Setelah meminum teh hangat, dan beberapa butir obat yang disuguhkan oleh gadisnya, cowok itu tertidur pulas. Selain karena hujan-hujanan, sepertinya Genta juga kelelahan akibat aktivitasnya yang terlalu padat melampaui batas remaja pada umumnya.
Aluna tidak berhenti memijat kepala cowok itu, yang kini sudah terjun bebas ke alam bawah sadarnya. Sambil memijat, ia juga tak lelah memandangi setiap sisi dari wajah tampan cowok tersebut. Terdengar norak, namun begitu lah adanya. Terlalu munafik jika Aluna tidak mengagumi akan visual Genta yang berada di atas rata-rata pria biasanya.
Sepuluh menit kemudian, Aluna menyudahi pijatannya, bertepatan dengan datangnya Delon ke kamarnya, sambil membawa semangkuk air hangat yang tadi dipintanya.
"Alva udah baikan, Na?" tanya Delon pelan sambil menyerahkan mangkuk berisi air hangat itu.
"Belum, pa. Demamnya belum turun," balas Aluna, dengan intonasi suara yang datar.
"Suruh Alva nginep aja dulu sampai demamnya turun. Habis ini, papa mau cerita semuanya sama Aluna. Papa tunggu di kamar ya, nak?" Aluna bergeming sejenak. Tak lama, gadis itu menganggukkan kepala singkat. Setelah melihat Aluna mengangguk, Delon beranjak pergi meninggalkan dua sejoli itu di kamar.
Setelah melihat Delon menutup pintu, Aluna menjalankan aksinya. Gadis itu menyingkirkan rambut-rambut Genta yang menutupi keningnya, kemudian meletakkan kain basah yang sebelumnya sudah ia basahi dengan air hangat, ke kening cowok itu. Setelah usai, Aluna beranjak pergi meninggalkan Genta yang semakin terlelap dalam tidurnya.
Aluna mengayunkan kakinya menuruni anak tangga dengan langkah yang tergesa. Gadis itu sudah tidak bisa lagi menahan sabar, untuk mendengarkan semua kebenaran yang selama ini di tutup rapat-rapat oleh papanya.
Aluna mengetuk pelan pintu kamar Delon, papanya. Setelah mendengar instruksi dari Deloh, Aluna membuka pintu itu, dan tak lupa menutupnya kembali. Gadis itu menghampiri sang Papa yang sedang duduk manis di atas kasurnya, dengan langkah yang lebih tenang, namun tidak dengan hatinya.
"Duduk dulu, Luna!" suruh Delon. Aluna mengangguk, dan menempatkan diri di samping sang Papa.
"Apa yang kamu ingin tanyakan, Na?" beribu. Beribu pertanyaan yang bercokol di kepala Aluna saat ini.
"Aluna mau tau semuanya, pa. Dari awal, tanpa dusta," pintanya telak.
Delon menarik napasnya dalam, lalu menghembuskannya kasar. Setelah itu, Delon bercerita. "Gina bukan mama kandung kamu dan Aletta, Na," deg. Baru perawalan saja, dada Aluna sudah sangat sesak mendengar satu fakta yang mengejutkan jiwa dan raganya itu. "Mama kandung kamu masih hidup. Selama Aletta masih hidup, mama-mu membesarkan Aletta sendirian tanpa adanya papa yang sibuk membesarkan kamu."
"Hal itu telah menjadikan Aletta besar tanpa mengenal siapa ayahnya. Karena papa memang tidak pernah ingin dia tahu, bahwa papanya selama ini masih hidup, dan hidup bersama kakak kembarannya, yaitu kamu," air mata Aluna mulai jatuh satu tetes.
"Setelah papa mendengar Aletta tewas. Papa terus memikirkan keadaan mama mu. Yang membuat Papa memutuskan untuk memindahkan keluarga kecil kita ke Jakarta setelah perginya Aletta. Tapi karena adanya perjanjian yang kami buat, papa tidak bisa memberitahukan kebenaran ini padamu, Na."
"Janji? Janji apa, pa?" tanya Aluna dengan suara yang bergetar. Telinganya tidak ingin, bahkan tidak sanggup mendengar fakta-fakta mengejutkan itu lebih lanjut. Namun, rasa ingin tahunya lebih unggul untuk malam ini.
"Papa melakukan satu dosa yang besar saat mama mu mengandung kalian berdua. Papa tidur dengan Gina tanpa sepengetahuan mama mu. Setelah mama tau, dia marah besar sama papa, dan kami bercerai setelah kalian berdua lahir ke dunia ini. Perjanjiannya adalah, Aletta akan dibesarkan oleh mama tanpa mengenalkan Aletta pada papanya maupun saudari kembarnya, begitu pula sebaliknya." Aluna memalingkan wajahnya, lalu menumpahkan air mata sejadi-jadinya. Ternyata kehidupannya yang selama ini terasa sangat berwarna, menyimpan begitu banyak kepedihan yang bersembunyi dengan tenang.
Delon yang melihat putrinya memalingkan wajah dan terlihat beberapa kali mengusap air matanya kasar, sontak memeluk tubuh mungil Aluna, dan menenggelamkannya pada kehangatan yang Delon miliki.
"Aluna, maafin papa udah nyakitin kalian berdua. Kalau aja papa enggak bodoh, mungkin kita berempat... bahkan Aletta masih ada di antara kita," Delon sangat menyesal. Isakan kecil Aluna membuat hati Delon semakin merasa bersalah.
"Al-Aluna mau jumpa hiks... j-jumpa sama Mama, p-pa... hiks. B-boleh ya p-pa?"
"Iya, sayang. Iya."
___
Pagi telah tiba. Kicauan burung, serta masuknya sinar mentari pagi dari celah fentilasi jendela, membuat Genta membuka matanya. Samar-samar, cowok itu dapat mendengar dengkuran halus, yang terdengar di telinga kirinya. Pelan-pelan cowok itu menyingkirkan kain putih yang menempel di keningnya, dan menoleh ke arah gadisnya yang ternyata masih terlelap.
Genta memperhatikan wajah cantik nan damai itu lekat-lekat. Tangannya refleks terulur, menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajah cantik alami gadis itu. Tangannya yang di akui sangat nakal itu, mulai meraba setiap sisi wajah tenang gadisnya. Mulai dari kening, mata, hidung, dan-berakhir di bibir mungil kemerahan itu.
Pelan-pelan, Genta membangkitkan sedikit tubuhnya dan mengecup singkat bibir kecil itu. Aluna seketika terbangun, ketika merasakan adanya benda aneh menyentuh bibirnya. Genta tersenyum hangat saat melihat gadisnya terbangun, dan linglung.
"Alva, kamu ngapain?" Aluna membelalakkan matanya dan menjauhkan tubuhnya ketika sadar bahwa jarak wajahnya dan Genta, tadi hanya berkisar tiga senti saja.
"Kamu jagain aku ya?" Genta menaik-turunkan alisnya, dan berucap demikian dengan nada pedenya.
"Eng-enggak tuh, geer kamu," elak Aluna.
"Terus, kok tiduran di samping aku?" tanya Genta pura-pura ingin tahu. Senyum cowok itu terukir. Bukan senyum indah, namun senyum jahil.
"Y-ya, karena ini kamar aku Alva!" balas Aluna sedikit membentak. Aluna cukup di buat kesal oleh Genta pagi ini. Kesal karena pertanyaan Genta yang seakan menggodanya.
"Iya, iya. Aku per-, Na, kamu semalam abis nangis?" Aluna tercekat saat cowok itu menyadari kondisi matanya.
"H-hah? O... oh ini? Aku tidur kemalaman karena jagain kamu semalam," dalihnya. Gadis itu tidak sepenuhnya berbohong. Aluna memang tidur kemalaman tadi malam, akibat menangis.
Tapi yang Genta rasakan, gadis itu sedang berbohong lagi padanya. Namun lantaran rasa pening di kepalanya masih sedikit terasa, Genta lebih memilih untuk berpura-pura percaya akan alasan bodoh gadis itu.
"Udah jam enam. Bangun, biar aku yang antar kamu ke sekolah."
Aluna membangunkan tubuhnya, dan duduk bersila. Genta pun ikut bangun dan duduk. "Kamu sekolah?" tanya Aluna bingung.
"Enggak lah. Aku mau istirahat bobo ganteng hari ini."
•••
Hai... semuaaa....
Vote komennya dong, jangan pelit-pelit:(
KAMU SEDANG MEMBACA
Kill This Love [END]
Teen Fiction"Kita ditakdirkan bersama, namun tidak ditakdirkan untuk bersama selamanya." Start: 5 Sep 2020 End: 10 Des 2020 Higgest rank: # 4 in jisoo [16/11/20] # 4 in multifandom [06/12/20] # 4 in jinbts [30/03/21] # 2 in bucin [3/12/20] # 8 in sadending [17...