Duel

20 2 0
                                    

Mpok Hindun, mondar-mandir mulai dari halaman belakang, masuk rumah, keluar ke halaman depan, masuk rumah lagi. Gitu terus sampai Syarifah memanggilnya untuk sarapan.

“Sarapan dulu Ma,” panggil Syarifah. Hindun senang anak semata wayangnya ada di sini, paling tidak dia, jadi ada teman ngobrol. Sambil sarapan nasi goreng Syarifah mengomentari aksi Hindun yang mondar-mandir kayak orang bingung.

“Nggak, bukan apa-apa kok, Fah,” jawab Hindun berbohong. Ya, Hindun tak akan mungkin memberi tahu Syarifah tentang tragedi lembaran foto dirinya yang ada di rumah Somad. Dari dulu putrinya itu paling tidak suka ada permusuhan. Sambil mengunyah, Hindun akhirnya memutuskan untuk mengikhlaskannya.

“Dari pada mati konyol, mending aku foto lagi kapan-kapan, kan nggak apa-apa horang kaya ini, bebas,” batin Hindun.

Seusai sarapan, Hindun memutuskan untuk ke luar berjalan-jalan sebentar mencari udara segar, plus bahan gibahan baru. “Wow, demi dewa, demi demit. Itu pan Somad sama si tetangga baru, ngapain mereka?” belum jauh meninggalkan rumah, Mpok Hindun bersorak sudah mendapatkan mangsa baru, terlebih korbannya adalah musuh bebuyutan.

“Halo... mata-mata 1, cepat meluncur ke rumah. Ada tugas baru menanti.” Mpok Hindun memberikan instruksi pada orang kepercayaanya melalui ponsel. Sepuluh menit kemudian datanglah sesosok pria berkumis tipis, mengenakan kaos oblong dan topi kupluk warna biru.

“Kali ini, gue harap lo jangan sampai ceroboh. Ingat itu!” bentak Mpok Hindun. Sementara yang di tatap hanya mampu menunduk dan berucap lirih “Siap Nyonya.
Dengan tergesa, laki-laki itu menstater motornya menuju ke tempat sasaran. Benar saja di halaman depan rumah Somad ada orang, tapi cewek semua.

“Lha Somad nya mana? Lagian juga masih pada muda-muda kagak ada yang tante-tante,” batin laki-laki berkupluk dari bawah pohon mangga tak jauh dari rumah Somad.

“Woi, Bang Udin... Mau ngapain nunduk-nunduk, di situ banyak ularnya loh,” tegur Bude Darmi yang kebetulan lewat habis dari warung. Sontak Udin keluar dari tempat persembunyiannya mengambil langkah seribu, diikuti tawa orang-orang yang kebetulan melintas.

Udin mencoba langkah ke dua, ia memata-matai rumah Gina. Rumah tipe 21 yang terlihat mungil dan tertata rapi itu tampak sepi. Hingga selang sepuluh menit berlalu, tiba-tiba dari dalam rumah muncullah Gina bersama Somad. Tanpa buang waktu lagi, Udin langsung mengambil gambar keduanya. “Pasti kali ini Nyonya akan senang dengan hasil kerjaku.”
Benar saja, Mpok Hindun senang bukan ke palang dan kali ini tanpa topeng, Mpok Hindun mengirimkan foto tersebut langsung ke WhatsApp Saodah.

Hindun : Heh, Odah Sarodah... Nih, sekarang gue punya bukti nyata, bukan hasil editan. No rekayasa, no tipu-tipu.
Saodah : Halah, terserah lo, gue nggak ada waktu buat ngeladenin ke gabutan lo, dasar! Tobat gih, udah mau bau tanah juga, masih aja suka ganggu urusan rumah tangga orang.
Hindun : Ya ampun nggak usah sok nasehatin, dasar gembrot! Somad tuh, eneg lihat lo.

Saodah terpancing, ia meradang dan meminta Hindun untuk bertemu dirinya besok pagi di lapangan, tempat warga rawa buaya biasa melaksanakan berbagai event, mulai dari hari besar keagamaan sampai hari kemerdekaan.
***
Keesokan harinya, Saodah bangun lebih awal, ia ingin mempersiapkan segala sesuatunya untuk duel hari ini. “Loh Mak, mau ngapain?” komentar Arum saat melihat Odah berpakaian rapi mengenakan celana panjang dan kaos lengan panjang, rambut di cepol ke atas.

“Nanti, juga kalian bakal tahu, panggil Bapak dan Adik-adikmu.” Pesan Odah, sebelum menyantap sarapan paginya lebih awal, sepiring nasi campur yang bakalan memberinya energi lebih.

Sementara di tempat lain, yaitu di rumah Mpok Hindun, perempuan bertubuh jangkung itu pun telah siap. Dilengkapi dengan ikat kepala yang di pasang di dahinya sebagai aksesoris tambahan.

“Penampilan harus tetap nomer satu, jangan sampai kalah dari si gembrot itu,” deng kusnya kesal.

“Mau ke mana pagi-pagi gini Ma?” Syarifah heran melihat dandan Hindun.

“Sudah, kamu ikut saja, ayo kita berangkat,” ujar Hindun setelah sebelumnya sarapan telur setengah matang, segelas susu dan beberapa iris buah Pepaya. Mau tak mau Syarifah menyeret kakinya mengikuti sang mama, karena di dorong rasa ingin tahunya.

Pukul delapan pagi, lapangan mulai penuh di datangi oleh warga. Somad kaget dengan semua ini tapi, terlambat. Pandangan saling menusuk di tunjukkan oleh keduanya. Bertindak sebagai wasit adalah Mbak Jupe, sementara Gina dan Esti turut menonton berbaur dengan warga.

“Satu, dua, tiga...” Aksi saling dorong, hingga saling jambak khas perkelahian antar perempuan tak bisa dihindarkan. Warga pun terbagi dalam dua kubu. Ada yang meneriakkan nama Mpok Hindun dan ada pula yang mengelu-elukan Saodah. Pertarungan seimbang sejauh ini, baru memasuki menit ke dua puluh tiba-tiba Odah oleng dan badannya terjerembab ke tanah akibat terkena tendangan Hindun. Wajah Somad pucat, tapi Odah bisa menguasai keadaan ia tiba-tiba berdiri dan memberi pukulan sebagai balasan. Hindun yang tak siap akibat uforia yang ia ciptakan langsung tersungkur, dan diam tak berkutik.

Syarifah di susul beberapa warga lainnya menghambur ke tengah lapangan melihat keadaan Hindun.

“Masih ada nafasnya, tenang-tenang. Masih hidup,” teriak Mbak Jupe supaya warga tidak panik. Sedangkan Saodah dan keluarganya menyingkir ke tepi lapangan dan agak menjauh dari keramaian.

Somad langsung marah besar. “Dengar ya ini peringatan buat semua, terutama buat Emak.” teriak Somad sembari menatap tajam ke arah Saodah.

“Di dalam keluarga kita tak di ajarkan itu yang namanya kekerasan apalagi main hakim sendiri. Sebenarnya apa sih masalah Emak sama Mpok Hindun? Ini bisa memperburuk citra gokil juga. Paham!” tak ada jawaban, senyap. Saodah terus menunduk diiringi detak jantung yang berpacu. Terakhir, sebelum bubar Somad meminta Odah untuk meminta maaf pada Mpok Hindun.

Sesampainya di rumah Arum yang membersihkan dan mengompres beberapa lebam di pipi dan pelipis Saodah. Setelah selesai Arum membiarkan Emak beristirahat sejenak. Somad pun mendatangi istrinya itu dan mencoba untuk bertanya apa alasan terbesar Odah sampai nekad melakukan tindakan seperti tadi. Dengan polos Odah berucap lirih. “Karena Mpok Hindun sudah beberapa kali selalu merecoki keluarga kita dan terakhir dia bilang kalau Odah itu gembrot.”

Sejujurnya Somad ingin sekali tertawa ngakak mendengar pengakuan Odah tapi di tahannya, takut dosa. Sebagai gantinya ia hanya menanyakan keadaan Odah saat ini dan menawarkan pijitan mujarab supaya Odah cepat pulih. Tak lupa di disisipi dengan tausiah ringan ala ustad di tivi-tivi  “Janganlah kamu menuruti hawa nafsu mu, karena ia akan menyesatkan mu dari jalan Allah.” Saodah meminta maaf berulang kali pada Somad dan berjanji akan lebih berhati-hati lagi.

Sedangkan keadaan Mpok Hindun, ia telah siuman dan tengah berbaring di kamarnya, ketika Gina datang bertemu.

“Anda hebat! Saya salut.”

“Hebat apa nya, sudah jelas gue kalah dari si gembrot itu,” jawab Hindun dengan suara lemah.

Gina pun berbisik lirih di telinga Mpok Hindun.

“Kalau kita tak bisa pakai otot, berarti pakai otak. Setuju!” Keduanya pun melakukan toast. Sebelum menyusun rencana selanjutnya.







Keluarga GokilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang