28. Masalah Cincin

2.9K 325 53
                                    

Dino menjatuhkan dirinya ke atas tempat tidur lalu merebahkan badannya di sana, bertujuan untuk melepas penat hari ini yang terasa berat baginya. Dia menatap langit-langit kamarnya, dihelanya napas dengan pelan, melihat raut wajah Debi tadi membuat dirinya merasa bersalah, seharsunya dia tidak mengatakan hal seperti tadi di mana kata-katanya terdengar sangat cuek dan masa bodo, padahal dia bisa memilih alasan yang lebih jelas dan masuk akal.

Bunyi benda jatuh membuat Dino langsung bangkit dari rebahannya lalu dia berjalan ke arah meja belajar, dan berganti menatap aneh pada tumpukan buku yang seingatnya dia letakkan di tempat yang rawan untuk terjatuh. Kemudian dia berjongkok untuk mengambil buku-buku yang berserakan seperti sengaja didorong. Tidak sengaja dia menemukan sebuah amplop yang berisi sebuah surat di dalamnya, dia teringat jika itu adalah salah satu petunjuk agar bisa membantu Catlin.

Dino mengambil surat itu, lalu dia menata kembali bukunya ke atas meja. Dia duduk di kursi dan membaca serta mengamati setiap kata yang tertulis dengan tinta yang sedikit pudar. Tulisan itu ditulis dengan menggunakan bahasa Belanda, yang bahkan sama sekali tidak dimengerti olehnya.

"Tahun 1899," ucap Dino sembari memegang lembaran kertas tersebut.

"Catlin," Dino memanggilnya pelan agar dia muncul. Tak lama kemudian sosok itu hadir di hadapan Dino.

"Bisa jelasin ini?" tanya Dino.

Catlin tanpa ancang-ancang langsung masuk ke tubuh Dino berusaha untuk membawa lelaki itu pada kilasan zaman dahulu. Dino mengikuti permintaan Catlin, saat Dino membuka matanya ternyata dia sudah berada di sebuah zaman kuno yang terlihat asing dan sepi. Dia berada di sebuah halam rumah besar yang bergaya Belanda klasik. Terlihat banyak sekali pekerja zaman penjajahan membuat Dino mengamati mereka satu persatu.

Dino mulai melangkahkan kakinya memasuki area rumah itu lebih dalam agar lebih tau apa yang bisa memberikannya petunjuk lagi. Tidak lama dia melihat seorang perempuan paruh baya yang sangat cantik dengan memakai pakaian khas Belanda sedang menguncir anak kecil. Dino masih mengamatinya, melihat setiap pergerakan. Dino tidak bisa mendengarkan apa-apa di sana, telinganya seperti hanya berdengung kencang.

Terlihat senyum bahagia gadis kecil itu, baju lengan pendek dengan rok yang menjuntai panjang ke bawah menambah kesan anggun. Rambut yang dikuncir kanan dan kiri mempermanis penampilannya.

Dino mengikuti larinya anak kecil itu sampai di depan sebuah kamar besar, dia memeluk seorang wanita muda dengan penuh sayang. Dia memperlihatkan penampilannya dengan bangga. Dino hanya terus mengamatinya sampai tiba-tiba ada seorang laki-laki memaksa sang gadis muda itu untuk ke luar dengan kasar. Sang anak kecil menangis meraung berusaha mencegahnya. Sebuah surat terjauh saat dia dipaksa untuk pergi. Dino langsung tersadar dengan apa yang baru saja terjadi.

Dino rasanya gelagapan dan napasnya memburu, dia sudah berada di dalam raganya sendiri. Dia membaca surat yang tadinya dia tidak mengerti bahasa Belanda namun tiba-tiba saja dia menjadi mengerti dan paham.

"Batavia, 1899. Hari ini adalah hari di mana aku berpisah dengan mereka. Selamat tinggal, aku menyangangi kalian. Catlin Vanderhood." Dino bingung saat membaca tulisan yang tertara di sana, namun kemarin dia bertemu dengan Bu Yuli tapi kenapa dia yakin justru bukan Jakarta tempat sebenarnya? 

Dino menyisir rambut dengan potongan fadenya ke belakang. Dia mengusap wajahnya untuk berpikir, sebuah telepon masuk tiba-tiba membuyarkan pikiran Dino. Dia berjalan ke arah kasur lalu mengangkat panggilan itu.

Di layar ponsel tertera nama Laras lalu Dino mengangkatnya.

"Halo, mah," sapa Dino.

"Halo sayang, kamu lagi di mana? Sibuk nggak?" tanya Laras dari sebrang telepon.

Dino untuk DebiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang