mama ngambil keputusan, yang ngorbanin Daneal. Maafin mama ....”

🌸🌸🌸

Minggu, 21 Februari 2021

jangan lupa vote dan komennya, biar lebih semangat lanjut cerita sampe ending.

kata-kata semangatnya mana nih? ㅋㅋㅋ

terus dukung cerita ini ya, makasih semuanya
selamat membaca dan semoga terhibur 🖤


WHERE'D YOU GO, Anastasha?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang