Empat puluh dua - Cinta untuk Aletta

223 32 0
                                    

"Aletta saudari kembar aku, kak," Derren menoleh cepat ke arah gadis itu berada. Aluna kini tengah menatapnya dengan tatapan yang sendu. Awalnya, Derren tidak ingin mempercayai fakta itu. Namun, air muka Aluna sudah memperjelas semuanya, bahwa itu semua memang kenyataannya.

Tadi, saat jam istirahat berlangsung, Aluna memang menyuruh Derren untuk menemuinya di rooftop sekolah, saat pulang sekolah. Awalnya Derren sangat senang dan antusias. Dan selanjutnya, kesenangan yang Derren rasakan tidak berlangsung lama.

"A-aluna, maafin gue ya? Gue gak mampu jaga Aletta semampu gue. G-gue juga beneran terpukul atas perginya Aletta. Gue sayang banget sama kembaran lo, kalo lo gak tau," lirih Derren menyesal. Aluna membuang mukanya ke kiri, dan menumpahkan air matamya disana. Aluna terharu dan sedih bersamaan, saat mendengar ungkapan cinta yang Derren nyatakan sangat tulus. Aluna bisa merasakan itu.

"Aletta orang nya gimana, kak? Apa dia hidup dengan baik?" tanya Aluna dengan suara sumbang. Walau adiknya sudah meninggalkan dirinya terlebih dahulu, tapi Aluna masih ingin tahu dan mengenal lebih lanjut soal kepribadian Aletta semasa hidup.

Derren menghembuskan nafasnya kasar. "Aletta itu lemah, Na. Dia cewek kasar, dan berbanding balik sama lo yang lembut. Aletta juga sering banget bolak-balik masuk rumah sakit karena asma akutnya yang udah parah. Tapi, kekurangan dia yang buat gue makin gencar buat ngelindungi dia," jawab Derren, sembari mengingat setiap memori yang banyak ia lalui bersama Aletta di masa lalu.

"Aletta bilang, dia pengen punya temen di rumah, semacam adik atau kakak perempuan yang bisa di ajak main bareng, nonton bareng, curhat bareng. Dia kesepian, Na. Mamanya protektif banget sama Aletta. Dia terlalu di kekang, gak boleh kemana-kemana kecuali sama gue dan mamanya sendiri. Impian dia cuma itu setau gue, punya saudara yang bisa di ajak bertukar pikiran bareng dia, dan bisa hilangin rasa kesepiannya." Aluna membukam mulutnya dengan kedua tangannya, dan menangis sejadi-jadinya tanpa mengeluarkan suara.

"Bisa di bilang, Aletta itu pinter banget, tapi nakalnya gak usah di tanya deh, Na. Heran juga gue bisa suka dan sayang sama dia," Derren tertawa hampa. Berusaha terlihat tidak menyedihkan di mata Aluna. Memang pada basic-nya, Derren sangat mencintai Aletta dengan sepenuh jiwanya.

"Bisa bayangin, sakitnya gimana Na? Dia di tahan selama dua hari dua malam di gudang yang kusam pengap itu. Gue gak sanggup bayangin gimana menderitanya Aletta di saat terakhirnya." Derren mengalihkan wajahnya ke kanan, mengusap kasar setetes air matanya, tanpa sepengetahuan Aluna.

Angin yang berhembus kencang, sesekali menerbangkan air mata Aluna yang menetes sangat deras. Senja yang indah di hadapan keduanya, tampak tidak dapat mengobati luka mereka yang begitu dalam.

Aluna mengusap wajahnya kasar, lalu menyeka air mata yang sudah membasahi seluruh wajahnya. Gadis itu membalikkan badan, kemudian melomopat turun dari tembok pembatas yang sedari ia tempati bersama Derren.

"Makasih, Kak, udah mau ceritain semuanya. Aku pulang dulu. Papa udah nunggu di bawah kayanya," Aluna berpamitan dengan Derren, dan cowok itu mengangguk.

"Aluna," panggil Derren tiba-tiba. Spontan, gadis itu kembali membalikkan badan.

"Jaga diri baik-baik ya. Rauzan pasti ngincar lo sebagai Aletta," Aluna memicingkan mata. Nama itu terdengar tidak asing, namun Aluna tidak sepenuhnya ingat. Sepersekon kemudian, ia mulai menyadarinya.

"Rauzan? Rauzan Aditya?" tanya Aluna memastikan.

"L-lo... tau dari mana?"

"Dia ngirim pesan ke Aletta-ke aku lebih tepatnya."

___

Genta melangkahkan kakinya tanpa ragu, memasuki tempat yang begitu menjijikkan dan haram menurutnya. Telinganya saat ini tengah berusaha beradaptasi dengan dentuman keras dan menggetarkan jantungnya. Netra suci cowok itu kini menangkap pemandangan yang tidak menyedapkan. Banyak wanita berpakaian kurang bahan, sedang berlenggak-lenggok kesana dan kemari. Bahkan salah satu dari mereka ada yang mencoba untuk merayu dan mendekati Genta, lantaran wajahnya yang tampan. Namun, tentu saja Genta menolak dengan kasar.

Cowok jangkung berkaus putih, dan berlapiskan jaket berbahan jeans berwarna hitam itu, mulai mengayunkan kakinya menuju ke bar dan duduk disana.

"Selamat datang tuan, ingin me-, Genta?"

Genta tersenyum miring, melihat kenalannya terkejut akan kehadirannya di tempat haram tersebut.

"Woi, lo ga salah masuk, kan? Ga di culik tante-tante kan lo?" tanyanya heboh.

"Enggak lah, Kar. Gue memang niat kemari," sahutnya tenang. "Bukan buat minum, tapi buat nyari informasi," lanjut Genta serius.

Karel hanya mengangguk pelan sambil mengusap-usap Juice Glass di tangannya. "Info apaan? Mana tau gue bisa bantu lo. Tapi lain kali bantu gue juga ya?"

Genta menyunggingkan senyum miringnya. "Apa?"

"Pinjem mobil lo, buat balapan minggu depan."

"Ya udah, silahkan," ucap Genta ringan, menyetujui permintaan Karel. "Cari info tentang markas geng Tiger, yang ngejual sabu sama narkoba sama anak-anak seumuran kita sampe kebawah. Katanya mereka sering lakuin transaksi disini," bisik Genta, tepat di telinga cowok bartender itu.

"Tengah malem, info uda di tangan lo. Percayain semuanya sama gue," ucap Karel sembari mengangkat ibu jarinya.

"Makin bacot, makin ga percaya gue sama lo," tukas Genta pedas.

Karel yang tadinya tersenyum manis, kini cowok itu malah menyunggingkan senyum smirknya. "Oke, jangan percayain gue sepenuhnya, Ta."

____

Buat yang masih setia ngikutin cerita amboradol ini, aku ucapin makasih banget ya!!

Love u💋

Kill This Love [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang