Mereka berempat sedang ada di dalam mobil sekarang, Arkan di balik kemudi, Anisa di bangku depan di samping bangku pengemudi, sementara Michelle di bangku belakang, dia memeluk Rachel yang masih tidak sadarkan diri.
Entah sudah berapa kali Arkan menengok ke bangku belakang sejak tadi, menatap resah wanita yang sedang terbaring di pelukan adiknya. Dia sangat mengkhawatirkannya.
"Fokus saja menyetir!" Michelle membentaknya setiap kali melakukan itu.
Anisa hanya bisa diam, dia tidak bisa menebak apa yang terjadi di antara Rachel dan Arkan sebenarnya, kisah mereka begitu misteri.
Rachel tidak pernah menceritakan tentang Arkan, begitu juga sebaliknya. Arkan, Pria itu bahkan lebih tertutup lagi.
Saat telah sampai di rumah sakit terdekat. Anisa bergegas keluar dari mobil, kendaraan roda empat itu berhenti di area parkir yang berada tidak jauh dari lobby. Ia hendak membantu mengeluarkan Rachel yang masih tidak sadarkan diri. Tapi, belum sempat ia melakukannya, ternyata Arkan sudah lebih dulu berlari ke Instalasi Gawat Darurat sambil menggendong Rachel.
"Tolong, Sus, dia pingsan," kata laki-laki itu.
Arkan bersyukur IGD rumah sakit yang mereka datangi cukup sepi, Rachel bisa langsung ditangani. Dokter perawat menerima sang pasien dan melakukan pemeriksaan berdasarkan kategori kegawatdaruratan.
Sementara itu, Michelle ditemani Anisa menuju ruang pendaftaran pasien. Mereka menjawab semua pertanyaan petugas dan memberitahukan bahwa pasien pernah mengalami depresi.
Selama menunggui Rachel, banyak sekali yang Arkan pikirkan. Dia memutuskan untuk menata ulang hidupnya. Dia menambahkan satu rencana besar, yaitu menikah.
Selama ini dia selalu menghindar jika ditanya soal pernikahan. Tapi, sekarang dia siap, dia merasa, ini sudah saatnya. Kembalinya Rachel dalam hidup Arkan menjadi sebuah penanda
"Chel, aku menunggu mu di sini. Aku cemas, aku takut. Aku berharap, sangat berharap, kamu baik-baik saja. Aku janji, setelah ini, akan memperlakukanmu dengan baik, tidak akan beranjak meski kamu mengusirku pergi. Aku akan selengket lem super.
"Maafkan, karena aku begitu tolol dan bodoh, meninggalkanmu begitu mudah, padahal kamu sedang tidak baik-baik saja. Aku janji, aku akan menikahimu setelah ini, tidak peduli jika ada yang tidak setuju."
***
"Dimohon, hanya satu orang yang bisa menjaga pasien di ruangan ini, yang lain silahkan menunggu di luar." Suster menjelaskan prosedur rumah sakit bagi keluarga pasien.
Arkan ingin tinggal, tapi dia sadar bukan siapa-siapa. "Mana hape kamu?" tanyanya pada Michelle.
"Buat apa?"
"Simpan nomorku! Kamu harus kabarin aku, apapun yang perkembangan kakakmu!"
Michelle merasa sangat kesal, dia ingin meneriakinya, tapi ini di rumah sakit. Mau tidak mau gadis itu melakukan apa yang diminta Arkan. Paling tidak agar laki-laki menyebalkan itu segera keluar dari ruang rawat kakaknya.
Beberapa menit kemudian, Anisa dan Arkan terlihat duduk di ruang tunggu.
"Terima kasih sudah memberitahu saya." Arkan bicara pada Anisa.
Ucapan itu tulus, dia benar-benar merasa berterima kasih pada Anisa atas apa yang dilakukannya.
"Ya, itu sudah kewajibanku."
"Tentang perjodohan itu ...."
"Oh, jangan khawatir! Saya bahkan belum menyetujuinya, saya mengerti kalau anda memutuskan ingin bersama kak Rachel." Anisa tersenyum. "Sungguh, saya justru bahagia jika akhirnya seperti itu."
Arkan tercengang, tidak menyangka Anisa akan mengatakan hal itu. "Bisakah kamu bicarakan dengan keluargamu tentang hal ini?" tanyanya.
"Baik, tidak masalah."
Telepon selular Arkan berbunyi, ibunya menelepon. Laki-laki itu undur diri untuk menjawab telepon sang ibu.
Anisa menatap punggung kokoh yang bergerak menjauh itu, entah mengapa dia merasakan sedikit perih.
Bagaimana ini? Apakah benar-benar telah tumbuh harap di hatinya?
"Astaghfirullah ...." Gadis itu segera menyadarkan dirinya sendiri, yang terbaik adalah, Rachel bersama Arkan. Mungkin, memang belum saatnya dia bertemu jodoh sejati.
Michelle yang tengah terlelap merasakan ada yang menggoyang-goyang ibu jarinya. Dia terbangun dari tidur.
"Kakak."
Rachel sudah sadar, di merasa sangat haus dan menunjuk sebuah botol minum di meja di samping tempat tidur pasien.
"Kenapa Kakak ada di sini?" Rachel bertanya sebelum meneguk air dari botol.
"Kemarin Kakak pingsan, terus dibawa ke sini."
Rachel ingat, hal terakhir yang ia lihat adalah wajah Arkan. "Apakah itu benar-benar dia? Bagaimana bisa?" Batinnya bertanya-tanya.
"Kakak, aku harus pulang ke rumah," kata Michelle, "nanti Kakak ditemani Anisa ya."
Begitu banyak hal yang harus dilakukan Michelle, kemarin malam, karyawan ayahnya menelepon dan melaporkan situasi toko yang kurang baik. Dia juga harus melakukan sesuatu mengenai skripsinya, jadwal sidang tinggal beberapa hari dan dia belum memiliki progress apapun.
Michelle mengirim pesan pada Anisa untuk segera datang ke ruang rawat Rachel. Tapi, setelah ditunggu beberapa menit, gadis itu tak kunjung menjawab pesan. Lalu, dia mengirim pesan pada Arkan, bertanya apakah Anisa masih ada di sana.
Laki-laki itu menelepon, mengatakan bahwa Anisa sudah kembali ke rumah orang tuanya.
"Tadi subuh dia dijemput Abahnya, awalnya dia mau pamit sama kamu. Tapi kamu lagi tidur," kata Arkan.
"Kenapa, Dek?" Rachel melihat raut bingung di wajah sang adik.
"Ah, enggak, aku keluar sebentar ya, Kak."
Michelle keluar dari ruang rawat untuk bertemu Arkan.
"Kamu tungguin kakakku sebentar! Nanti aku suruh bi Sumi datang buat ngurusin kakakku."
Michelle tidak bisa menahan nada ketus dalam suaranya, masih jengkel pada pria menyebalkan itu.
Arkan tidak peduli Michelle menatapnya dengan jengkel, yang penting dia bisa mengetahui keadaan Rachel. Dia membiarkan gadis itu pergi, dan menyerahkan urusan Rachel padanya. Bagaimanapun, Michelle tidak punya pilihan, hanya ada laki-laki itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanita Dari Ruang Rindu
RomanceArkan Ramadhan, anak laki-laki kebanggaan keluarganya. Dia menolak semua wanita yang dijodohkan dengannya. Padahal mereka adalah wanita-wanita shalehah dan terjaga. Mengapa Arkan bersikeras tidak ingin menikah?