Tabungan vs Kleptomania

19 3 0
                                    

Tinggal hitungan jari, awal bulan mulai menyapa. Saodah panik karena pelanggan benar-benar menghilang satu demi satu. Pelanggan setia masih, mereka tetap memercayakan hasil gosokannya pada Odah dan keluarga. Salah satunya adalah Mbak Jupe. Bahkan sosok yang selalu tampil modis itu sempat melontarkan bahan gunjingan pada Odah.

“Tetangga lo, itu udah nggak waras, ya meskipun buka usaha nggak ada yang ngelarang tapi membuka usaha dengan jenis yang sama plus dengan jarak yang berdekatan itu namanya nggak kreatif atau memang sengaja?”
Saodah hanya tersenyum getir. Ia menggeleng dan mencoba untuk pasrah

“Karena rezeki sudah ada yang mengatur,” begitu selalu ucapan Odah, dan itu yang bikin orang lain gemas sama Odah dan Somad. “Lo sama suami lo, tuh terlalu baik, dalam dunia bisnis kalau begitu caranya ya bakalan terlibas,” ujar Mbak Jupe. Sebelum pulang pemilik salon yang selalu low profile itu menyarankan untuk Saodah bikin gebrakan apa, yang bisa membuat pelanggan nggak kabur.

Sepeninggal Mbak Jupe, Saodah merenung. Ya, benar juga akhir-akhir ini dirinya terlalu sibuk baper, menerima kenyataan yang begitu cepat menimpa dirinya dan keluarga.

“Gebrakan, hmm... Ok nanti harus aku bicarakan dengan Bang Somad dan anak-anak,” batin Odah. Saat ini, Saodah ingin memecahkan masalah keuangan gokil yang agak goyah. “Malam nanti harus di gelar rapat mendadak.
Sama seperti malam-malam yang lain. Malam ini keluarga Somad menikmati makan di selingi ngobrol-ngobrol ringan. “O iya, ngomong-ngomong gimana  ngeband nya, kapan tampil Gas?” tanya Saodah ingin tahu.

“Oh, ya jelas jadi dong Mak. InsyaAllah kurang lima hari lagi. Lagian Bagas udah metik gitar sepenuh jiwa dan raga, rugi kalau sampai batal.”

“Apaan Gas, metik? Lo kata buah metik,” seru Satrio.

“Ah, sial lo Mas, bisanya ngeledek mulu. Pan kita lagi ngomong sama Emak jadi harus yang tepat sasaran.” Meledaklah tawa semua.
Seusai makan malam, Saodah meminta semuanya untuk tetap duduk di meja makan. “Dengan berat hati, Emak mau membuat pengumuman bahwa kondisi kita saat ini sedang tidak baik-baik saja, keuangan kita tengah kembang-kempis.”

“Maafkan Satrio Mak. Ini semua gara-gara keteledoran Satrio,” seru Satrio dengan wajah menunduk.

“Bagas juga minta maaf Mak,” ujar Bagas tak mau ketinggalan. Ia juga turut andil membuat gokil carut-marut.

Saodah, menatap kedua anak bujangnya itu bergantian. “Dengar anak-anak, yang lalu biarlah berlalu. Jadikan sebagai kisah hidupmu dan jangan sampai terulang. Belajar untuk lebih baik, karena hidup tak melulu tentang tawa ada juga saat di mana kita menangis.”

“Emak keren!” seru Arum.

“Siapa dulu gurunya...”

“Siapa Pak, emang Bapak kenal Guru Emak?” tanya Bagas polos.

“Mau kenalan, sini Bapak kasih tahu,” jawab Somad dengan wajah meyakinkan.

Bagas, menurut saja
mendekat ke arah Somad. Setelah dekat Somad mengulurkan tangannya ke arah Bagas. “Perkenalkan sayalah Guru Ibu Saodah,” ucap Somad dengan suara yang dibikin berat. Kontan semua ngakak melihat ekspresi lucu Somad.

Ketegangan yang sempat tercipta perlahan mulai cair, setidaknya bila pikiran jernih bisa muncul pemikiran-pemikiran baru.

Saodah mulai menuturkan kini dalam sehari hanya menerima satu atau dua panggilan gosok, Arum juga demikian bahkan pernah tak ada satupun yang order, akhirnya hanya Saodah yang jalan. Somad juga buka suara mengenai pelanggan yang datang ke rumah, nasibnya tak jauh berbeda.

“Kadang Bapak suka kasihan lihat si Ratih, akhir-akhir ini lebih banyak bengongnya dari pada kerja.”

“Ratih, ya... Dia sudah banyak banget bantu gokil dan saat ini Emak mau menyampaikan bulan depan, kita akan memakai uang tabungan untuk menggaji Ratih. Jika kalian tanya memang sudah sebegitu parahnya? Silakan kalian lihat catatan keuangan plus melihat kenyataan di lapangan. Kalian sendiri sebagai karyawan tentu merasakannya,” jelas Saodah.

“Untuk bulan depan, Bapak juga minta kebesaran hati kalian untuk, Pertama hanya bisa menerima separuh dari gaji kalian yang semestinya. Kedua motor baru juga terpaksa di tunda,” tambah Somad. Baik Arum, Satrio maupun Bagas langsung bereaksi, mereka bertiga menolak menerima gaji.

“Di simpan saja Pak, kami nggak apa-apa, asal masih bisa menikmati makanan buatan Emak itu sudah lebih dari cukup,” Bagas berargumen. Satrio tak mau kalah menyampaikan unek-unek ia bahkan menawarkan uang hasil menang lomba mancing beberapa hari yang lalu bisa juga dipakai.
Saodah tersenyum. Ia, berterima kasih untuk pengertian anak-anaknya.

“Sedangkan untuk Satrio, bukan Emak tidak mau, lebih baik uangnya kamu tabung untuk keperluanmu. Saat ini Emak dan Bapak masih bisa mengatasi.  Emak hanya ingin kalian tahu keadaan yang sebenarnya tentang gokil saat ini.

“Untuk selanjutnya bagaimana Mak? Kan kita selamanya nggak bisa kalau hanya mengandalkan uang tabungan?” tanya Arum khawatir. Saodah mengerti, kecemasan itu pasti akan ada, karena hatinya pun demikian, tapi rasa cemas tak boleh ia tampakkan lagi.

“Ya, kita harus terus berjuang dan memohon pertolongan kepadaNya. Mungkin di antara kalian ada yang punya usul, untuk kemajuan usaha kita? bisa dipikirkan dulu ya. Sekarang lebih baik kita istirahat, karena hari sudah larut malam.”
***
“Sebenarnya pikiranmu di mana Sih? Baru juga jalan dua mingguan, baru juga orang-orang percaya sama kita?” Gina teriak-teriak jengkel di depan Esti.

“Ampun Bu, maaf Esti khilaf soalnya bagus sih,” jawab Esti dengan santainya.
Gina geleng-geleng kepala, ia nggak habis pikir dengan kelakuan putri semata wayangnya itu. Dengan perasaan marah Gina meminta Esti mengembalikan sweater milik pelanggan. Sungguh, ia tak tahu lagi mau di taruh di mana wajahnya. Kemarin siang dengan penuh percaya diri sempat mengata-ngatai si pelanggan sengaja ingin menjatuhkan usaha gokil yang baru di rintisnya. Sore nya ia mendapati sweater warna merah marun itu terongok manis di atas tempat tidur Esti.

“Sudah lah Mbak, biarkan saja namanya anak muda, suka penasaran dan coba-coba,” bela Mpok Hindun. Gina semakin meradang. “Eh, dengar ya Mpok, sebejat-bejatnya saya tapi masih pakai otak, nggak sembarangan seruduk sana seruduk sini.” Mpok Hidun tertawa mendengar ocehan Gina. “Main serudak-seruduk kayak banteng ya Mbak.” Gina manyun di kata Banteng.

Sementara itu dengan muka badak alias tak tahu malu Esti mendatangi rumah pelanggan untuk mengembalikan sweater yang ia ambil. “Maaf, saya Esti yang meminjam sweater ini. Sungguh saya nggak ada niatan untuk mencuri,” seru Esti dengan suara pelan.

Si Ibu pemilik rumah menatap tajam ke arah Esti. “Dengar ya, mulai detik ini saya tak sudi memakai jasa kalian. Bisa-bisanya kita percaya baju boleh di bawa pulang untuk di gosok di rumah, ternyata...” Si Ibu pemilik rumah kemudian berbalik masuk ke dalam rumah dan membanting pintu, tanpa berkata apa-apa lagi, tinggal lah Esti merutuki nasibnya dan berjalan gontai menuju pulang.




























































Keluarga GokilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang