Sembilan - Klarifikasi

481 71 3
                                    

Hei, selamat membaca!!
✨✨

Aluna mengayunkan kakinya semangat. Namanya sayup-sayup terdengar di telinganya. Ia tahu, orang-orang tentu sedang gencar membicarakannya. Gadis itu sedang mencoba untuk tidak peduli, dan terus melangkah menyusuri koridor sekolah yang terasa terlalu panjang pagi hari ini.

Sesampainya gadis itu di depan pintu, Vega sudah berteriak keras padanya. "ALUNA! KITA BUTUH KLARIFIKASI!"

Gadis itu tersenyum kecil. Dia berjalan tenang menghampiri ketiga temannya yang sedanh duduk di kursi serta meja guru kelas.

Hadirnya Aluna di sana, mengundang anak-anak lainnya untuk mendekat. Mereka juga tidak ingin ketinggalan berita, tentang kedekatan teman mereka dengan si Most Wanted Garuda Bangsa.

"Lah, kok pada kesini semua?" tanya Aluna bingung. Pasalnya, setengah dari penghuni kelas saat ini ikut-ikutan mengerumuni dirinya-yang sebenarnya hanya ingin ikut duduk dengan Vega, Dinda dan Gladis.

"Mau denger klarifikasi dari lo, Na," balas Arga dengan suara yang pelan, hampir berbisik.

"Buru, Na. Nanti bu Pit keburu masuk," timpal Reval, berintonasi sama seperti Arga barusan.

"Klarifikasi apa sih, maksud kalian?"

"Itu loh, Na, kak Genta kemarin bilang kalo lo ceweknya dia! Setau kita nih, ceweknya itu si Renata, anak IPS 2, noh," kata Reza, menjelaskan.

Aluna terdiam. Ternyata Genta benar-benar sudah memiliki kekasih. Apakah kekasihnya merupakan gadis yang tempo lalu ia temui di perpustakaan, atau malah orang lain? Pikirnya.

"Eng-enggak, kok, aku ga ada hubungan sama sekali sama kakak itu. Kali aja kemarin dia emang sebel sama si cowok ketua geng itu. Siapa sih namanya?"

"Derren," balas mereka hampir bersamaan.

"Nah, iya. Kali aja cowok itu kesel sama kak Derren." Aluna mendesah lega ketika satu persatu temannya mulai mengangguk.

"Ohh git- Heh, Alun. Ga usah bodoh-bodohin gue. Gue tetep gak percaya! Kak Genta itu bukan orang yang kaya begitu," bantah Gladis garang.

Skakmat. Padahal, Aluna sudah merangkai bagus-bagus alasan yang ia berikan tadi. Apa alasan yang ia berikan terlalu kentara?

"Lebih gak mungkin kan, si kakak itu udah ada cewek, tapi malah jadiannya sama aku?"

"Mungkin aja sih, lo cantik. Jadi masih mungkin-mungkin aja tuh," tukas Ila.

"Apa sih, kalian? Intinya aku ga ada apa-ap-"

"Hey, kalian! Ngapain rame-rame di meja guru, hah!?"

"Woi bubar, bu Pit dateng!"

___

Genta menatap bukunya lekat-lekat. Halaman demi halaman kini sedang berusaha dipahaminya. Pensil di tangan kirinya senantiasa digenggam erat oleh jari jemarinya.

Genta beralih menggoyang-goyangkan pensilnya kesana dan kemari menggunakan jari telunjuk dan jari tengahnya. Ia tidak menyadari apa yang telah ia kerjakan, lantaran terlalu fokus mengerjakan soal matematika. Seketika, perhatian cowok itu dengan mudahnya teralihkan oleh ponsel yang terasa bergetar di paha kirinya. Kemudian, Genta merogohnya untuk mendapatkannya.

"Hm, apa?"

"Tuan, apa anda bisa ke kantor sebentar untuk menandatangani dokumen-dokumen ini?"

Genta menghela nafas lelahnya. "Iya, pulang sekolah gue kesana!"

"Baik, Tuan. Saya tunggu kehadirannya."

Genta mematikan sambungan teleponnya sepihak. Cowok itu meremas kasar rambutnya, dan menjatuhkan kepalanya ke atas meja perpustakaan.

Benar. Genta sedang berada di perpustakaan sekolah saat ini. Cowok itu mengasah kembali kemampuannya dalam mengerjakan matematika, karena olimpiade akan dilaksanakan dalam waktu dekat ini.

Sejak dulu, Hana selalu menginginkan Genta untuk menguasai matematika dengan sempurna. Itulah salah satu alasan, mengapa Genta berusaha begitu keras untuk ber-ikut serta dalam Organisasi Olimpiade yang tersedia di sekolahnya. Padahal, dirinya bisa terbilang sibuk, lantaran mengurusi perusahaan besar yang ayahnya tinggalkan padanya, di usia sedini itu.

Genta berharap, ketika suatu saat nanti Hana akan terbangun dari tidur panjangnya, ia bisa menunjukkan beberapa piagam serta sertifikat yang ia hasilkan dari kerja kerasnya sendiri. Ia sangat ingin, Sang Mama bangga memiliki putra sepertinya.

"Ta, capek?"

Genta tersentak. Cowok itu mendongakkan kepalanya, dan menatap Sean yang sudah menempati kursi kosong di depannya.

"Enggak, bosen doang," elaknya datar, sembari kembali berkutat dengan pensil serta buku-bukunya.

Genta tentu sedang berbohong pada Sean, dan Sean sadar akan hal itu. Raut wajah Genta yang begitu lelah, terlalu semu untuk mengatakan bahwa dirinya sedang baik-baik saja.

"Kalau capek, gak usah dipaksa lagi, Ta," ujar Sean mengingatkan. Lima detik kemudian, cowok itu menepuk jidatnya sendiri. "Anjing, udah kaya cewek lo aja, gue, Nyet."

Cowok itu menghela senyum kecil, melihat perangai Sean yang bermacam rupa.

"Gue beliin makanan buat lo tadi, tapi gue taro dikelas. Entar lo makan, eh?" Kata Sean, tanpa melihat Genta, karena cowok itu sedang asik menyelami dunia maya.

Begitu juga dengan Genta. Cowok itu hanya mengangguk, tanpa memandang Sean. Berbeda dengan Sean, cowok itu malah sibuk menyelami dunia penuh angka.

Orang perfect kaya lo, juga gak terlalu bahagia ya, Ta?


___


tbc


Kill This Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang