Lima puluh tujuh - Tears

257 42 4
                                    

Aluna menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Gadis itu tidak bisa menghentikan tangisan pilunya. Ia merasa sangat bersalah, marah dan benci pada dirinya sendiri. Aluna merasa, semua itu adalah salahnya. Jika saja dirinya tidak menyetujui ajakan Reza, mungkin Genta masih baik-baik saja.

Derren yang duduk disamping Aluna, cowok itu terus menerus mengelus punggung Aluna agar gadis itu agak tenang. Tapi, rasa khawatir Aluna pada Genta lebih unggul dari apapun. Mau apapun itu, Aluna tidak bisa berhenti menangis kecuali tiba-tiba saja Genta dikabarkan selamat dan dalam keadaan baik-baik saja.

Walaupun itu mustahil.

Sedangkan Sean, cowok itu hanya merenung di sudut ruangan. Ia tidak menangis, tidak juga mondar-mandir khawatir. Cowok itu lebih memilih menuangkan kegelisahannya pada keterdiamannya. Bukan berarti Sean tidak khawatir dengan sahabatnya, hanya saja ia terlalu lelah untuk berbuat demikian.

"Na, udah lah Na. Jangan nangis, nan-"

"Keluarga dari Genta Alvaraldo, siapa?" terlalu lenyap dalam kesedihan masing-masing, mereka bertiga sampai tidak menyadari bahwa dokter yang menangani Genta sudah keluar dari ruang operasi.

"Saya, Dok. Saya kerabatnya. Keluarganya lagi pada enggak ada," ujar Sean dengan suara seraknya.

"Hmm... keadaan pasien sebetulnya begitu parah. Hampir tidak selamat. Dan Alhamdulillah semua berjalan dengan lancar. Benturan kuat yang terkena di kepala membuat pembuluh darah pasien di bagian tersebut sempat membeku. Tapi kini sudah tidak masalah.Namun, pasien masih dalam keadaan kritis untuk saat ini. Kami akan memindahkan pasien sebentar lagi. Kalau begitu-"

"D-dia... bakal sadar kan, Dok?" Aluna menatap pria itu dengan tatapan berharap. Gadis itu sangat berharap bahwa Genta akan baik-baik saja.

"Untuk saat ini, kemungkinan sadarnya begitu kecil. Lebih besar kemungkinannya untuk tidak selamat. Tapi, kami akan memberikan penanganan terbaik untuk pasien. Jangka waktu yang dibutuhkan untuk pasien sadar minimal satu bulan lebih, dan untuk maksimal sekitar 4 atau 5 bulan lebih. Saya permisi," pria paruh baya berjas putih, dengan masker hijau menutupi sebagian wajahnya itu pun akhirnya mengundurkan diri.

Aluna mendesah putus asa. Gadis itu frustasi dengan keadaan Genta yang dikatakan oleh dokter barusan. Gadis itu mengusap wajahnya, lalu mengacak rambutnya kasar. Air matanya kembali bergulir mengenai pipi mulusnya.

"Alun, jangan gini. Genta bakal sedih kalo dia liat lo hancur kaya gini," Sean tidak sanggup mendengar isakan Aluna yang begitu pilu. Cowok itu memeluk tubuh mungil Aluna untuk menenangkan kekasih dari sahabatnya. Aluna pun menumpahkan air matanya di dalam pelukan Sean yang hangat.

"Jangan nangis, Na."

___

Dendi menepikan mobil sedan nya. Tidak, bukan miliknya, namun milik seseorang yang memintanya untuk menjalankan tugas yang begitu membebankan pikirannya. Menolak maupun menerima, sama-sama merugikan kehidupannya. Cowok berjaket hitam itu memukul setir mobil, kuat. Ia benar-benar menyesali perbuatannya.

"B-bang. Maaf, maaf sebesar-besarnya bang. G-gue terlalu kuat ya... nabrak lo? G-gue harus apa... hiks," Dendi menenggelamkan wajahnya pada setir mobil yang ia dekap. Mengingat berapa kali sudah Genta menyelamatkan hidupnya, membuat Dendi terus menerus merasa bersalah.

"Ak-aku harus telfon Aluna," gumamnya lirih seraya mengambil ponsel miliknya dengan tangan yang bergetar.

"Halo Na? K-kenapa nangis?" tanya Dendi naif. Selama dua menit lamanya, Dendi hanya mendengar isakan pilu dari mulut Aluna. Hal itu membuat hatinya begitu sakit.

"Hiks... kak Genta koma, Di... Hiks. Dia koma gara-gara aku..." gadis itu kembali terisak. Bisa dibayangkan betapa hancurnya Aluna saat ini. Tanpa di ketahui oleh Aluna, Dendi ikut meneteskan air matanya.

"L-loh, iya? K-kok bisa?"

"Orang gila yang nabrak dia. Gila, sampe gak mau tanggung jawab!" Aluna sangat benci dan kesal dengan pelaku yang sudah melukai Genta. Dan pelaku dari semua itu adalah orang yang sedang meneleponnya.

"T-tenang, Na. Aku yakin ak Genta pasti kuat," ujar Dendi menenangkan Aluna. Namun isakan yang terdengar dari ponselnya, belum juga reda.

"Jangan nangis lagi. Aku tutup dulu ya, Na."

___

Cowok dengan kaus garis-garis hitam dan putih itu menyanderkan tubuh lelahnya pada dinding rumah sakit. Setelah melihat keadaan Genta di ruangan, ada rasa bersalah terbesit di hatinya. Bukan, bukan karena itu adalah Genta, tapi karena tangisan Aluna yang mengalun menyedihkan di telinganya.

Pikirannya kacau. Seharusnya ia tidak bersikap kekanak-kanakan untuk mengambil hati Aluna. Hanya karena ingin dipandang sebagai penyelamat, cowok itu sampai melakukan hal yang begitu bodoh. Derren hanya menghela nafas berat, lalu mengusap wajahnya kasar.

Beda hal dengan Aluna. Gadis itu enggan melepas genggamannya pada tangan Genta yang begitu dingin. Air matanya terus berjatuhan mengenai punggung tangan cowok itu. Sean yang melihat itu, hanya bisa terdiam sedih di pojok ruangan VVIP yang kini di tempati sahabatnya.

Sean berjalan mendekati Aluna. "Na, udah ya? Pulang, ganti baju dulu. Baju lo lembab, nanti masuk-"

"Kalo kakak mau balik, deluan aja, kak." Aluna masih menatap sendu pada Genta. Padahal Sean sedang mengajaknya berbicara.

"Dari tadi bokap lo nelefon, udah di angkat?" Aluna mengangguk. Memang tadi Papanya sempat melefonnya lantaran khawatir, dan Aluna pun sudah mengabari pria itu.

"Gue ambilin baju deh, gimana? Jangan gini, Na. Ntar kalo lo sakit, yang ngurus Genta siapa? Emaknya lagi gak disini karena kerja, loh."

Aluna berpikir panjang. Aluna tidak mau meninggalkan Genta untuk saat ini. Dan opsi yang ditawarkan Sean adalah opsi terbaik. "Iya, boleh. Sekalian bawa kak Derren pulang juga. Kalian pasti capek."

"Iya. Tuh Onta gue suruh pulang deh nanti. Tapi gak papa kalo lo sendirian disini, Na?" Sean khawatir jika meninggalkan Aluna disini sendirian. Tapi gadis itu tersenyum dan menggeleng.

"Subuh gue balik lagi. Gue bakal gantian sama lo, ya?" Aluna kembali mengangguk.

"Gue sama si Derren balik ya," pamit Sean.

Lima menit sudah sejak Sean dan Derren meninghalkan ruangan. Gadis itu terdiam sedari tadi, sambil terus menggenggam tangan cowok itu. Tiba-tiba, Aluna melirik ponsel abu-abu Genta yang tergeletak di atas nakas. Gadis itu sedikit penasaran, lalu membuka ponsel Genta yang tampak meretak di bagian layar. Gadis itu membelalakkan mata saat melihat fotonya yang terpapar disana, sebagai wallpaper lockscreen. Tanpa aba-aba, gadis itu kembali meluncurkan satu tetes air matanya.

Gadis itu melirik angka yang ada di lockscreen ponsel lipat Genta. Jam sudah menunjukkan pukul tiga pagi ternyata. Pantas saja ia merasa begitu lelah dan mengantuk. Alih-alih tertidur, Aluna malah kembali menatap wajah tampan Genta yang terlihat begitu pucat, dengan masker oksigen yang bertengger menutupi hidung dan mulutnya.

Aluna mengelus puncak kepala Genta, kemudian mengecup keningnya.

"Heran banget. Kamu udah kaya gini masih aja ganteng," Aluna terkekeh sumbang.

"Aku gak rela lepasin kamu, Al. Tapi... aku juga gak bisa berdiri di samping kamu selalu. A-aku merasa bersalah kalau aku terus-terusan bareng kamu," Aluna menjeda unek-uneknya. "Bukan buat kamu bahagia, aku malah buat kamu selalu menderita." Aluna mengusap pipi dan hidungnya sendiri. Biasa, jika gadis itu menangis, Genta lah yang mengusap air matanya. Tapi, kini dia harus mengusapnya sendirian.

"Kamu hal yang paling indah yang pernah aku punya, Al."

___

Hmm... bau-bau sad ending mulai kecium nih!!

Iya, kan?

Kill This Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang