Sebuah Pengakuan

92 9 6
                                    

Motor Somad mondar-mandir kayak setrikaan entah sudah berapa puluh kali. Andaikan jalanan itu baju mungkin udah kinclong, sekinclong-kinclongnya. Merasa letih, laki-laki berperawakan tinggi itu menepikan kendaraannya di pinggir jalan yang sepi.

Somad membentur-benturkan kepalanya pada kaca spion motor berulangkali.
“Bang, lagi latihan debus ya?” bulu kuduk Somad meremang, di jalanan sepi gini ada yang menyapanya. Somad auto kabur tapi terlambat saat ada yang memukul pundaknya perlahan dari belakang, refleks Somad menjerit. Suara tawa sumbang itu, mau tak mau membuat Somad menoleh.
“Oh, dasar sableng kamu Din, kalau aku jantungan kamu mau tanggung jawab,” seru Somad mangkel. Udin, yang merupakan tetangga depan rumah itu semakin meledak tawanya sambil berlalu meninggalkan Somad yang masih sibuk mengelus-elus dadanya.

Ternyata membuat pengakuan itu berat. Pikiran Somad mendadak melayang pada peristiwa dua puluh tahun yang lalu saat ia menyatakan cinta pada Saodah, mulutnya udah kayak jalan tol dah, nggak ada hambatannya. Lancar jaya. Saodah di buat melongo akan kenekadtan Somad, ngomong di depan teman-teman sesama buruh persis kayak di tivi-tivi.

“Kalau engkau terima cinta Abang, kau makan jengkol ini, tapi kalau kau tolak, pete ini kau makan.”  Tik… tok… Tik…tok, senyap tak ada tindakan apapun dari Saodah, Somad sampai udah mau kehabisan nafas menunggu jawaban pujaan hatinya itu. Penonton heboh, berbagai komentar pun mampir di telinga Somad mulai dari ndeso, nggak jaman, nggak modal hingga sebuah teriakan yang nyaris membuat Somad putus asa. “Cewek tuh sukanya bunga, cokelat, lha itu apaan, lo kira cewek lo mau masak semur.” Sontak semua yang hadir tak bisa menahan tawa.

“Diiiaaaam… diaam semua, dengar jangan sampai ada satu orang pun yang menghina Bang Somad, karena Odah, menerima cinta Abang,” ucap Saodah mantap sambil melirik manja ke arah Somad seraya mengambil beberapa buah jengkol, lalu menjejalkannya ke mulut Somad. “Nih, Abang abisin sendiri, karena Odah maunya makan nasi goreng.”

Bagai mendapat durian runtuh, Somad bergegas memacu sepeda motornya menuju pulang. Ya, dia tahu apa yang akan dia lakukan.

Masih pukul sebelas siang saat motor bebeknya memasuki halaman rumah dan sebelum seluruh penghuninya bertanya macam-macam Somad membuka suaranya “Ayo, ayo semua bersiap hari ini kita mau makan siang di warung Mang Petruk.” Saodah ingin protes tapi diurungkannya, melihat wajah Somad berseri ia tak tega merusak kebahagiaan suaminya.

Dengan berkendara hanya butuh waktu sekitar lima menit untuk sampai di warung Mang Petruk yang terletak di ujung gang. Warung sederhana yang menyediakan aneka macam menu penyetan hingga nasi goreng kesukaan Odah siang itu belum begitu ramai, sehingga Somad dan keluarganya bisa memilih tempat yang nyaman di dekat jendela. Angin yang berhembus sepoi-sepoi semakin membuat perut keroncongan.

Somad menyesap es tehnya dalam diam sambil menyusun strategi dan kata-kata apa yang pas ia ucapkan di depan anak dan istrinya. Di tatapnya satu persatu wajah orang-orang yang amat ia sayangi itu.

“Sambil kalian makan Bapak boleh ya bertanya, pertanyaan ini berlaku buat semua.” Somad berhenti sesaat untuk menyesap lagi minumannya. “Jadi begini, Bapak ingin tahu kalau seandainya kalian punya Bapak atau Suami yang tidak bekerja, bagaimana sikap kalian?”

"Kalau Arum lihat dulu masalahnya apa, kok sampai si Bapak itu tidak bekerja, apa karena sakit. Jadi, nggak mau langsung marah-marah," ucap gadis berparas manis yang memiliki lesung pipi itu.

"Sama seperti Kak Arum, tapi sejatinya Satrio paling anti lihat laki-laki kerjanya cuma ongkang-ongkang kaki doang. Jadi, walau statusnya tetap sebagai Bapak tapi, aku sebagai anaknya udah eneg kali lihat wajahnya," ujar Satrio menunjukkan wajah serius.

Idem, tapi, Bagas mau buat perhitungan terlebih dahulu, ya paling tidak si Bapak itu merasakan jurus tendangan tanpa bayangan Bagas lah, biar nyahok," seru Bagas sambil tertawa puas.

Keluarga GokilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang