☔ t i g a p u l u h. Confess
Semenjak kitchen dinner malam itu, Zav dan Juni jadi makin dekat lagi. Zav jadi lancar banget ngejalanin modusnya. Beberapa kali sengaja mangkir di depan gerbang rumah Juni, sekadar menyapa cewek itu dengan senyum manisnya, memujinya cantik di pagi hari sebelum cewek itu berangkat kerja dan menawarkan tumpangan ketika cewek itu pulang istirahat di siang hari.
Tapi tidak menyangkal juga bagaimana Rohim yang gercep ngajak Juni jalan tiap sore, malam, kapanpun Juni ada senggang. Saking padatnya, Juni bisa itung berapa dinner yang akan terjadi selama beberapa malam ke depan.
Juni kayak dioper-oper! Malem ini sama Rohim, besoknya sama Zav, besoknya Rohim lagi, besoknya Zav, Zav, Zav, Rohim, Rohim, Rohim. Udah bagi dua aja badannya!
"Cicagu emang ada apaan?"
"Itu kayak tempat mandi bola anak-anak gitu, bedanya ini buat tempat orang-orang pacaran," Rohim sengaja menoleh ke arah Juni untuk melihat reaksinya.
Juni menahan senyumnya sebelum akhirnya kelepasan tertawa. "Trus? Kita disana nontonin orang pacaran, gitu?"
"Nggak dong, kita ya pacaran juga lah! Kan berdua."
Juni menahan kedutan di bibirnya, matanya dan mata Rohim saling melihat satu sama lain, Juni jadi sadar kalau Rohim punya mata yang indah. Sparkle, itu kata yang tepat untuk menggambarkan bagaimana kilat itu ada di bola mata Rohim, memberinya kesan indah di pandang.
"Aelaa, nggak asik ah nyerangnya hati!"
"Baper?" tanya Rohim terkekeh geli.
"Nggak!"
"Oh iya, baper." simpul Rohim puas.
"Tenang aja, disamping gedung Cicagu ada pasar buah sama banyak jajanan pinggir jalan, perut kamu bakalan senang abis ngabisin energi main bola."
Juni meringis sambil membayangkan betapa enaknya jajanan kaki lima yang Rohim janjikan itu. Membayangkannya membuat perut Juni bunyi-bunyi sampai Rohim harus tertawa mendengarnya dan mengejeknya lucu.
"Lemak aku yang kesenangan kamu jajanin," gerutu Juni. Dia mendelik karena Rohim nggak abis-abisan tertawain dia. "Seneng banget ya kamu gendutin aku?? Udah tau aku paling ga tahan sama yang berlemak, kamu malah sengaja godain aku sama jajanan enakk!" Juni merengut kecil, sengaja sok imut biar Rohim makin ngeluarin aura dewasanya.
Dia selalu merasa dimanja kalau lagi sama Rohim. Beda kalau lagi sama Zav, dia yang manjain. Juni menggeleng ketika pikirannya melantur! Tuhkan, malah ngebandingin Zav sama Rohim lagi!
Zav itu berondong gemesh, kalau Rohim—
Juni spontan mengalihkan pandangannya ke samping. Untuk melihat bagaimana Rohim memutar stir dengan tenang, sesekali matanya melihat ke spion lalu melihat ke depan, gerakan matanya benar-benar tenang seolah menggambarkan kalau dia memang selalu tenang dalam segala hal.
Juni menelan salivanya susah. Dia baru sadar kalau Rohim panas banget malam ini. Bagaimana pria itu sengaja menggulung lengan kemejanya agar mudah cowok itu memainkan stirnya. Kakinya yang sengaja dia buka agak lebar membuat Juni menjerit—kece banget gila??! seriusan gue jalan ama nih orang??—terus beberapa kali juga Juni nggak sengaja menangkap pergerakan Rohim yang mengusap keringat di wajahnya, lalu membuang napas dari mulut, yang menampakkan sekali bahwa dia kegerahan.
Gerah ya sayang ya? Sama. Aku juga gerah liat kamu panas banget sekarang, boleh nggak cium kamu aja??
JUNNN!! STOPP JUNN!!
Juni menghela napasnya gusar. Dia jadi terlihat kayak orang nafsuan dari fantasinya barusan. Dia meremas tas kecilnya. Jangan sampai dia bangkit dari duduknya dan menarik tengkuk Rohim untuk mengetahui sehangat apa bibir seksi itu ketika bersentuhan dengan bibirnya. Sepanas apa ketika lidah Rohim berperang dengan lid—AAAAAAA JUNI STRESS!
"Heyy?? Kamu gapapa??" Rohin spontan menyentuh bahu terbuka Juni membuat Juni agak menyingkir hingga menabrak pintu mobil. Rohim menaikkan alis. "Eh kenapa?"
Juni menelan salivanya susah. Sialan! Dia benar-benar kayak orang nafsuan banget sih barusan???
"Ngga—" suara Juni tercekat, nafasnya jadi tak beraturan ketika Rohim memegang dahinya. "Kamu demam? Kok wajahnya pucat? Mau putar balik aja? Kita balik ke rumah ya?" tanya Rohim khawatir.
"JANGAN!" Juni mendelik karena dia berteriak melarang. "Eh maksudnya— aku nggak papa, beneran! Tadi tuh tiba-tiba tuh eung—apasih bilangnya, argg pokoknya gituu!" Juni menggigit bibirnya, nggak mungkin kan dia bilang kalau dia nafsu pengen cium Rohim?? "Iya gitu," Juni mendesah frustasi karena jawabannya freak banget.
Dia menoleh untuk melihat reaksi Rohim yang cengo. Berhubung macet, mobilnya tak bergerak sehingga fokus Rohim pecah ke arah Juni. Dan Juni jadi semakin malu karena Rohim akhirnya tersenyum menanggapi dan mengacak rambutnya.
"Gemesin banget deh kamu."
"Iya, kamu juga gemesin," gumam Juni pelan.
Sampai pengin gue acak-acak bumi karena bingung pilih lo apa Zav karena sama-sama gemesin! Kalau boleh Juni egois, dia sih mau aja ya pilih dua-duanya. Kan bisa, sehari ini sama Rohim besoknya sama Zav— wah! belom ada sebulan kenal, dia udah kayak pro player berani banget gandeng dua cowok bersamaan. Hadeuh.
.
Nyatanya, Cicagu emang seseru itu.
Juni beberapa kali harus tenggelam di lautan bola karena Rohim yang rese dorong Juni dari seluncuran padahal dia belum siap buat terjun. Abis itu Juni kejar-kejaran lempar bola ke Rohim dan menguburkan cowok itu ke lautan bola dengan sisa-sisa tawa Rohim sampai suara cowok itu jadi serak karena kebanyakan tertawa.
Abis dari Cicagu, persis seperti kata Rohim, dia lapar banget. Sementara Juni menunggu bakso gila pesanan mereka, Rohim menyempatkan membeli salad di pasar buah. Mereka sengaja pilih tempat duduk di atas jembatan, dekat sama orang-orang yang lagi pacaran.
Jadinya Juni mendengus pada Rohim. "Kenapa tempat pilihan kamu selalu tempat orang-orang ngapel sih? Nggak risih? Tuh liat tuh ada yang ciuman ih," omel Juni.
Rohim tertawa dan menerima mangkuk bakso dari Juni. "Thanks," dia menuntun pelan tubuh Juni yang mau duduk di sampingnya. "Gapapa, biar sekalian mencari inspirasi gaya pacarannya anak muda."
Juni terkekeh kecil. "Ingat umur, Mas."
"Kamu pilih yang level berapa?" tanya Rohim.
"Punya aku level tiga sih, kamu level lima. Sengaja beliin yang paling pedes, karena seingatku kamu doyan pedes, eh iya nggak sih?" tanya Juni takut salah.
Rohim mengangguk dengan senyum geli karena salting, tak menyangka cewek itu ingat seleranya. "Heem, aku suka pedes banget, nggak suka sayur, kalau kopi gulanya sukanya pakai gula aren, sama yang terakhir sih—" Rohim menjeda dan menatap Juni lurus-lurus. "—suka kamu."
AJEGILE. Emang boleh sefrontal itu? Juni langsung pura-pura berlagak biasa saja padahal aslinya tantrum dengan tatapan Rohim yang arggg—gak ada obat!
Persis di bawah bulan purnama, bintang-bintang memenuhi langit karena kebetulan malam itu cerah, di atas jembatan, dikelilingi anak muda yang pacaran, Rohim menyatakan isi hatinya di kencan mereka yang kedua dan pertemuan mereka yang keempat! Sat set sat set banget???
Juni menatap ke bawah dimana Rohim menggenggam tangannya dan mengelus lembut punggung tangannya. Bagaimana tangannya yang dingin (karena gemetaran dan salting brutal) bertemu dengan tangan Rohim yang hangat! Juni merasakan darahnya ikut mendidih dan kepalanya pusing bukan main karena ditatap lama-lama oleh Rohim.
BUUU, JUNI TAKUUUTTT!
Begitulah gambarannya. Perempuan selalu mendesak keseriusan laki-lakinya, tapi ketika diseriusin langsung ketar-ketir persis kayak yang Juni rasakan sekarang!
"Mau coba kayak pasangan seberang aja nggak, Jun?"
Juni menelan salivanya susah payah. Yang barusan itu.. ajakan ciuman apa gimana sih?
.
to be continued
.
HAHA cut dulu deh! bolehin ngga nih mas rohim memasuki hati juni? secara zav ngga sat set sat set sih :((
jumpa lagi abis rame ya! vote dulu dong
KAMU SEDANG MEMBACA
Juni Mega & The Crush
Roman d'amourzav & juni | end | childhood bestfriend "I have loved you since we were children." Juni Mega & The Crush. Berkisah tentang Juni, pekerja 24 tahun yang sedang didesak menikah oleh ibu dan tentang hubungannya dengan Zav, tetangga brondong semasa kecil...