PROLOG

222 19 15
                                    

Tangerang, tahun 2015

Di saat sore menyapa, terdapat lima orang yang masih berbalut seragam putih biru. Mereka sangat akrab ketika berjalan melewati banyak orang, diiringi tawa yang sangat pecah. Mereka sangat bahagia saat itu.

Setibanya di lorong pemukiman yang sepi, tiba-tiba salah satu dari mereka terpental ke tumpukan kayu dan besi. Hasil dari tendangan yang cukup keras.

Sangat menyakitkan, dia berusaha untuk tetap kuat. Ketika dia berusaha untuk bangkit, tiba-tiba terdengar suara tawa yang terbahak-bahak. Itu adalah suara tawa dari teman nya.

Dia kebingungan lantas bertanya. "Kenapa kalian tertawa?"

Lagi-lagi mereka tertawa sangat kencang, membuat amarahnya melonta-lonta sedari tadi. Tanpa pikir panjang, dia meninju sosok di depannya, sampai pelipis bibirnya berdarah. Seketika suasana saat itu serius, dia tersenyum miring menatapnya.

"Latihan yang sangat bagus," puji salah satu dari mereka, rasanya dia ingin bertepuk tangan dengan keras atas pujian nya itu.

Tanpa aba-aba, satu pukulan meluncur ke arah perutnya. Alhasil keluar darah dari mulut, sambil memegang perut yang sakitnya super dahsyat. Tubuhnya hampir oleng, tapi dia bisa mengoptimalkan posisinya kembali.

Dia sangat lemah, tidak kuat baginya untuk bertahan. Namun, dia tidak kenal lelah. Dia berusaha membalas dengan sisa kekuatannya, keempat orang itu berhasil dia tinju sampai memar. Ia sangat hebat dalam berkelahi, sudah terlatih sejak kecil dan sering mengikuti lomba bela diri.

Mereka masih sibuk bertarung super sengit, berbagai benda digunakan untuk senjata. Besi dengan ukuran sekitar 1 m, sudah siap meluncur. Dia sedang bertarung dengan ketiga orang itu, sehingga ia fokus dengan orang yang berada di hadapannya. Laki-laki yang sedang memegang besi dari belakangnya, ia berlari lalu menancapkan besi itu tepat di bagian posisi ginjal berada.

"CLEB!!" Dia menganga, dengan darah yang bercucuran di punggung bawah bagian kirinya.

Dia terdiam dengan rasa sakit yang melonta lonta, ditambah pukulan dari keempat temannya itu. Ini sudah keterlaluan, mereka layak untuk di penjara atas semua kejahatannya. Dia terjatuh lemas, menatap penjahat itu tanpa beralih sedikitpun.

Laki-laki itu mengelus pelan puncak kepala korban, dengan senyum yang menyeramkan. Dia ingin mengucapkan sesuatu, terlihat bibirnya bergetar sedari tadi. Dengan kedua tangan yang ia kepal dengan kuat dan kedua mata yang mulai memerah.

"Kalo lo mau selamat, lo pergi jauh dari tempat ini." ucap laki-laki itu, tersenyum layaknya psikopat yang sudah berhasil menjalankan misinya.

"Jangan sok kuat di hadapan gue," ucapnya menepuk pundak sang korban, "inget baik-baik, lo lebih baik mati sekarang. Lo ga bakal tenang selagi gue masih hidup."

"Understand?" tanya laki-laki itu sambil menjambak rambut sang korban. "Mati lo!"

Laki-laki itu tersenyum miring menatapnya, lalu pergi meninggalkan tempat itu.

Hujan turun dengan deras, darah mengalir mengikuti arusnya.

--<✿>--

Jangan lupa coment, vote [✩], follow.

-Next Chapter-

A²: KARTALATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang