Arkan memandangi wajah istrinya yang sedang terlelap di pembaringan. Laki-laki itu belum bisa tidur, selain ada beberapa hal terkait pekerjaan yang harus diselesaikan, dia juga terus teringat kejadian beberapa jam lalu, saat ibunya bersikap sangat kasar pada Rachel. Beliau memang keras kepala.Tapi, ia memang tidak berharap Mamah akan langsung menerima Rachel sebagai menantu. Arkan paham, wanita yang melahirkannya itu pasti butuh waktu. Hanya saja, dia tidak tega melihat istrinya diperlakukan seperti itu.
"ng ... hmm ...."
Rachel gelisah dalam tidur, wanita itu bergerak-gerak tak menentu, kakinya menekan-nekan kasur yang sedang mereka tiduri.
"Sssshhh!" Arkan mengusap-usap lengan Rachel untuk menenangkannya.
Wanita itu lantas terbangun dengan nafas terengah-engah.
"Hey, it's OK. It's just a dream. Kamu baik-baik aja, Sayang." Arkan menenangkan.
Laki-laki itu mengusap bulir bening yang keluar dari netra sang istri. Rachel menyuruk masuk ke dalam pelukan suaminya yang hangat, beberapa menit kemudian dia beranjak tenang.
"Ada apa?" tanya Arkan. Tiba-tiba saja Rachel beringsut.
"Mau pipis, hehe."
Arkan mengangguk maklum. Tiga menit kemudian, Rachel keluar dari kamar mandi.
"Maaf ya, bikin kamu kebangun."
"Ah, enggak kok, aku emang belum tidur."
Rachel menatap wajah suaminya, lalu melihat jam di dinding, sudah jam satu malam.
"Kamu lagi mikirin sesuatu?" tanya Rachel.
Arkan diam saja, dia memberi isyarat agar wanita itu kembali ke dalam pelukannya. Saat hendak membaringkan diri, Rachel melihat helai kerudung segi empat yang ia pakai saat pengajian, dia berpikir tentang sesuatu. Hampir semua wanita di keluarga suaminya yang pernah ia temui menggunakan kerudung, kecuali yang masih anak-anak. Apakah itu salah satunya yang menjadi alasan Mamah tidak bisa menerimanya sebagai menantu? Karena ia tidak mengenakan kerudung, padahal ia sudah dewasa?
"Kamu gak minta aku pakai kerudung?" Pertanyaan itu Rachel memecah hening di antara mereka.
Arkan menatap wajah istrinya, menyentuh poni wanita itu, terasa begitu halus di kulit tangannya.
"Tentu aku seneng kalau kamu pakai kerudung, menutup aurat, sama seperti wanita-wanita di keluargaku. Tapi ...," Dia menjeda kata-kata. "Aku gak mau kamu pakai kerudung karena permintaanku, harus karena diri kamu sendiri. Ini perintah Allah, Chel, aku gak bisa maksa kamu untuk melakukan hal itu, cuma bisa berdoa semoga hati kamu Allah buka untuk bisa menggunakan kerudung dan menutup aurat secara sukarela."
Rachel menatap takjub sang suami, dia merasa dicintai dan diterima apa adanya, entah apa yang menyebabkan dia pantas dinikahi laki-laki sebaik Arkan. Tanpa dapat dicegah, bulir bening mengalir dari kedua netranya.
"Hey, kamu kenapa? Kok nangis, aku salah ngomong ya?" Arkan jadi cemas.
"No, I'm okay. Aku cuma terharu, terima kasih kamu mau menerima aku apa adanya. Terima kasih." Rachel memeluk erat sang suami dan menumpahkan semua emosi atas bahagia yang ia rasakan.
"Aku juga mau berterima kasih sama kamu, atas semua yang sudah kamu lakukan buat aku. Sejak pertama kali kita bertemu di washington, hingga hari ini. Terima kasih juga, karena kamu sudah bersikap baik sama keluargaku, dan ...." Arkan menghela nafas. X Maaf soal Mamah."
Rachel mendengarkan perkataan suaminya dengan seksama, saat mendengar kata 'Mamah', dia bisa melihat raut sedih di wajah laki-laki itu. Dia pasti merasa bersalah atas situasi yang mereka hadapi dua hari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanita Dari Ruang Rindu
RomanceArkan Ramadhan, anak laki-laki kebanggaan keluarganya. Dia menolak semua wanita yang dijodohkan dengannya. Padahal mereka adalah wanita-wanita shalehah dan terjaga. Mengapa Arkan bersikeras tidak ingin menikah?