Training Kehidupan

28 2 2
                                    

“Pasukan siap,” teriak Somad dari luar seraya mengedor kamar Satrio dan Bagas. Dua anak bujang yang masih setengah sadar itu terlonjak dari tempat tidur. Buru-buru keluar kamar dan melesat ke kamar mandi.

“Ih, minggir... Bagas duluan, Mas.”

“Alah, enak aja, udah jelas-jelas Mas yang duluan sampai depan kamar mandi.”

Somad, geleng-geleng kepala menyaksikan tingkah polah anak-anaknya, tapi Somad hanya memerhatikan dari kejauhan, bukan tak mau melerai ia hanya ingin masalah-masalah kecil seperti tadi bisa mereka atasi sendiri. Mereka bukan bocah yang setiap saat harus di suapi.

Seperti training terakhir hari ini, Somad yang akan turun langsung mendampingi dua jagoannya itu.

“Yang bener aja, katanya training? Tapi ini masih gelap juga ngapain kita keluar?” protres Bagas, pada Somad yang justru telah nangkring di atas motor.

“Ayo Boy,” kita jamaah di Masjid,” teriak Somad dengan semangat. Mau tak mau, di minggu pagi yang biasanya dipakai buat santai, harus rela menembus hawa dingin.

Satrio memegang kemudi sementara Bagas duduk di belakang dengan mata merem-melek disertai mulut  yang menguap berulang kali.

“Awas saja kalo sampe lo ketahuan ileran di jaket Mas, bakalan gue suruh cuci pake kembang tujuh rupa, tujuh hari, tujuh malam,” semprot Satrio sebelum melesat menyusul Somad.
Sesuai salat Somad meminta ke dua anak bujangnya untuk duduk sejenak di pelataran.

“Sudah sampai pada training ke 3 dan di sinilah kita mengawali training itu. Bapak namakan sebagai ‘Training Kehidupan’ Bapak yakin kalian berdua walaupun laki-laki sudah jago dalam hal gosok-mengosok, bahkan bisa jadi lebih cekatan dan lebih awas, mata tua ini kadang suka kurang teliti,” terang Somad seraya menunjuk pada dirinya sendiri.

Somad kemudian menambahkan. Usaha yang keluarga mereka jalani adalah baru merintis, terkadang ada saat pelanggan sepi. Teruslah maju dan ingat sama Allah, datangi rumah-Nya, ketuklah pintu langit dengan bersujud. “Terakhir, sebelum kita pindah ke tempat kedua Bapak berpesan jangan mudah baper, kalian calon kepala keluarga. Harus tangguh, dan bila ada di atas janganlah mendongak, tetaplah menapak bumi.”

Somad lantas berdiri di ikuti Satrio dan Bagas. Saat meninggalkan Masjid mendung mulai menggantung. Kedua sepeda motor itu terus melaju hingga sampai di pusat kota, di deretan pertokoan yang berjajar. Somad memilih menghentikan motornya di depan sebuah toko kue yang tentu saja masih tutup, bersamaan dengan gerimis yang mulai turun.
Somad mengajak berteduh sambil menunjuk ke arah seorang gelandangan yang tidur beralaskan kardus bekas. “Kasihan Pak, bisa kehujanan dia. Kubangunkan saja lah,” seru Bagas. Ia kemudian menggoyang-goyangkan tubuh seorang pria berambut gimbal itu.

Sedetik kemudian pria tersebut membuka matanya, ia tertawa lantas bersuara “Hai, ayo kita tepuk tangan.” Tawanya berulang kali, sadar kalau di hadapannya ini orang gila, Bagas berlari sekuat tenaga. Orang itu terus mengejar. Satrio berusaha mengalihkan perhatian.

“Sini kalau berani.” Orang gila itu sempat berhenti sesaat, sambil garuk-garuk rambutnya, hal itu tentu tak disia-siakan oleh kedua kakak-beradik itu, untuk lolos dari kejaran dengan bersembunyi di sebuah gang yang bersebelahan dengan area pertokoan sementara Somad menyusul anak-anaknya.

Setelah dirasa aman dengan santainya Somad mengajak Bagas dan Satrio duduk sebentar di emperan toko. “Fiuh, akhirnya... Atur nafas dulu kalian,” ujar Somad sembari mengulurkan sebotol air mineral di temani gerimis kecil yang masih mengguyur Ibukota.

“Di sini lah sejatinya tempat kedua yang Bapak maksud. Paling tidak kita menjadi lebih bersyukur dengan keadaan kita, tanpa pernah merasa kecil. Teruslah berjuang anak-anak, langkah kalian masih panjang. Jadikan gokil tempat menimba pengalaman yang tak akan pernah kalian dapatkan di bangku sekolah.”

Tiba-tiba saja sebuah panggilan video masuk ke ponsel Somad.
Somad : Hallo Emak, ngapain telpon-telpon... udah kangen ya..

Saodah : Eh, jangan kebanyakan bucin deh Pak. Ini kalian pada nggak lapar apa? kalau nggak omlet telurnya Emak habisin ya, lumayan perut masih laper nih

Somad, Bagas, Satrio : Jangan Maaak...

Sebelum ketiganya memacu pulang kendaraan mereka. Somad berjanji akan memberi tahu tempat terakhir, yang merupakan penyempurna dari kedua tempat sebelumnya. Tentu saja kabar itu di sambut gembira oleh Satrio dan Bagas.

Pagi itu, keluarga Somad kembali menikmati sarapan bersama, di sela-sela mengunyah omelet Saodah tak lupa bertanya mengenai perkembangan training hari terakhir.

Satrio mengacungkan jempolnya, lanjut mengunyah. Bagas konsentrasi penuh sama makanan favoritnya, Somad pun sama. “Hmm, jadi nggak ada yang mau cerita sama Emak nih?” protes Saodah, wajahnya mulai ditekuk.

Somad melirik ke arah istrinya itu, sembari mengamankan setengah porsi omelet yang masih tersisa.

Saodah kontan mendelik. “Hei, hei... Mau di bawa ke mana itu?”

“Ke dapur. Bahaya kalau emak mulai marah, bisa abis jatah Bapak,” seru Somad tak kalah kocak. Anak-anak tertawa dan Saodah makin manyun. Senyap sesaat, semua menghabiskan sarapannya dalam diam.

“Oke, semua sudah fresh, perut kenyang hati senang. Sekarang saatnya Bapak akan menyampaikan hal penting yang terakhir ‘Tempat, sebagai penyempurnaan’ dua tempat sebelumnya. Yaitu, adalah di sini,” ucap Somad mantap. “Iya, benar. Rumah, tempat kita pulang, tempat ternyaman tak kan terganti. Jadi, seberapa pun jauhnya kita terbang, selalu ingatlah di mana tempat kita kembali, di tengah keluarga itulah yang terbaik.

Saodah mendadak melow, meneteskan air mata. Somad sampai melongo di buatnya. Setelah terisak beberapa saat Saodah buka suara “Udah berapa lama Bapak kursus jadi motivator?  bisa jadi saingan, sama yang suka nongol di tipi-tipi nih.”

“Halah, emang Emak rela kalau Bapak jadi motivator terus nggak kenal sama Emak pan orang terkenal,” jawab Somad tak mau kalah halu. Gelak tawa terdengar lagi di pagi itu, sementara Saodah cemberut, memonyongkan mulutnya lima senti.

Somad kemudian mengucapkan selamat pada Bagas dan Satrio karena sudah berhasil lulus training. “Pegang selalu ilmu dan pesan-pesan yang sudah Bapak, Emak dan Mbak kalian berikan sebagai bekal. Selamat bekerja dan tetap ingat, tugas kalian yang utama adalah belajar,” tutup Somad seraya menyerahkan dua buah kaos seragam kepada Bagas dan Satrio.
***
Eotteon maldo pyohyeonhal su eobseo
Urin gateul bogo isseo
Cheoeumbuteo gateun saenggageul hae
Ni nunbiche modeun ge da isseo

“Mak, udah di cari Babang Lee Min Ho tuh,” ujar Arum, melirik ponsel Emak.

Saodah buru-buru mengangkat telepon.

“O iya baik Bu, saya segera meluncur ke sana sekarang,” jawab Saodah, Ia pun meraih punggung tangan Somad tergesa dan menciumnya.

Setelah berjalan hampir mendekati pintu keluar, Saodah berbalik “Ada yang kelupaan,” ucapnya sambil memasang tampang serius.

“Apa Mak?” seru semuanya serempak
Dan di saat semua lengah, dengan kekuatan bulan Saodah berhasil menyomot omelet telur yang tersisa.
“Emaaakkk....”


Part 16, sudah up lagi ya temans, Somad mendadak jadi motivator hiyaa... Silakan di baca dan di tunggu vomentnya, tengkiyuu..







Keluarga GokilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang