Genta memejamkan matanya dengan khidmat, ia berjongkok didepan gundukan tanah yang menjadi tempat peristirahatan terakhir sahabat karibnya. Hatinya tak henti mengirimkan doa yang terbaik untuk sang sahabat, begitu juga dengan Sean di sampingnya. Setelah selesai dengan kegiatannya, Genta mengulurkan tangannya, lalu menyentuh nisan putih bersih itu, yang mencantumkan nama, tanggal lahir, serta tanggal wafatnya sahabat mereka.
Gerald Fadren Al-ghifari.
"Ge," panggil Genta pelan. "Selamat ulang tahun ya bro!" Genta menyunggingkan senyum palsunya.
Sean hanya memperhatikan Genta dalam keterdiamannya, namun tidak dengan pikirannya. Kini kepala cowok itu mengingat bagaimana manisnya kenangan mereka bersama bagai kaset rusak yang berputar.
"Gue tau lo udah tenang disana, jadi gue ga perlu khawatir lagi, iya kan?" Genta menyorot nisan itu dengan sorot mata kesedihan yang mendalam. Cowok itu menarik kembali tangannya dari nisan, lalu beralih menyingkirkan beberapa helai rambutnya yang berterbangan mengikuti hembusan angin.
Lantas Sean menggantikan posisi Genta. "Woi, udah ulang tahun aja ya lo," tangan cowok itu juga mengusap nisan, seperti yang dilakukan Genta sebelumnya.
"Sorry banget kita jarang kunjungin lo. Soalnya Genta udah super sibuk sekarang, kaya seleb," canda Sean, tidak bermaksud melucu.
"Udah mau magrib nih. Kita balik ya Ge?!" Sean berdiri bangkit dari jongkoknya, disusul juga oleh Genta.
"Gue sama Sean balik, Ge," pamit Genta yang tentu tidak di sahuti oleh sang pemilik tempat. Dan setelahnya, dua cowok itu berbalik arah, lalu beranjak pergi dari sana.
Langkah kaki Genta tiba-tiba saja terhenti. Tidak jauh dari tempatnya, samar-samar cowok itu dapat melihat bahwa Aluna dan Derren sedang berada di tempat yang sama dengannya. Aluna terlihat begitu fokus memanjatkan doa untuk sang penghuni pusara, sesekali mengusap air matanya yang terus bercucuran. Derren yang juga sedang berdiri di samping gadisnya, tampak melakukan hal yang sama.
Genta begitu serius memperhatikan keduanya dari kejauhan. Sampai-sampai Sean juga ikut melihat apa yang Genta lihat.
"Ngunjungin Aletta kali," terka Sean tiba-tiba. Secara tidak sengaja, ia telah menjawab pertanyaan Genta yang terus menerus berputar di kepalanya.
"Lo mau kesana?" tanya Sean. Tanpa memindahkan pandangannya, Genta menggeleng samar.
"Gue nungguin Aluna di parkiran aja," Genta memutuskan tatapannya, dan beralih kembali berjalan keluar dari pekarangan makam, kemudian menunggu Aluna hingga selesai di atas motor ninjanya.
___
Aluna melampirkan tangan kirinya ke bahu kiri Genta, sebagai pegangan agar dirinya tidak terjatuh. Cowok itu dengan perasaan marah dan dongkolnya, membantu gadisnya itu turun dari motor ninjanya yang terbilang sedikit tinggi. Cepat-cepat Aluna membuka helm hitam yang tadi dipakainya, lau mengembalikan pada sang pemiliknya yang sedang dalam mode badmood. Aluna yang melihat itu, tidak berani banyak bicara.
"Gue cabut," pamit Genta singkat dan datar. Bahkan cowok itu tidak membuka kaca helm fullface-nya.
Genta menyalakan mesin motornya siap untuk melaju, namun tangan Aluna tiba-tiba menyentuh lengan kekar cowok itu yang berbalut jaket hitam favoritnya. Genta melirik sekilas tangan gadisnya.
Cowok itu membuka paksa helm yang di kepalanya. "Apa lagi?!" Aluna mematung ditempatnya. Barusan, Genta baru saja membentaknya. Memang sih Genta tidak sekali dua kali pernah membentak gadis itu. Tapi tetap saja mengagetkan.
Aluna sadar, dan gadis itu mengaku salah. Aluna pergi bersama Derren tanpa sepengetahuan Genta. Penyebabnya adalah, ponsel gadis itu mati karena habis baterai, dan Aluna pun tidak sempat memberi kabar pada cowok pemarah itu.
Aluna menelan liurnya kasar. "Aku minta maaf, Alva. Ponsel aku mati, jad-"
"Jangan pernah minta maaf kalau gue lagi marah!" tekan Genta, memperingati. "Gue gak mau ngebentak lo, Aluna," sambungnya.
Sebenarnya, Genta tidak sepenuhnya emosi hanya karena kesalahan kecil Aluna. Hanya saja Genta masih kepikiran dengan masalah keluarganya. Tadi sore, saat menunggu Aluna di parkiran pemakaman, Hana melepon Genta. Cowok itu mendengarkan seluruh keluh kesah sang ibunda. Hal itu membuat kepala Genta malah semakin berat, lantaran tingkah ayahnya yang semakin memuakkan. Hana bercerita bahwa ayah Genta tidak akan memberikan hak asuh pada wanita itu lantaran Hana belum mendapatkan perkerjaan, dan tentu Hana tidak bisa membiayai hidup Genta.
"Kamu semarah itu Al?" heran Aluna, melihat Genta yang begitu terbakar oleh amarahnya.
Tangan gadis itu menjadi semakin erat menggenggam lengan cowok itu. Aluna hanya ingin tahu, Alva-nya itu benar-benar hanya marah karenanya, atau ada sebab lain yang menjadi bebannya.
Genta diam, amarahnya sedikit demi sedikit mulai mereda melihat raut khawatir gadisnya. Genta menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya pelan. Lalu cowok itu mengacak rambutnya sendiri.
"Maafin aku, Na," ujar Genta setengah berbisik. "Aku balik."
Aluna masih enggan melepas genggamannya pada lengan Genta. "Cerita ke aku, aku selalu tau kamu lagi ada masalah," ucap Aluna tegas. "Jangan bohong, muka kamu kalo lagi ada masalah jelek banget, kaya sekarang," timpal Aluna menyeletuk.
Senyum kecil milik Genta terbit begitu saja, mendengar ucapan gadis itu yang terdengar lucu di telinganya. Aluna yang melihat perubahan drastis dari wajah kekasihnya, sontak ikut tersenyum bangga akan keberhasilannya.
"Lagi pun udah magrib, gak baik magrib-magrib di jalan," ucap Aluna memperingatkan. "Lebih baik kamu singgah dulu. Sholat, baru pulang."
Genta hanya diam. Diam-diam, cowok itu sedang menimbang-nimbang tawaran Aluna. Tak lama setelah itu, ia menyetujuinya.
"Ya udah. Cepet masuk, biar aku imamin."
___
tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Kill This Love [END]
Teen Fiction"Kita ditakdirkan bersama, namun tidak ditakdirkan untuk bersama selamanya." Start: 5 Sep 2020 End: 10 Des 2020 Higgest rank: # 4 in jisoo [16/11/20] # 4 in multifandom [06/12/20] # 4 in jinbts [30/03/21] # 2 in bucin [3/12/20] # 8 in sadending [17...