Tiga puluh enam - Bangunnya sang putri tidur

251 38 4
                                    


"Mama!"

Cowok jangkung berseragam sekolah lengkap itu langsung memeluk sang mama tercinta yang sudah siuman sejak pukul delapan pagi tadi dengan erat. Sebenarnya, ia sudah di beri tahu sejak pukul sembilan pagi tadi. Namun mamanya meminta untuk Genta mementingkan urusan sekolahnya terlebih dahulu. Hal itu membuat Genta menurut pasrah, dan akan mengunjungi mamanya saat pulang sekolah tiba.

Kini waktu itu sudah tiba, dan mengakibatkan bertemunya Genta dan sang mama. Pelukan erat yang kini diberikan Genta, terasa sangat hangat dan sesak bersamaan bagi Hana, mama Genta. Sebab Genta mendekap mamanya seakan tidak ingin terpisah dari jiwa sang mama lagi.

Genta mendorong bahu Hana pelan, menguraikan pelukan mereka."S-sayang, jangan nangis. M-mama ikut sedih lihatnya," ujar Hana bergetar. Hatinya ikut bergetar ketika melihat putranya menangis. Wanita itu cepat-cepat menyeka air mata Genta.

"Ma, gimana perasaan mama? ada yang sakit?" tanya Genta penuh perhatian dengan suara seraknya.

"Pas pertama bangun, rasanya aneh banget Al. Tapi sekarang mama udah terbiasa. Maafin mama ya, Al. Mama udah ninggalin kamu sendirian bertahun-tahun," Hana benar-benar menyesal, terlihat dari sorot matanya. Spontan Genta mendekatkan diri dengan Hana, dan memeluknya.

"Gak, jangan minta maaf kaya gitu ke Alva, Ma. Alva yang salah, Alva-"

"Ssstt... Ga ada yang salah disini. Ini udah jalan takdir yang Allah kasih buat kita semua. Jadi jangan merasa bersalah ya, Al," Genta mengangguk, mengindahkan pesan mamanya.

"Kamu makin besar, makin ganteng ya? Mama jadi nyesal gak ada di samping kamu pas kamu lagi tumbuh-tumbuhnya," Hana tertawa kecil. Wanita itu menangkup wajah tampan Genta, dan menyentuh di setiap sisinya.

Alva terkikik geli. "Alva cakep juga karna mama yang cantik," pujian balik Alva membuat Hana senang dan terasa lucu bersamaan.

"Al, Mama mau nanya sesuatu sama kamu," ucapan Hana barusan membuat Genta yang sedari tadi berdiri, kini menempatkan dirinya di kursi samping brankar.

"Iya Ma. Alva bakal jawab."

"Papa kamu... perlakuin kamu dengan baik, kan? Atau papa udah dapat pengganti mama? Gimana keadaan papa kamu sekarang, Al?" suara Hana memgalun lembut di telinga Genta. Genta pun hanya tersenyum kecut, sebagai respon awalan.

"Alva berat buat jawabnya. Tapi, cepat atau lambat, mama pasti bakal tau. Papa sering bawa perempuan ke rumah, ma. Perusahaan dia serahin seutuhnya ke Alva pas lagi jatuh-jatuhnya. Papa bakal ceraikan mama pas mama udah bangun," kata Genta memjelaskan, dengan suara pelan, dan memilukan.

"Mama bakal ceraikan papa mu. Alva gak masalah kan?" tanya Hana ragu. Wanita itu mengulurkan tangan lentiknya, dan mengelus surai legam putranya. "Mama bakal cari kerja, dan hidupin kamu. Kamu mau hidup sama Mama?"

Tidak perlu di tanyakan lagi, Genta tentu menyetujuinya. Terlihat dari respon cowok itu yang mengangguk antusias.

"Tapi ya gitu... mama gak bisa penuhi kebutuhan kamu dengan fasilitas-fasilitas yang mahal, Al. Mama takut, kamu malu hidup sama Mama," Hana tiba-tiba tertunduk sedih. Genta tertegun mendengar pemikiran mamanya yang sama sekali tidak sama dengan yang ia pikirkan. Cepat-cepat Alva mengangkat kepala wanita itu, dengan menempelkan telunjuknya ke dagu Hana.

"Mama, liat Alva! Alva gak peduli. Toh aku bisa ikutan kerja. Bentar lagi aku bakal lulus. Aku bakal kuliah dan aku bisa kerja part time sambil bantu-bantu keuangan kita. Itu semua bakal gampang, mama gak perlu khawatirin apa yang gak perlu. Aku lebih malu hidup sama papa yang suka bawa perempuan gak jelas kerumah kok," Genta berucap mantap. Tanpa sadar, bibir Hana ikut melengkung ke atas ketika mendengar keyakinan putranya yang begitu besar.

"Kamu udah gede banget, Alva!"

___

'tuut.. tuut.. nomor yang anda tuju tidak dap-'

Gadis bersurai panjang itu kini sedang gelisah setengah mati. Masalahnya, Genta terus menghindar darinya sejak pulang sekolah tadi. Dan kini cowok jangkung tampan itu malah tidak bisa dihubungi.

Lantaran lelah memondar mandirkan tungkainya sejak tadi, gadis itu kini memilih untuk duduk di kursi tempat biasa dirinya berkutat dengan buku-buku pelajarannya. Aluna menatap kosong ponselnya yang tidak menunjukkan tanda-tanda akan masuknya notif pesan ataupun panggilan dari kekasihnya.

"Ah... kesel banget aku pokoknya," Aluna mengacak rambutnya kasar. Gadis itu pun menghantukkan kepalanya sendiri ke permukaan meja.

"Yang pms kan aku, kenapa dia yang ngambek?" gerutunya lagi, masih kesal dengan problem yang sama dengan beberapa menit yang lalu.

"Tau ah, mending buat PR," keputusannya sudah bulat. Sangat akan lebih baik jika ia mengerjakkan tugasnya dibanding berdiam diri menunggu balasan atas pesan-pesan nya yang sudah ia kirimkan ke kontak Genta.

"IHH... NGESELIN BANGET HARI INI!!"

___

Thanks for reading💛💛

Kill This Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang