36. Devano Untuk (Namakamu)

733 91 4
                                    

36. Devano Untuk (Namakamu)

Warning! : siapkan tissue.

Sore ini tidak sengaja (namakamu) bertemu dengan Devano di caffe biasa. Mengingat beberapa hari ini jarang mengobrol mereka menyempatkan waktu untuk mengobrol sejenak. Duduk berhadapan sembari menyeruput minuman masing-masing itulah yang dilakukannya saat ini.

Mengingat perasaannya yang sudah tidak mungkin terbalaskan Devano memutuskan untuk berbicara lebih privasi dengan gadis dihadapannya saat ini. Namun ia masih bingung hendak dimulai dari mana. Sudut pandang mana yang ia ambil. Ia sudah tidak mau mengejarnya namun ia juga tidak bisa menyakitinya dengan memberikan jarak diantara mereka.

Pria jangkung itu mengambil alih tangan (namakamu) yang sedang memegang gelas minumannya. Tentu saja perlakuan itu membuat tanda tanya besar bagi sang korban. Raut wajah Devano terlihat gugup. Meski sudah bisa bersentuhan dengan (namakamu) tapi rasanya beda saja dibanding saat ini.

"Dev? Lo kenapa? Lagi enggak enak badan? Kok gugup gitu?" tanya (namakamu) penasaran.

Devano menyengir kuda. Ia menggaruk tengkuk yang tak gatal. "(Nam) gue mau ngomong sama lo. Soal gue dan elo. Soal perasaan gue."

"Perasaan lo? Maksudnya? Lo lagi suka sama seseorang terus mau curhat ke gue?" tanya (namakamu) masih tidak paham.

Devano menggeleng. "Gue suka sama lo (nam). Udah lama. Dari pertama kita sahabatan. Dari gue yang nganterin lo ke toko buku. Dari lo bilang kalo lo suka buku tentang  astronomi. Gue suka sama lo. Gue punya perasaan lebih dari seorang sahabat ke elo, (nam)."

Menjadi (namakamu) tentu saja tidak percaya dengan apa yang Devano katakan. Bukannya tidak peka dengan sekitar (namakamu) awalnya memang aneh dengan sikap Devano yang mungkin memberi perhatian lebih kepadanya namun lagi-lagi (namakamu) menguatkan tekad bahwa Devano hanya menganggapnya sahabat. Just it. Tidak lebih.

"Kenapa lo baru ngomong sejujur-jujurnya sekarang? Kenapa lo enggak ngomong dari dulu? Dari lo sadar tentang perasaan lo?" tanya (namakamu).

"Gue....takut. Takut lo marah karena perasaan gue. Sedangkan lo udah punya Iqbaal." miris Devano.

"Jadi," (namakamu) memberikan sedikit jeda untuk mencari kata-kata yang pas. "Jadi selama ini gue ceritain tentang kak Iqbaal perasaan lo--"

Devano menjawab lebih tepatnya menyela. "Iya. Perasaan gue sakit, (nam). Lo selalu cerita tentang Iqbaal ke gue. Tapi gue selalu berusaha jadi pendengar yang baik buat lo karena gue ikut bahagia kalo lo bahagia. Walau kadang gue frustasi karena perasaan gue."

"Sorry, Dev." cicit (namakamu) merasa bersalah.

Devano menggeleng. "Lo enggak salah. Lo enggak perlu minta maaf. Gue bertahan disamping lo itu atas kemauan gue. Gue suka sama lo itu bukan suatu kesalahan. Mungkin ini akan jadi pengalaman berharga buat gue."

"Tapi kali ini gue udah enggak bisa bertahan disamping lo. Gue sadar kalo yang lo suka cuma Iqbaal. Gue sadar kalo enggak ada tempat buat gue dihati lo."

"Gue aja yang terlalu percaya diri. Percaya diri kalo lo bakal suka sama gue lambat laun. Gue terlalu tolol karena memaksakan perasaan. Gue bego enggak bisa menempatkan hati yang pas." jelas Devano panjang lebar.

Keheningan melanda. Baik Devano dan (namakamu) terdiam, membisu. Tidak tahu apa yang akan terjadi kepada mereka setelah ini. Keduanya benar-benar terasa canggung tidak seperti hubungan mereka yang biasa-biasa saja.

"Dev," Devano menatap (namakamu) dalam ketika gadis itu memanggilnya. "Apa setelah ini lo menjauh dari gue?"

Devano terkekeh, ia mengelus pipi (namakamu) yang basah akibat air mata yang mulai mengalir. "Kenapa lo nanya begitu? Gue menjauh itu emang udah semestinya. Kalo gue terus ada dideket lo nantinya gue malah enggak bisa move on."

IMPOSSIBLE (IDR><NK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang