First Day

30 2 0
                                    

Seusai menjalankan perintah-Nya. Satrio mematut diri di depan cermin bolak-balik kayak setrikaan, bingung menyaksikan kegantengannya yang udah pas maksimal. Pas nggak jerawatan, pas wajahnya nggak berminyak kayak pengorengan, pas rambutnya nggak ketombean syukur-syukur nggak kutuan.

Sambil bersiul Satrio, melajukan sepeda motornya dengan kecepatan sedang namun, motornya tiba-tiba oleng. Takut terjadi sesuatu Satrio memeriksa ban motornya dan ternyata ban nya melindas paku. “Sial!” teriaknya. Sambil celingukan mencari bengkel terdekat dan pucuk di cinta ulam tiba, di depan hidungnya berdiri dengan mentereng sebuah bengkel.

Sampai-sampai Satrio berburuk sangka, “Jangan-jangan pemilik bengkel yang menyebar paku di jalanan. Ah,kebanyakan nonton sinetron lo Sat,” batinnya, sambil berulang kali mengucap istighfar.

“Kata orang yang pertama paling berkesan, paling membekas. Emak tadi juga sempat berpesan kalau menjalani apapun dengan ikhlas pasti segalanya akan terasa ringan dan tak jarang bisa mendapatkan kemujuran. Sungguh ucapan Emak di saat seperti ini bak fatamorgana,” gumam Satrio sambil menuntun sepeda motornya.

“Permisi,” sapa Satrio sopan pada sosok mahkluk manis yang tengah duduk sembari membuka-buka majalah.

Cewek itu mengulum senyum dan sedikit menggeser duduknya. Satrio sesekali mencuri pandang. “Uufft... sepertinya gerutuanku tadi aku tarik, Emak memang paling benar,” batin Satrio bersemangat.

“Ehem... Eheemm...” Satrio berulang kali berdehem, tak ada reaksi. “Mugkin pencampuran antara senyawa dan kimianya kurang nih,” gerutu Satrio. Ia mencoba menambah volume dehemnya beberapa kali. Sembari melirik tas yang di bawatertulis nama cewek itu, di situ sebuah SMA. Serta rok abu-abu yang dikenakan.

Cewek itu, akhirnya menoleh juga ke arah Satrio. Merasa dipandang sedemikian rupa dan setelah yakin tak ada kulit cabe yang nempel di gigi, Satrio memasang senyum terbaiknya.

“Tenggorokan kering ya Mas, biasanya saya kasih ini, di jamin manjur,” ujar si cewek seraya menyerahkan satu sachet permen pelega tenggorokan.

Zonk! Satrio merutuki kebodohannya, ia sampai rela menghitung berapa jumlah mantan-mantannya “Ciek, duo, tigo  ampek... Kok kagak pintar-pintar.”

Hingga tanpa sadar si cewek berdiri, karena motornya sudah selesai di tambal.

Satrio geragapan di saat genting ingatannya tiba-tiba melayang pada sebuah buku “1001 cara menggaet pacar paling manjur.”

“Maaf, Mbak punya sapu?”

“Nggak, saya punya nya nomer hp, mau?” Si cewek menyebutkan sebaris nama dan beberapa deretan angka. “Nanti Whatsapp serunya sambil berlalu dari hadapan Satrio.” Tinggal Satrio yang bengong memandangi layar ponselnya mengeja sebuah nama “Dewi.”

Setelah urusan motor beres, Satrio kayak orang kesetanan menerjang jalanan tak peduli maut mengintai, ia kata punya nyawa seribu kayak tokoh dalam game, yang ada di pikirannya saat itu hanyalah segera sampai di rumah Bu Arti, pelanggan pertamanya.

Tepat pukul setengah tiga motor Satrio tiba di depan sebuah rumah yang tampak asri, pagarnya berupa pagar tanaman bunga penitian, semakin masuk ke halaman rumah bagian dalam, aneka bunga warna-warni menambah semarak suasana. Satrio mengucap salam dan mengetuk pintu rumah beberapa kali.

Sayup-sayup Satrio mendengar seseorang berteriak dari dalam “Wi, tolong bukakan pintu, paling yang datang gokil tuh.”

Derap langkah terdengar mendekati pintu.
“Waalaikum,” jawab si empunya rumah, bersamaan dengan kepala yang menyembul dari balik pintu. Sontak Satrio seperti membeku demi melihat sosok dihadapannya saat ini.

“Hai..”

“Hai juga,” balas Satrio. Sedetik kemudian Satrio mengambil ponsel dari saku bajunya. Menekan tombol panggil. “Save ya,” ujar Satrio kembali memamerkan gigi putih ala pasta gigi.

Dewi tersenyum. “Oke Sat..”

Satrio mengernyitkan dahinya, heran dari mana Dewi tahu padahal dirinya belum sempat memperkenalkan diri. Dewi seolah tahu apa yang dipikirkan Satrio, ia lantas menunjuk ke arah baju kaos Satrio.

Satrio menepuk jidatnya “Ih, Emak pakai naruh nama di kaos kayak anak sekolahan aja,” desis Satrio jengkel.

Dewi, kemudian menyerahkan sekantong besar baju yang hendak di setrika. Tentu saja Satrio menerimanya dengan ikhlas dan mengerjakan dengan sepenuh hati. Di sela-sela mengosok Dewi setia menemani, seolah senyum yang mengembang di bibirnya berbicara “Ayo Sat, kamu bisa!” Satrio terus mengosok sambil senyum-senyum.

Hingga sebuah tepukan di pundaknya membawa Satrio kembali pada kenyataan, bahwa ia ditemani semilir angin dan bunga-bunga yang melambai.

“Ngapain senyum-senyum sendiri, nanti kesambet loh,” seru perempuan paruh baya, yang Satrio yakin itu pasti Ibunya Dewi. Parasnya mirip, kecantikannya paripurna. Satrio membalas gurauan Bu Arti dengan mengulum senyum dan konsentrasi penuh pada gosokannya. Tiba-tiba Satrio tergelitik membandingkan kemiripannya dengan Emak. Rasanya ngilu membayangkan, kalau-kalau Emak mewarisi dirinya tubuh tambun.

Setengah jam, pekerjaannya selesai. Ia pun memohon diri sambil matanya mencari-cari sosok Dewi, syukur-syukur kalau ada sekalian pamit “Neng, Abang pergi dulu hendak mencari sebongkah berlian,” gumam Satrio, lagi-lagi menghalu. Hingga motor Satrio keluar dari rumah, cewek yang baru beberapa jam lalu dikenalnya itu tak tampak batang hidungnya.

Wajah Satrio tetap berseri, panas sore yang masih terasa menyengat udah semacam mandi sauna aja, ia menikmati setiap tetes keringat yang membanjiri pelipisnya.

Sepeda motornya mengarah ke rumah pelanggan yang kedua. Pagar rumah yang menjulang tinggi mengingatkan Satrio pada tembok dinding penjara. “Ih amit-amit,” gumam Satrio, sambil menekan bel yang menempel di dinding sebelah kiri pagar.

“Siapa,” terdengar suara lewat interkom.

“Gokil Bu,” jawab Satrio lugas. Tak berapa lama keluar sosok Bapak-bapak yang mempersilakan Satrio untuk membawa masuk sepeda motornya. ,"Sudah di tunggu Nyonya, Den,” ujar si Bapak sopan. Satrio pun mengangguk takzim sembari mengikuti langkah si Bapak sambil mendorong sepeda motornya.

“Saya itu asli kepo, banyak yang ngomongin tentang gokil. Jadi pingin tahu hasil kerjanya. Hati-hati ini semua baju-baju mahal jangan sampai ada yang rusak,” seru si Ibu yang bernama Nyonya besar Sri Pangestuti Sumodiharjo Cokroaminoto. Huek, Satrio rasanya mual baca nama yang panjangnya ampun-ampun itu.

Malas rasanya berada di dalam rumah yang penuh keangkuhan, Satrio pun buru-buru menyelesaikan tugasnya, bahkan memegang baju yang katanya mahal-mahal itu seperti tersengat listrik tegangan tinggi. Kalau nggak ingat Emak, Satrio ingin rasanya kabur dari sini, plus melemparkan baju-baju yang kebanyakan kurang bahan itu, ke comberan.

Sambil mengingat wajah ayu milik Dewi, Satrio menyelesaikan setrikaannya. Semua ilmu yang diajarkan padanya ia terapkan sebaik-baiknya, jangan sampai Nyonya yang terhormat itu ngacak-ngacak nama gokil, kalau sampai itu terjadi Satrio rela pasang badan. Sebagai remaja paruh baya ia siap menjadi garda terdepan melindungi keluarganya.

“Ini sudah siap Nyonya,” ujar Satrio h2c. Sambil menunggu komentar si Nyonya yang nama belakang nya bergelar Cokroaminoto itu, Satrio sempat merapalkan doa “Semoga bukan garis keturunan HOS Cokroaminoto, malu kali sang pahlawan punya keturunan cucu, cicit yang lagaknya selangit.”

“Hemm... Lumayan hasil kerjamu, walaupun ini masih ada kusut-kusutnya sedikit tapi masih bisa dimaafkan,” ujar si Nyonya ketus. “tapi, cuma segini aja ternyata gokil... gitu gembar-gembor di luaran sana masa ampun,” tambah Si Nyonya dan sebelum si Nyonya itu benar-benar berlalu, Satrio berteriak

“Alhamdulillah, nggak di order sama si Nyonya Nyinyir lagi.” Dan sebelum Nyonya yang terhormat itu meradang, Satrio melarikan sepeda motornya sekencang-kencangnya.

“Kini, saatnya pulang dan manas-manasin Si Bagas, pasti dia mupeng, tahu kalau masnya yang gantengnya ngalah-ngalahin Ariel Noah ini punya gebetan baru.”

Yuhu, Part 18 udah up,ya... kali ini ada kisah cinta monyetnya lo hehe... Silakan dinikmati manteman...











Keluarga GokilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang