Pesona Esti

21 3 0
                                    

“Tumben jam segini harum bener anak Ibuk, pakai apa sih?” tanya Gina penasaran, saat melihat Esti keluar dari kamar dengan dandanan santai kaos putih dengan ripped jeans dan bau parfum yang menyengat.

“Biasa Buk, pakai minyak nyong-nyong, supaya si Satrio klepek-klepek.”

Gina tersenyum penuh arti. “Bagus, genderang perang saatnya di tabuh.”
Esti, turut di undang di acara traktiran atas kemenangan tim Basket Satrio dan kawan-kawannya dan pilihan untuk datang lebih awal tampaknya bukan ide yang buruk. Jadi, di sinilah sekarang Esti  duduk di warung Mang Petruk. Beramah tamah dengan teman-teman Satrio, kecuali Dewi.

Pukul tiga sore semua sudah berkumpul di warung Mang Petruk. “Ayo-ayo pesan nanti kita yang bayar,” seru Satrio mewakili teman-teman satu timnya. Dewi yang duduk di dekat Satrio tak lelah mengumbar senyum, hatinya benar-benar berbunga sekaligus bangga punya kekasih yang tak hanya sekedar modal tampang tapi juga berprestasi.

Nyatanya, di tempat ini tak semuanya tengah berbunga. Di meja seberang ada sosok jealous yang meradang, wajah di tekuk, mulut monyong dan sesekali ngedumel dalam hati. “Hei, ngelamun aja Neng? Tuh, makanannya jangan dianggurin,” tegur Irfan salah satu teman Satrio, sambil menahan tawa melihat tampang bete' Esti.

Ayam penyet favorit rasanya hambar karena kesempatan untuk dekat dengan Satrio nyaris tak ada. “Perempuan sok imut itu nempel terus kayak prangko, sial!” gerutu Esti. Saat tengah sibuk dengan perasaan dongkolnya tiba-tiba saja Satrio mendatanginya dan mengajak Esti untuk gabung dengan teman-teman yang lain.

“Eh, gabung yuk kita foto rame-rame,” ujar Satrio. Esti seketika mencari-cari sosok Dewi dan perempuan berambut sebahu itu masih ada di sana, tengah sibuk cari posisi untuk foto.

“Dasar abege labil. Lihat saja, Satrio pasti akan bertekuk lutut di hadapanku!” seru Esti geram.

Sesi foto bareng di depan warung penyetan Mang Petruk, jadi acara terakhir yang paling seru. Berbagai gaya narsis, dari yang aneh sampai nyeleneh ditunjukkan tanpa rasa sungkan dan sebelum berpisah beberapa foto sudah di unggah ke sosial media. Suara tawa dan komentar mengenai hasil foto mereka, mewarnai akhir pertemuan sore itu.

Satu persatu mulai meninggalkan warung, termasuk Dewi.

“Loh, pacarmu mana?” tanya Esti yang memang menunggu momen berdua seperti ini.

“Oh siapa? si Dewi, dia langsung pergi ke tempat bimbel, Mbak. Maklum udah kelas XII, tapi maaf, masih calon bukan pacar,” jawab Satrio. Esti manggut-manggut senang, seraya mensejajari langkah Satrio hingga ke tempat parkir.

“Loh, mbak nggak bawa kendaraan, tadi ke sini naik apa?”

“Ya, biasa ojek, o iya  boleh minta satu hal nggak jangan panggil Mbak dong, panggil nama aja,” usul Esti. Akhirnya petang itu, Esti berhasil pulang bareng Satrio.

Esti mulai paham jadwal Satrio jadi dia, mencoba menemui Satrio di jam-jam pulang sekolah. Seperti siang itu tanpa whatsapp terlebih dahulu, langsung nyamperin Satrio di rumahnya dan Bagaslah yang menyambut Esti.

“Mas Bagas masih basket Mbak, sama saya saja nggak apa-apa,” ucap Bagas sok akrab. Esti memamerkan sederetan gigi putihnya di bumbui sunggingan senyum yang membuat jantung kaum adam berdesir.

Tak butuh waktu lama keduanya cepat akrab. Somad yang mengetahui kedatangan Esti tak mempermasalahkan. Sesekali membiarkan mereka menikmati dunia mereka, bukanlah sesuatu yang buruk.

Waktu pertama kali
Kulihat dirimu hadir
Rasa hati ini inginkan dirimu
Hati tenang mendengar
Suara indah menyapa
Geloranya hati ini tak kusangka
Rasa ini tak tertahan
Hati ini selalu untukmu... “

Petikan gitar Bagas mengiringi suara merdu Esti. Bagas semakin terkesima dengan semua yang ada pada sosok Esti, kecantikannya, kepintaran dan keluwesannya membawa diri, jadi nilai plus-plus di mata pemuda tanggung itu.

“Wah, wah... Ada yang lagi seru nih kayaknya,” komentar Satrio saat langkahnya memasuki halaman rumah. Esti yang mengetahui kedatangan Satrio melambaikan tangannya dan memintanya untuk gabung. Jadilah sore menjelang senja itu, ketiganya asyik bernyanyi bersama dan baru berhenti saat magrib, bersamaan dengan pulangnya Saodah.

“Asyik banget tadi Emak lihat, ngapain tu anak kemari?”

“Udah, Mak... Pulang-pulang kok marah-marah nggak baik lo untuk kesehatan jantung Emak.” Somad berusaha menenggahi keributan. Saodah justru makin berang dan menyalahkan Somad yang nggak becus jadi orang tua.

“Biasanya Abang yang suka nasehatin Odah. Lha,, ini anak sendiri? Pan, nggak baik berdua-duaan ntar yang ketiganya setan,” cerocos Odah. Dengan santainya Somad menjawab

“Itu tadi kan nggak berdua Mak, udah bertiga masak Satrio atau Bagas yang setan?”

Saodah gemas, dengan sikap Somad. Ia pun masuk ke dalam rumah tanpa berkata-kata lagi. Tinggal Satrio dan Bagas saling pandang, kemudian buru-buru meminta Somad menyusul ke dalam kamar.

“Buruan Pak, Emak ngambek ntar jatah makan malam kita amblas lo,” goda Bagas. Somad ngeloyor pergi menyusul Emak Sambil berkata “Tenang selama masih ada pawangnya di mari, jatah kita pasti aman.” Tawa Satrio dan Bagas mengiringi langkah Somad masuk ke dalam kamar hendak merayu Odah.
***
Sehabis makan malam. Satrio dan Bagas memilih duduk-duduk di teras depan rumah sembari mencari udara segar. Hujan yang lama belum turun membuat badan terasa gerah.

“Kalau menurut Mas Satrio, Esti itu gimana orangnya Mas?” Mendapat pertanyaan seperti itu Satrio mengernyitkan dahinya sesaat. Setelah itu justru balik bertanya pada sang Adik “Kok, jadi ngomongin Esti. Mila mau kamu taruh mana?”

Bagas yang tak terima dengan tuduhan Satrio sedikit meradang “Ya ampun Mas, cuma tanya gitu doang udah bawa-bawa Mila. Lha, Mas sendiri gimana sama Dewi?”

Senyap. Tak ada jawaban, hanya suara jangkrik yang membuat malam sedikit berwarna.

“Idih, ini kok pada diam-diaman kayak lagi marahan. Emang ada masalah apa sih? Coba cerita siapa tahu Mbak bisa bantu. Baik Satrio maupun Bagas tak ada yang mau membuka suara. Masalah para lelaki harus diselesaikan secara jantan.

Tiba-tiba Bagas punya ide, ngusilin Arum. “Mbak, Mbak Arum pacarnya siapa sih? Kok nggak pernah lihat ada cowok di ajak main kemari. Satrio ikut menimpali godaan sang Adik “Iya nih Mbak Arum, ntar...” Arum kesal. Ia tahu kemana arah pembicaraan adik-adiknya.

“Dengar ya, adik-adik Mbak yang gantengnya kayak bintang pelem, kalau dilihat dari sedotan. Mbak ingin kayak Emak dan Bapak nggak pacaran lama-lama langsung nikah. Kalau ada yang ngajak kenalan terus serius, besok ngajak nikah juga ayo aja,” terang Arum panjang lebar.

Bagas dan Satrio sontak tertawa ngakak mendengar pengakuan Arum.

“Iya, tiba-tiba ada yang ngelamar dan yang ngelamar itu Bang Udin,” ujar Satrio. Bagas makin ngakak dengar gurauan Satrio.

Arum yang mendengar itu langsung refleks mengelus-elus perutnya “Ih, amit jabang bayi.” Membayangkan sosok Udin yang pengangguran rasanya ngeri. Arum pun ngeloyor masuk ke dalam rumah. Kelamaan kumpul bareng adik-adiknya bisa habis jadi bahan ledekan.

Tapi, sebelum beranjak pergi, Arum sempat memberi ultimatum kepada kedua adiknya. “Tumben bahas-bahas pacar, udah pada mau nikah? Awas aja kalau ada yang berani melangkahi Mbak. Belajar dulu sana yang rajin gih.”

“Tuh, dengerin,” seru Bagas pada Satrio.

“Idih, lo juga tuh dengerin,” ucap Satrio.











Keluarga GokilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang