Lima puluh sembilan - Our Ending

488 43 4
                                    

"Aku akan selalu ingat saat-saat aku tertawa bersamamu. Dan aku akan selalu ingat dimana saat kau memelukku. Sampai kapan? Sampai ajal akan menjemputku."

-Aluna Rizqayla

____

Sepulang dari pemakaman, Aluna berjalan lambat menuju ruangan VVIP-tempat kekasihnya yang terbujur lemah disana. Sesampainya, Aluna tidak melihat siapapun di sana. Lantas gadis itu berjalan, mendekatkan diri ke brankar. Aluna mulai menitikkan lagi air matanya yang tadi sempat berhenti.

"Al..." bisiknya pelan, pada Genta yang masih setia menutup kedua matanya.

"Maafin aku, ya?" lanjutnya. Gadis itu meraih serta menggenggam erat tangan dingin cowok itu agar sedikit menghangat.

"Aku pergi, ya?! Aku harap, kamu mampu melewati masa koma kamu dengan cepat. Dan setelah kamu bangun, aku berharap kamu gak bakal nyari aku lagi, ya." Air mata Aluna semakin banyak yang terjatuh dari sumbernya.

"Aku bakal terus cinta sama kamu sampai kapan pun," ia mengecup tangan dingin itu, dan mengecup kening cowok itu dengan durasi yang sedikit panjang. Gadis itu sedang menikmati moment-moment terakhirnya bersama Genta, Sang kekasih. Keputusannya yang sudah bulat, membuat ia menyudahi kegiatannya dan pergi meninggalkan cowok itu dengan sejuta kenangan yang masih akan terus menerus tersimpan di memorinya.

Aluna menutup pintu ruangan, pelan. Lalu setelah itu, ia menyandarkan diri pada pintu, dan berjongkok disana. Aluna membenamkan wajahnya pada telapak tangannya sendiri. Gadis itu menangis sejadi-jadinya. Kepergian Dendi dan celakanya Genta adalah penyebabnya. Dua cowok yang berarti dihidupnya itu, kini harus menderita karenanya.

Dendi menabrakkan diri, tepat setelah cowok itu menelefon Aluna. Kelihatannya Dendi sangat tertekan, dan merasa bersalah dengan kelakuannya. Dan akhirnya, cowok itu mengambil keputusan yang sangat bodoh.

Aluna benar-benar sangat frustasi pada dua hari belakangan ini. Gadis itu benar-benar tidak lagi bisa berada di samping Genta. Selain rasa bersalahnya pada Genta yang begitu besar, ia juga merasa bersalah pada Dendi yang tidak bisa ia balas cintanya.

Hanya ini yang bisa ia lakukan sekarang. Menjadi seorang pengecut, dan menghindari semuanya, agar kejadian yang serupa tidak pernah lagi terulang.

___

Cowok berhoodie abu-abu itu menatap serius pada jalan sekaligus ponselnya yang berdiri tegak di atas dashboard, secara bersamaan. Semalam, Aluna meneleponnya. Gadis itu meminta tolong padanya untuk datang besok siang ke rumahnya. Cowok itu menyetujuinya, dan kini ia sedang menuju kesana.

Sampai di lokasi, Derren langsung masuk ke dalam gerbang, dan ia melihat bahwa Aluna telah menunggunya diteras.

"K-kak? Duduk dulu!" Aluna berdiri dari kursinya, lalu gadis itu mempersilahkan Derren untuk duduk di kursi sebelahnya. Derren mengangguk patuh, lalu duduk sesuai intruksi gadis berkaus hijau muda tersebut.

"Langsung aja ya, kak. Jujur, aku kecewa sama kakak." Baru saja datang, Derren langsung disuguhkan dengan perkataan menusuk dari Aluna. Cowok itu menukikkan alisya, merasa heran dengan arah topik pembicaraan mereka.

"Jujur sama aku, kak. Apa yang kakak udah lakuin buat Dendi?" Aluna kembali memojokkan cowok itu. Dan mulai dari situ, Derren mulai paham.

Sebelum mengaku, cowok itu terdiam sejenak. Hatinya mengatakan, bahwa ini sudah waktunya untuk mengakui seluruh kejahatan yang sudah ia lakukan.

"G-gue... gue ancem dia. Kalau gak turutin perintah gue, gue bakal laporin Ibunya kepolisi." Cowok itu tidak berani berbohong. Padahal sebelum-sebelumnya, ia begitu ahli.

"Tapi lo harus tau, Na. Gue memang suruh dia untuk cegah Genta, bukan celakain Genta. Gue kasih kebebasan untuk dia, mau dengan cara apa dia hentikan Genta. Dan ternyata dia sendiri yang memilih untuk celakain Genta. Gue cuma mau menjadi satu-satunya penyelamat lo, Na. Gue juga mau, lo merasa berhutang sama gue, dan gue bisa milikin lo selamanya."

Aluna membuang muka. Gadis itu tidak tahu lagi bagaimana ia harus bersikap. "Aku bukan Aletta, kak! Kakak tau itu. Aku beda dengan Aletta." amarah Aluna tertahan. Derren tahu itu. "Kakak ancam Dendi, kan? Apa yang kakak ancam?"

"G-gue bakal nyerahin rekaman cctv yang ada dirumah gue. Jadi, dulu ibunya pernah jadi karyawan dirumah gue, dan dia ngambil yang bukan miliknya. Itu semua udah di selesaikan secara baik-baik sama nyokap bokap gue. T-tapi, gue pake itu sebagai kelemahannya. G-gue nye-"

"Gak ada gunanya lagi kakak nyesal. Dendi udah pergi, Alva juga udah celaka parah. Aku gak tau harus apa," lirihnya pilu. Derren mengusap wajahnya kasar. Aluna kembali menoleh pada Derren yang begitu resah.

"Jangan bilang apapun sama Alva. Aku bakal pindah bareng Mama. Rahasiain ini dari dia, ya? Tolong Kak."

Derren terdiam dalam keterkejutannya. Tak lama, ia angkat bicara. "N-na? K-kenapa? Alasannya?"

"Aku gak bisa, kak. Aku gak bisa terus menerus ada di antara kalian. Sumber masalah ini adalah aku. Jadi, untuk mencegah itu semua, aku harus pergi." Aluna tersenyum tipis. Derren yang melihat itu semakin merasa bersalah akan perbuatannya. Ia melukai perasaan gadis itu terlalu dalam.

"Aluna, maafin gue. G-gue tolol, gue kira dengan berkorbannya gue buat lo, gue bisa rebut hati lo. Ternyata gue salah. Genta tetaplah Genta. Dia adalah satu-satunya cowok yang bisa menangin hati lo." Tawa hambar cowok berderai. Aluna hanya diam, merasakan ketersiksaan dari setiap kata yang Derren ucapkan.

"Iya, dia satu-satunya, kak. Kalau ada yang lain pun, aku terpaksa."

___

End

Kill This Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang