Pulang

4.4K 166 1
                                    

Arkan Ramadhan adalah laki-laki yang pernah menimba ilmu selama tujuh tahun di Amerika Serikat. Anak yang dibanggakan keluarganya. Dia menolak semua calon istri yang dijodohkan dengannya. Ada apa dengan Arkan? Siapakah seseorang yang tidak bisa dia lupakan?


.

Sambil tersenyum ia menyapu semua sudut bandara dengan pandangannya. Ada beberapa tempat duduk kosong yang bisa ia duduki.

Ibu pemuda bernama Arkan Ramadhan itu sudah sejak kemarin mewanti-wanti, bahwa ia tidak boleh pulang sendiri, harus menunggu orang tuanya yang akan datang menjemput. Tapi, nampaknya mereka belum datang.

Arkan meletakkan dua koper dan tasnya di sisi kursi yang ia duduki. Lalu mengeluarkan telepon selular, mencari nama ibunya.

"Halo, Aa? kamu udah di Soekarno-Hatta?" Suara ibunya terdengar dengan logat Sunda yang begitu kental.

"Aa sudah di Soekarno-Hatta, Mah. Mamah sama Ayah masih di jalan?"

"Iya nih, tadi si Ayah keukeuh mau mampir ke rumah Mang Enda dulu, katanya biar sekalian menyambut kedatangan Aa. Jadi we, lila (jadi lama)." Ibunya bicara dengan nada kesal.

"Enggak apa-apa Mah, Aa nunggu aja. Mamah sama Ayah hati-hati di jalan ya."

"Tungguan heula (tunggu dulu) nya, A'," kata ibunya lagi, setelah itu telepon ditutup.

Arkan tersenyum senang. Lalu sedikit merebahkan badannya. Ia melihat sekeliling. Banyak kenangan di ruang tunggu bandara ini.

Jika dihitung, mungkin sudah dua belas sampai empat belas kali Arkan berada disini. Yang pertama adalah tujuh tahun lalu. Saat Arkan pergi ke luar negeri untuk pertama kali.

Bercita-cita kuliah di luar negeri sejak Sekolah Menengah Pertama, Arkan benar-benar dapat meraih mimpinya atas bantuan orang tua, dan setelah menyelesaikan sarjana selama 3,5 tahun, Arkan mendapat beasiswa S2 dari Massachuset Institut of Technology di Cambridge Amerika Serikat, kampus yang sama tempatnya menempuh S1.

Tujuh tahun lalu, Arkan masih ingat, ibunya mendekap erat tangannya selama perjalanan ke Bandara Soekarno-Hatta waktu itu. Wanita kesayangan bernama lahir Nining Sukaesih itu cemas, tapi juga bangga.

Setelah itu, terhitung 2 kali setahun Arkan kembali ke ruangan ini, untuk beberapa minggu ke kampung halaman, berkumpul bersama keluarganya.

"Arkan ...!"

Teriakan seorang wanita membangunkannya dari tidur. Sebuah pelukan atau yang lebih pantas disebut tubrukan menimpa tubuh Arkan.

Sang ibu memeluk erat sekali. Sambil menangis, beliau memandang seluruh bagian tubuh anak kesayangannya satu per satu, memastikan tidak berkurang suatu apapun. Setelah itu memeluk kembali, masih sama erat.

Arkan hanya bisa pasrah, membiarkan ibunya menumpahkan semua air mata kerinduan.

Ayahnya dan pamannya -mang Enda- memandangi mereka dengan tersenyum bahagia."Enggeus (udah) atuh mah, ayah juga mau peluk si Aa," kata pak Yayan, ayah Arkan.

Bu Nining melepas Arkan, dan membiarkan anak dan ayah itu saling memeluk penuh sedu sedan.

"Selamat ya A', sudah jadi em-be-a," kata sang ayah sambil menatap Arkan dalam-dalam. Tersirat kebanggaan dari mata beliau.

Arkan tersenyum, lalu memeluk sekali lagi. "Makasih, Yah, ini juga berkat Ayah sama Mamah. Aa enggak bakal kayak gini kalau bukan karena Mamah dan Ayah."

Sambil menangis Arkan berterima kasih pada ayahnya.

Setelah tangis reda, mereka semua segera menuju area parkir bandara. Bu Nining sudah tidak sabar membawa pulang anak kebanggaannya. Dia sudah menyiapkan semua kebutuhan Arkan. Sang anak tidak akan kembali lagi ke Amerika. Sekolahnya sudah selesai.

"A', besok mau ada syukuran," kata bu Nining saat sudah didalam mobil.

"Syukuran apa, Mah?"

"Syukuran kepulangan kamu atuh, dan syukuran atas kesuksesan kamu menyelesaikan sekolah es dua di luar negeri."

Arkan hanya tersenyum, merasa tidak perlu protes tentang hal itu.

"Ustadz Danu udah bilangin, Yah?" Bu Nining bertanya pada suaminya.

"Udah, bu Haji Juri juga udah, besok katanya bawa jama'ah lima puluh orang," jawab pak Yayan.

"Lima puluh orang? Emangnya syukurannya ngundang banyak orang?" tanya Arkan heran.

"Paling seratus orang yang hadir, keluarga, sama ibu-ibu pengajian."

Arkan tidak bisa protes kalau sudah kemauan sang ibu. Tapi, tetap saja, ia mengkhawatirkan kondisi keuangan orang tuanya.

"Teu nanaon (tidak apa-apa) A', si Mamah sudah nyiapin uangnya dari taun lalu, katanya buat selamatan Aa kalau sudah selesai S2 nanti."

Arkan hanya mengangguk mendengar penjelasan ayahnya. Lalu menatap ibunya yang masih tersenyum bangga.

"Mama bangga banget sama Aa."

Hati Arkan hangat terharu mendengar perkataan ibunya. Syukurlah dia menyelesaikan pendidikannya, meskipun sempat tertatih-tatih hidup di negeri orang.

Wanita Dari Ruang RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang