6. Amplop Lusuh

4.3K 472 43
                                    

Mendengar suara decitan pintu yang perlahan-lahan terbuka membuat Dino harus berulang kali menepis keinginannya untuk menyelami lebih dalam tentang situasi yang ada di rumahnya saat ini. Ia menatap kesekeliling rumahnya yang memberikan aura horor di mana ruangan itu terlihat sepi dan tidak seperti biasanya. Biasanya baru pertama kali dia membuka pintu rumah ia disambut oleh salah satu sosok yang ada di dalamnya, namun ini terlihat begitu janggal. Dino takut kalau ini hanyalah jebakan dan dia harus tetap waspada.

"Mas Dino."

Dino berjingkat kaget saat Bik Eni selalu mengagetkannya di situasi apa pun. Dia memejamkan matanya dan menghembuskan nafas agar tidak memarahi wanita tua yang telah menemaninya sejak dia kecil itu.

"Bik, jangan ngagetin gitu." Dino berjalan menuju ke kamar namun Bik Eni tiba-tiba memberikan sebuah amplop lusuh pada Dino.

"Ada titipan Mas," ucap Bik Eni dan diterima dengan bingung oleh Dino. Sejak kapan ada orang yang mengirim surat dengan amplop lusuh dan penuh dengan bekas injakan.

"Dari siapa?"

Bik Eni bukannya menjawab namun dia pergi begitu saja. Lelaki itu merasa ada yang aneh dengan tingkah Bik Eni, tidak membuang waktu dia langsung membuka surat tersebut melihat tulisannya seperti surat yang ditulis pada jaman dahulu. Khas dengan tinta dan ia pun tidak tau apa isi surat itu karena tulisannya seakan menyatu, namun saat Dino membalik lembaran tersebut terdapat tulisan yang membuatnya kaget sekaligus bingung.

Di sana tertulis, Batavia 1899. Dino membulatkan matanya, "apa-apaan nih." Dia langsung menuju kamarnya. Namun surat itu tetap dia bawa.

Di tempat lain, Debi menatap Revan dengan pandangan penuh tanya. Dalam hati gadis itu ia bertanya, sebanarnya apa yang membuat laki-laki itu mengajaknya berdiri dipinggir jalan dengan memandang gedung tinggi disebrang mereka. Sudah hampir 1 jam, Debi dan Revan diam tanpa ada yang membuka obrolan.

"Kita ngapain sih di sini? Kurang kerjaan banget." Debi mulai mengeluh karena ia sadar mereka berdiri di sana sudah lama dan tanpa adanya kejelasan dari Revan sama sekali.

Debi yang notabennya anak yang manja kini mulai merengek karena kepanasan, gerah, dan juga banyak polusi. Belum lagi kendaraan yang berseliweran membuatnya tidak nyaman karena mereka seakan menjadi tontonan.

Revan melirik ke arah Debi yang mengibas-ngibaskan tangannya karena keringat yang mulai jatuh ke wajahnya. Ia menggelengkan kepalanya dengan senyum.

"Lo penasaran kenapa gue ngajak lo kesini?" tanya Revan.

"Ya iyalah! Gila lo ya ngajak gue panas-panasan begini, percuma gue kemarin habis perawatan." Debi memanyunkan bibirnya.

"Lebay lo. Besok libur gue temenin perawatan lagi." Revan menjawab ocehan Debi. Revan itu tipe cowok yang royal, dan tidak pernah pelit sedikit pun kepada orang. Tapi minusnya, dia itu masih belum bisa berubah dari sifat playboy. Mungkin untuk saat ini ia masih bersama dengan Debi tapi tidak tau besok, lusa, atau kapan nanti dia akan menggandeng perempuan lain.

Mendengar jawaban dari Revan tadi membuatnya malah kesal. "Gue masih sanggup bayar sendiri. Tapi gue cuma mau lo kasih waktu dan perhatian lo buat gue," ucapnya.

"Inikan udah gue kasih?" tanya Revan.

"Kasih apaan?! Lo dari tadi berdiri di sini nggak ngapa-ngapain, nggak nanya gue kepanasan atau enggak, gue capek atau gimana, terus nanya haus apa enggak! Kesel gue lama-lama sama lo." Keluh Debi dengan bersedekap dada.

"Gue punya alasan buat ini semua."

"Untung gue nggak punya alasan kenapa gue bisa cinta sama cowok modelan kayak lo!" balas Debi santai.

Dino untuk DebiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang