Gina tampak tersenyum puas, pelan tapi pasti pelanggan-pelanggan rivalnya berduyun-duyun beralih padanya. Job menumpuk, pundi-pundi rupiah pun berdatangan.
“Loh, udah jam berapa ini ayo berangkat,” Seru Gina saat melihat putrinya masih asyik dengan ponselnya.
“Ah, nanti saja lah Buk. Esti lagi nanggung nih chattingan sama bule,”
“Halah, bule-bule, yang ada juga bulek* Tutik tuh di kampung,” teriak Gina gemas. Baru juga gokilnya mulai jalan, eh anak perempuan yang cakepnya nggak ketulungan itu udah mulai bikin ulah. Akhirnya dengan terpaksa Esti membawa langkahnya ke halaman depan untuk menstater motor, di ikuti mata melotot milik Gina.
Setelah Esti hilang dari pandangan Gina pun berangkat mengunakan motor milik kerabatnya. Ya, Gina harus rela merogoh koceknya lumayan dalam untuk harga sebuah prestise di mata semua orang. Walau dengan cara-cara curang.
Sementara Mpok Hindun bagian menerima orderan di rumah. Ia rela bersusah payah menjadi karyawan Gina demi membalaskan dendam masa lalu dengan keluarga Somad. Masih jelas tergiang di ingatan Hindun waktu itu, saat Syarifah putrinya masih berusia dua tahun Somad mengajak suaminya untuk ikut bersepeda dengan klub sepeda Rawa Buaya.
Hindun sudah melarang tapi Suaminya yang baru saja pulang dari lembur tetap ngeyel, dan berita duka yang ia terima beberapa saat setelah azan duhur berkumandang itu, bak petir di siang bolong karena kekhawatirannya menjadi kenyataan. Sejak saat itu
Hidun tak bisa memaafkan Somad, ia merasa Somad lah penyebab kematian suaminya.
“Ma, ngelamun aja, awas baju orang tuh,” tegur Syarifah mengingatkan.“Lagian Ifah kan udah bilang nggak usah terima-terima kerjaan, Biar Ifah aja,” lanjut Ifah seraya mengambil alih kerjaan Hindun. Syariah yang memutuskan untuk tak kembali lagi menjadi TKW memang sudah mempersiapkan semuanya. Ia berencana akan membuka toko kelontong di rumah.
“Nggak apa-apa Ifah, Mama senang melakukan ini dari pada bengong,” jawab Hindun. Tapi Syarifah tak mau percaya begitu saja, ia tahu tabiat sang Mama dan ia juga tahu keluarga Somad lah yang lebih dulu membuka usaha Gokil.
“Sudahlah Ma, sampai kapan mama mau benci sama keluarga Om Somad, percayalah Ma, kepergian Papa bukan karena mereka, melainkan sudah takdir dari Allah SWT,” ujar Syarifah. Sudah beberapa kali, bukan saja dari pihak keluarga tapi juga dari teman hingga sahabat mengingatkan Hindun, tapi selalu saja di anggap angin lalu oleh perempuan berperawakan tinggi itu.
***
Sedang di rumah Somad. Baru pukul sepuluh Saodah sudah sampai di rumah sementara Arum hari ini hanya duduk manis di sebelah Ratih yang baru saja menyelesaikan gosokan yang tak seberapa, keduanya bengong di depan meja setrika.“Anak gadis kok bengong, ntar kesambet lo,” tegur Saodah yang memilih duduk dekat kipas angin kesayangan. Udara Jakarta yang panas akhir-akhir ini, membuat setiap orang harus kreatif untuk mendapatkan kesejukan.
“Eh, Emak... habisnya bingung mau ngapain?” ujar Arum yang disetujui oleh Ratih. Wajah Saodah mendadak mendung. Entah, rasanya situasi saat ini lebih sakit dari pada dulu saat Somad terkena pemutusan hubungan kerja. Mau tak mau pikiran Odah melayang ke masa itu, di mana ia masih bisa tertawa menghibur suaminya yang tengah terpuruk.
Somad yang baru saja dari dapur, heran melihat ketiga mahkluk manis di depannya pada diam-diaman kayak orang asing.
“Lha, ngapain ini pada? Nih, pada minum dulu pasti pada gerah kan?” seru Somad sembari menaruh tiga gelas es teh di hadapan ketiganya, yang langsung di serbu oleh Arum dan Ratih. Sementara Saodah masih sibuk dengan pikirannya sendiri.
Somad tahu bahwa Saodah sedang tidak baik-baik saja, ia pun membawakan segelas es teh dan menghampiri belahan jiwanya itu sembari memberi kode pada Arum dan Ratih untuk menyingkir sebentar, mau ada pembicaraan dua, empat, enam mata atau sampai tak terhingga dan Saodah bisa tersenyum kembali.
“Beib, jangan terlalu larut, entar kayak gula loh jadi tambah manis wajah ayang beib.” gombalan Somad kali ini tak berbalas, Saodah masih tampak murung.
Somad menarik nafas panjang, ia hampir kehabisan cara untuk membuat Saodah normal kembali.
“Mak, segala sesuatu itu pasti ada maksudnya. Ya, seperti hari ini langganan sepi. Anggap aja Allah sedang ngasih bonus ke kita buat istirahat. Iya kan? Selama ini kita sudah bekerja terlalu keras sampai hampir tak kenal waktu,” nasihat Somad, sembari memandang sayang ke arah sang istri. Saodah masih membisu. Hingga Somad melontarkan sebuah ide untuk membuat piknik kecil-kecilan di depan rumah.
Kabar itu segera menyebar ke telinga Arum dan juga Ratih, tentu saja hal itu di sambut gembira oleh keduanya. Persiapan pun dilakukan dan kehebohan semakin terasa setelah kedatangan Satrio dan Bagas.
Saodah membuat camilan ketela goreng, kacang goreng plus jagung rebus. Walaupun tanpa api unggun, karena memang tempatnya terbatas tetap tak mengurangi keseruan keluarga Somad. Sore Bagas dan Satrio mendirikan tenda. Saat itulah Gina dan Mpok Saodah muncul keduanya, seperti biasa langsung mencibir.
“Yaelah Mpok, lihat tuh kelakuan si Somad, pakai ndirin Tenda segala, emangnya di dalam rumah udah sempit apa? oh... apa gara-gara habis ada perang dunia kedua. Tadi siang kita kayak dengar ribut-ribut, iya nggak Mpok? Mpok Hindun langsung balas nyerocos.
“Kayaknya sih gitu, mangkanya kalau kerja tuh yang benar, anak-anak jangan dibiarin pacaran mulu' udah ah, yuk kita pergi dari sini ntar kita ketularan kurang kerjaan kayak mereka lagi.” Mpok Hindun buru-buru menarik tangan Gina, menjauh dari rumah Somad.
Satrio dan Bagas yang mendengar ocehan duo Emak-emak rese' itu cuma bisa mengelus dada.
“Untung Emak atau Bapak nggak dengar. Kalau dengar bisa ribut lagi tuh,” seru Bagas sambil mencoba masuk ke dalam tenda yang telah sukses berdiri. Satrio mengiyakan ucapan adiknya itu. “Emang benar yang Bapak bilang, mulutnya nggak pernah sekolah mangkanya nggak tahu caranya ngomong yang baik dan benar,” tambah Bagas lagi.
“Hus, awas kedengeran nenek lampir, bisa habis di sate lo,” gurau Satrio yang langsung disambut tawa keduanya.
“Ketawa mulu' udah selesai ndiriin tendanya?” seru Arum.
“Jangan salah, sudah dong... silakan diperiksa,” ujar Bagas sembari mempersilakan Arum untuk mengecek sampai ke dalam tenda. Bersamaan dengan azan Magrib yang mulai berkumandang. Ketiganya pun masuk untuk menunaikan salat maghrib berjama’ah. Di saat itulah ada sepasang mata mengamati keadaan, kemudian dengan sedikit terburu-buru melemparkan sesuatu ke halaman rumah Somad, tepat di sekitar tenda.
Keluarga Somad menikmati makan malam terlebih dahulu, kali ini tambah seru dengan kehadiran Ratih di tengah-tengah mereka. “Ayo buruan habisin makannya setelah itu kita ke tenda,” seru Bagas yang tampak sudah nggak sabaran.
“Iya, jangan lupa bawa gitar kita nyanyi sampai pagi,” gurau Satrio yang langsung di setujui oleh Bagas.
“Ya elah ngomong doang itu, paling kalau udah ketemu bantal langsung KO.” Arum sangat hafal kebisaan sang adik, yang langsung di sambut tawa oleh semuanya.
Setelah beres urusan perut, semua bergegas keluar. Saodah, Arum dan Ratih terlihat sibuk membawa berbagai macam camilan. Sementara Bagas dan Satrio menyerbu tenda. “Yuhuu... kami datang,” teriak Bagas yang langsung beraksi dengan petikan gitarnya. Tapi, belum sampai lima menit mereka berdua dikejutkan dengan sosok hewan kecil yang menghubungi kaki mereka.
“Apa ini, ca... cacing,” teriak Satrio di susul Bagas. Jadilah, malam itu acara di tenda batal. Saodah yang memang geli banget sama hewan itu langsung histeris...
Sementara dari kejauhan tampak beberapa pasang mata menyaksikan kehebohan keluarga Somad. Mereka tertawa puas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Keluarga Gokil
HumorYang namanya keluarga itu harus saling mendukung kan? Ngga mungkin banget kalau sebuah keluarga itu adem ayem terus. Pasti ada pasang surutnya. Namun, yang paling penting dari itu semua adalah bagaimana mereka saling dukung, saling bantu, dan bekerj...