Empat puluh tiga- Adit

220 37 1
                                    



"Gimans, gimans? Infos daris gues mancaps khanss?" Genta memutar matanya malas. Cowok itu menaruh samsung lipatnya ke atas meja belajarnya, serta mendengarkan ocehan Sean tanpa niat dari ponselnya yang kini sudah ia aktifkan mode speaker. Genta pun duduk di meja belajarnya, dan lanjut membaca.

Membaca komik.

"Anjeng, ga di respon. Pinter boleh bang, tapi gak ngotak buat apa? HAHAHAHA..." Sean ngakak sendiri ketika mecosplay ucapan Reza tempo lalu. Beda hal dengan Genta. Cowok itu malah berdecak kesal.

"Berisik lo," cibir Genta. Padahal Sean masih ingin berbicara banyak. Harapan itu pupus seketika, saat Genta memutuskan panggilan suara, sepihak.

Sebenarnya juga, Genta sangat ingin mengucapkan rasa terima kasihnya yang jarang-jarang ia ucapkan pada orang lain, untuk Sean. Secuil informasi yang diberikan Sean untuknya, sangat memudahkan Genta dalam pencaharian keberadaan markas Tiger yang sangat di rahasia-rahasia kan.

Dulu, Derren sempat menemukan markas Tiger saat dalam misi menyelamatkan mantan kekasihnya. Namun setelah tertangkapnya Ketua mereka, antek-antek Rauzan tampaknya memindahkan markas ke daerah yang jauh lebih tersembunyi.

Sampai sekarang, tidak ada yang mengetahui keberadaan markas utama mereka.

"Al, bantu mama gantiin lampu dapur dong," Genta menoleh ke arah pintu saat medengar teriakan Hana. Cowok itu menaruh komiknya ke atas meja, dan beranjak pergi keluar kamar.

"Iya, Ma."

___

Angin malam yang berhembus damai, membuat surai indah milik gadis itu ikut menari kesana kemari dengan lincahnya. Gadis itu termenung di depan jendela kamarnya yang sengaja dibuka, dengan niat menyejukkan pikiran menggunakan hembusan halus angin malam.

Kini gadis itu lagi-lagi di tinggal oleh sang Papa yang selalu gila akan pekerjaannya. Tidak juga, kali ini Papanya tengah pergi keluar kota lantaran perintah langsung dari sang atasan. Hal itu membuat Delon mau tidak mau meninggalkan putrinya bersama Bi Sari yang kini sudah kembali bersama mereka.

Lamunan Aluna buyar ketika mendengar suara dari perutnya sendiri. Gadis itu memegang perut ratanya sambil menunduk. "Ck, pengen Seblak," gumamnya. Sebetulnya, sedikit mustahil untuk mendapatkan seblak pada pukul segini.

00.30 malam.

"Apa aku beli aja kali ya? Di depan komplek kan ada," monolognya sambil menimbang-nimbang keputusan yang akan di ambil.

"Beli ah, laper," final Aluna, setelah berpikir sekian menit lamanya. Lagipun, perutnya saat ini benar-benar tidak bisa di ajak kompromi, begitu pun dengan keinginannya.

Aluna menyambar jaket putihnya yang berada di sangkutan belakang pintu, lalu cepat-cepat beranjak pergi tanpa sepengetahuan Bi Sari dan juga Rio.

Setelah berhasil mengendap-ngendap keluar, kini Aluna sudah berada di luar rumah. Gadis itu melangkahkan kakinya tenang, sambil menikmati senyapnya suasana malam. Tidak ada manusia maupun motor yang melintas di sekitar kompleknya. Setelah lama berjalan, gadis itu sampai di depan gerbang komplek. Disana, baru lah terlihat beberapa motor dan mobil yang masih berlalu lalang.

Setelah menemukan dan mendapati Seblak yang sedari tadi di iming-imingkannya, Aluna berniat untuk kembali pulang, lalu menikmati seblak pedasnya sambil menonton sebuah drama.

Aluna mulai mengayunkan kakinya ragu, melihat langit malam yang sudah terlihat mendung dan siap untuk menurunkan titik demi titik airnya kapan saja.

Tidak ingin terlalu berlama-lama, Aluna meyakini hatinya bahwa tidak akan ada masalah selama di perjalanan nanti. Gadis itu mulai mencoba menyebrangi jalan raya yang memisahkan antara dirinya dengan gerbang komplek. Belum sempat melangkah, Aluna sudah di kagetkan oleh pespa kuning yang tiba-tiba saja berhenti di hadapannya. Pespa itu seolah ingin menghentikan niatnya untuk menyebrangi jalan.

Cowok di atas pespa itu turun dari pespanya dan menghampiri Aluna. Ia pun membuka helm nya. "Aletta? L-lo?" Aluna mematung, sebab cowok itu mengenalnya sebagai Aletta, adiknya. "Woi, lo beneran Letta? Dosa apa gue jumpa lagi ama lo?" tanya cowok itu akrab.

"Aelah diem ae lu. Kuy, gue anter ke rumah lo. Udah gerimis gini," tawarnya, yang tentu sedikit berat di terima oleh Aluna. Namun yang di katakan cowok itu benar adanya. Hujan sudah turun.

"Buru, Anjim," cowok asing itu menarik lengan Aluna dengan pelan. Gadis itu pun tersadar dari lamunan singkatnya. Tanpa berpikir panjang, dengan cekatan gadis itu naik ke atas pespa kuning itu dengan perasaan ragu. Namun Aluna lebih memikirkan nasibnya jika tidak ikut naik bersama cowok jangkung berpespa kuning itu.

Tidak sampai lima menitan, kini Aluna dan cowok itu sampai tepat di depan gerbang rumahnya, dengan keadaan sudah setengah basah.

Aluna turun dari pespa, tanpa mau di bantu oleh cowok itu. "E-eh, kamu gak mau masuk dulu? ini ujan....?"

"Adit."

"A-ah..., ujan loh Dit. Kamu gak mau neduh dulu?" tawar Aluna basa-basi dengan nada bicara khasnya. Cowok itu dengan anehnya, ia malah tertawa.

"Aku-kamuan lo sekarang? Betewe, gue mau langsung balik, Let. Lagian udah malam juga," Adit menjeda perkataannya. "Lo masuk sana! Ini dingin, ntar lo sesak lagi," dia cukup tau kelemahan Aletta.

"O...oh, i-iya. Sebelumnya, makasih ya."

Adit mengangguk, dan menyunggingkan senyum manisnya. Setelelah itu, ia menyalakan pespanya, dan memutar arah mengarah pintu gerbang yang sedikit terbuka. Seperginya Adit, Aluna malah berfikiran aneh tentang cowok itu.

"Terlalu santai sikapnya jumpa sama orang yang udah mati."

____

Vote komennya di tunggu temen-temen!!

Kill This Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang