☔ t i g a e n a m. Gamon, Bun?
Rohim bukan orang yang suka terlambat.
Jelas dia datang sesuai janji mereka, namun, dia sengaja membiarkan Juni menunggu sedangkan dia memerhatikan perempuan itu dari dalam mobil sejak dua jam yang lalu.Rohim pikir dia sudah siap dengan segala kemungkinan yang bakal terjadi tentang hubungan mereka selanjutnya. Namun, ketika mendapati Juni tengah memerhatikan foto tetangganya itu dengan serius, bahkan mengusapnya dengan sayang, buat Rohim sadar posisinya tidak akan menggantikan peran orang lama di hati perempuan itu.
"Jadi hal apa yang perlu kamu omongin?" tanya Rohim.
Juni berdehem sekilas sebelum akhirnya berusaha bicara. "Rohim. Satu hal yang perlu kamu tahu, i'm enjoying every single moment with you. You break my type, heheh." Juni berbicara setenang mungkin padahal dibawah meja tangannya meremas ujung kaosnya, gugup. "Kamu punya pengendalian diri yang bagus, it makes me interesting. The way you talk, the way you walk, bahkan berkedip aja kamu bisa setenang itu. I'd love to talk for hours with you."
Juni tak segan memberi tahu perasaannya kepada Rohim, bahwa dia senang dengan cowok itu. Jadi dia berkata lirih, dengan perasaan ragu. "Tapi segimanapun aku mencoba buat ngasih tau dunia aku suka kamu, aku gak bisa. Semua itu cuma buat aku makin keliatan jahat sama kamu," dia melirik ke Rohim guna melihat reaksinya, "kamu baikk banget, sementara aku gak tau diri menempatkan kamu di antara pilihan aku. You deserve better than me, it's a klise, but there are so many pretty girl and cute face will give you all the love you want." Juni menarik napas gusar, "karena aku rumit, Him. Semuanya jadi terasa memuakkan, my bad."
Rohim memang tidak suka cara Juni memainkan perasaannya, tapi dia lebih tidak suka ketika Juni merendahkan dirinya seolah dia tidak pantas dicintai.
"You're not." Alis Rohim mengerut tidak suka, nada bicaranya pun serius sekali. "Kalau kamu rumit, aku bakal berusaha untuk mengimbangi jalan pikiran kamu. Kita bisa perbaiki itu. Aku gak masalah dibuat menunggu. Bahkan kalau satu dunia gak suka kita, aku gak peduli. Asal kamu pun mau ada cerita tentang kita as much as I want. Tapi kamu gak mau itu." Juni melipat bibirnya dan Rohim semakin menatap jauh ke dalamnya. "Aku sanggup bersaing buat seratus laki-laki yang mau kamu, tapi aku bisa apa buat bersaing dengan satu laki-laki yang kamu mau. It's okay, Juni, every single moment with you will be the unforgettable memories for me. We're friends."
Rohim mengulurkan tangannya dengan senyum manis dan berakhir dengan tangis haru dari Juni yang sejak tadi mati-matian menyembunyikan mata berkaca-kacanya.
Sial. Kenapa dari sekian banyak opsi gaya perpisahan, Rohim justru memilih cara paling dewasa dalam berpisah?
Saling menerima dan melepaskan..
Zav meremas setir mobil dengan rahang mengeras. Dari sekian banyak tempat, waktu dan segala kemungkinan orang yang akan dia temui di jalan raya, kenapa pemandangan Juni dan Rohim yang sedang berpelukan yang harus dia lihat saat itu? Kenapa Zav harus selalu jadi saksi kisah asmara mereka sementara dia jadi pihak yang paling menyedihkannya.
Pintu mobil dibuka menampilkan bunda Salwa yang baru saja masuk dengan kantong belanja.
"Gula udah, sabun, telur, pewangi, loh? Minyak tadi gak jadi disatuin aja ya? Aduh, pake acara ketinggalan." Bunda Salwa bergegas turun dari mobil. "Bang, bentar mau ambil minyak dulu ketinggalan di kasir, ntar ya heheh."
Zav menipiskan bibirnya dan menunduk guna menghindari pemandangan Juni dan Rohim yang tengah difoto oleh karyawan kafe. Zav memainkan ponselnya lalu berdecak kesal karena jaringan mendadak hilang.
Bunda Salwa akhirnya kembali dengan kantong minyak. Saat hendak membuka pintu mobil dia melihat Juni yang tengah berdiri sendiri sambil memainkan handphone. Bunda Salwa berteriak riang memanggil perempuan itu.
"Juni?? Sayang!" Juni mencari sumber suara dan langsung berteriak heboh juga ketika bunda Salwa mendekat. "Ehh ngapain kamu ihh malem-malem sendirian gini??"
"Abis ketemu temen, bun. Bunda ngapain malem-malem? Dingin gak sih abis hujan," Juni menyentuh sekilas lengan bunda. "Sama om Guan ya bun, gak ikut turun?"
Bunda Salwa menggeleng. "Enggak, beli minyak tadi. Itu sama Zav di dalem, kamu jadi ketemu dia buat balekin berkas yang waktu itu kan?"
Juni meringis pelan, astaga itukan alasan ngawurnya aja. Bisa-bisanya bunda masih bahas hal itu sekarang. "Aman kok, bun. Yaudah Juni duluan ya bun?" Dia harus cepat-cepat pergi dari sini setelah tau ada Zav di sana.
"Loh? Bareng ajalah, gak bawa motor kan kamu?"
"Itu tadi udah pesen—"
"Yaampun kamu inii. Sini sini masukk, kita duduk di belakang aja ya, biar Zav supirin kita, heheh." Bunda Salwa langsung membukakan pintu mobil. "Abangg???"
Juni meringis dalam hati. Mati aja gueee~~
.
Juni melipat bibirnya dan memilin jari-jarinya. Dia duduk di kursi belakang dengan bunda Salwa, sementara sejak tadi Zav tak bersuara sama sekali. Padahal Juni kerap mencuri lirik di kaca guna melihat wajah Zav yang tampak lempeng-lempeng saja.
"Tadi Juni abis darimana?"
Juni meringis kecil, haruskah dia jujur abis jalan dengan Rohim? Di depan cowok itu? Ah, biarlah. Juni ragu Zav peduli, cowok itu bahkan tega memblokir nomornya. Mengingat itu suasana hati Juni memburuk.
"Ketemuan sama temen bentar bun. Tadi dianter sama Tio, dia sekalian kerja kelompok."
Bunda Salwa mengalihkan pandangannya dari layar HP. "Loh Tio udah dibolehin bawa motor sama ibumu?"
"Tadinya Juni yang bawa, abis itu dia pergi ke rumah temennya. Dia Juni suruh balik cepat, jadi gak bisa jemput, Ibu juga lagi gak di rumah kan bun," terang Juni.
"Yaampun, tau gitu kan minta dianterin Zav aja ya. Kamu seharian ini free kan Bang di rumah?" kata bunda Salwa. "Tapi tadi bunda liat kamu bareng cowok ya? Ganteng ih, cakep. Pandai milihnya ya," puji bunda yang tampak sengaja sambil melirik ekspresi anaknya.
Juni meringis kecil ia kira topik itu tak akan pernah disinggung oleh bunda. "Itu temen doang bun."
"Ah kemaren pas sama Zav juga bilangnya temen doang tapi jalan malem terus tuh," bunda Salwa semakin puas menjaili dua anak muda itu. "Sayang yah, kok malah udahan sih. Tapi gapapa, bunda dukung sama yang ini—"
"—bunda," potong Zav. "Ayah nelpon."
Sementara bunda Salwa menjawab telpon dari om Guan, Juni meneliti ekspresi Zav yang ternyata juga tengah meliriknya dari kaca. Juni tertegun, menghindari wajahnya dari ekspresi Zav yang tampak tegang dengan alis bertaut.
Jir. Gue salah apalagi nih huweee~~
"Jun," panggil bunda membuat Juni menoleh dengan senyum polos. "Nanti kabarin ya?"
"Eh, kabarin apa bun?" tanya Juni tak paham.
Bunda Salwa menarik senyum kecil dan melirik ke arah Zav saat tau anak itu mengawasinya. "Kasih tau kalo udah balikan sama anak bunda, biar kita bicarain langsung tanggalnya. Okayy?"
Zav di depan langsung berdehem sekilas sementara Juni duduk kaku dengan tampang bodoh.
Aenjeaye. Anaknya yang putus orang tuanya yang gamon.
.
to be continued
.
udah ye, semoga part ini bakar semangat nulis lagiii 🔥🔥
KAMU SEDANG MEMBACA
Juni Mega & The Crush
Romantikzav & juni | end | childhood bestfriend "I have loved you since we were children." Juni Mega & The Crush. Berkisah tentang Juni, pekerja 24 tahun yang sedang didesak menikah oleh ibu dan tentang hubungannya dengan Zav, tetangga brondong semasa kecil...