Setelah seminggu diam di rumah Sunny dan tidak pergi kemana pun, Rachel memutuskan kembali bekerja. Pagi itu ia berangkat ke sekolah.
Sekolah Taman Kanak-Kanak Indonesia yang didirikan Rachel bersama Sunny dan beberapa temannya yang lain sudah berusia hampir lima tahun. Pengurus sekolah ini semuanya orang Indonesia, hanya ada lima orang asli Amerika yang bekerja di sini, yang pertama Sunny yang merupakan warga negara Amerika meski ibunya orang Indonesia, sebagai tenaga pengajar tiga orang, dan yang satu orang lagi hanya menjadi konsultan.
Murid-murid yang bersekolah di sini adalah anak-anak dari orang Indonesia yang menetap di Amerika Serikat. Ada yang bekerja, kuliah atau ada juga memang sudah diakui sebagai warga negara Amerika Serikat.
Saat istirahat siang, Rachel memilih untuk berdiam di ruangannya. Moodnya memang belum stabil. Dia merasa malas jika harus bertemu, menyapa atau mengobrol dengan orang-orang saat ini.
Dari balik jendela Rachel menatap anak-anak didiknya sedang berlarian di taman. Ingatannya melayang kepada bayi yang sudah dia paksa pergi.
Jika Rachel tidak membuangnya, mungkin bayi ituakan terlihat selucu mereka nanti. Suatu saat akan bersekolah di sekolah ini juga, akan ada seseorang yang menggelayut manja dan memanggilnya 'mama'.
"Maaf," Rachel bergumam dengan suara lemah. Ia membelai perutnya yang rata, lalu menghapus air mata yang sejak tadi mengalir tanpa disadari.
Wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu kemudian menutup tirai kantor. Dia berjalan menuju sofa dan mengambil bantal kecil yang selalu dipeluk saat menangis. Merebahkan badannya ke sofa, Rachel mulai menumpahkan semua emosinya. Semua yang telah ia coba tahan, tidak dapat terbendung lagi, semuanya tumpah.
.
Sunny hendak mengetuk pintu ruangan Rachel saat mendengar isak tangis dari dalam.
"Haaah ...!" Sunny menghempaskan sesak di dada, sahabatnya pasti sedang menangis lagi. Wanita blasteran Amerika-Indonesia itu sudah tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi Rachel yang seperti ini, dia sama sekali tidak berpengalaman. Sahabatnya itu selalu terlihat ceria dan banyak berkata-kata. Dia selalu bersemangat menatap kehidupan.
Kini semuanya berubah. Jika tahu akan seperti ini, Sunny pasti akan melarangnya melakukan aborsi, apapun alasannya. Tapi, bagaimana itu bisa? Rachel juga membuat keputusan tanpa mengatakan apa-apa padanya.
Jadi, apa yang harus Sunny lakukan sekarang? Membiarkan Rachel sendirian di rumah, ia pikir akan berbahaya. Dia takut sahabatnya berbuat nekat, membunuh dirinya sendiri. Tapi, membawa dia bekerja seperti biasa ternyata lebih menyiksanya lagi. Rachel harus melihat anak-anak didik mereka, itu membuatnya selalu teringat pada bayinya, dan berujung pada acara menangis seperti yang ia dengar sekarang ini.
"Miss?"
Tiba-tiba seorang staff menegurnya, membuyarkan lamunan Sunny seketika.
"Ya? Can I help you?"
"Saya mau bicara sama Miss Rachel, beliau ada di dalam?"
"Rachel ada tapi lagi gak bisa diganggu, tapi biar sama saya aja ya. Ada apa memangnya?" Sambil terus bercakap-cakap keduanya berjalan menjauhi ruang kantor Rachel.
***
Denting piano membangunkan Sunny dari lelapnya tidur. Ada seseorang sedang memainkan Comptine d'un autre été l'après-midi milik Yann Tiersen.
Wanita itu keluar dari kamar, saat ia menengok ke arah kamar Rachel, pintu terlihat terbuka. Dugaan Sunny, sahabatnya itulah yang sedang memainkan piano di ruang tengah rumah.
"Rachel pasti tidak bisa tidur lagi malam ini." Sunny berkata dalam hati. Dia bersandar pada dinding kamar mereka yang bersebelahan, lalu menghela napas dalam.
Sejujurnya, dia merasa kondisi Rachel sudah pada tahap mengkhawatirkan, sahabatnya itu butuh bantuan tenaga medis atau psikiatris. Tapi ini harus dibicarakan dengan serius, semoga ia dapat menemukan cara dan waktu yang tepat. Atau, apakah harus malam ini?
Sunny baru menyadari bahwa suara piano sudah berhenti, digantikan oleh suara tangis. Dia bergegas menuju tempat piano itu berada. Rachel di sana, sedang menangis sesenggukan, sambil menelungkupkan badannya.
Wanita berusia dua puluh sembilan tahun itu meraih sahabatnya segera, dia berjongkok di samping Rachel, melihat wajah pucat dan berair mata itu sungguh menyesakkan hatinya.
"Kamu tahu kalau Kamu gak sendiri, kan? I'm here with you" hibur Sunny. "Kalau Kamu mau menangis, menangislah di pundakku. Aku akan menemanimu, aku akan menangis bersamamu."
Sunny menyingkap poni Rachel dan menyampirkannya ke kuping, agar wanita yang sedang berduka itu dapat terlihat wajahnya dengan jelas.
Rachel tidak mengatakan apapun, hanya menangis dan menangis. Ia merasa begitu lemah, tubuhnya luruh dari kursi yang sejak tadi ia duduki, beruntungnya ia tertahan karena keberadaan Sunny. Rachel memeluk wanita itu.
Keduanya berada dalam posisi berlutut sambil berhadapan sekarang. Tangis Rachel semakin deras. Padahal ia sudah sering sekali menangis, tapi mengapa air matanya seolah tak habis-habis?
Setelah hampir satu jam dalam posisi seperti itu, Sunny membopong Rachel ke kamar membaringkannya di tempat tidur, lalu memakaikan selimut agar hangat.
"Apakah kita perlu pergi ke psikiatris? Menurutku kamu butuh bantuan sekarang, Sayang ...."
Sunny mengusap-usap pipi Rachel, dia telah memutuskan bahwa mereka harus membicarakannya malam ini.
"Aku tidak tahu harus melakukan apa dengan dirimu yang seperti ini. Aku ingin membantu, tapi aku bingung," kata Sunny
Tangis Rachel terhenti, ia diam saja, tapi Sunny tahu wanita itu mendengar semua yang dia katakan.
"Kau ingin aku bicara pada Arkan lagi?" tanya Sunny.
"Tidak, aku tidak ingin bertemu dengannya lagi. Melihatnya membuatku merasa sangat sakit" jawab Rachel. Setetes air mata keluar saat mengatakan itu, segera saja ia menghapusnya.
"Bagaimana dengan papamu? Kamu mau aku menelepon papamu?" Sunny pikir, mungkin ayah Rachel perlu diberitahu tentang kondisi putrinya.
"No, No, Don't! Please don't tell him!" Rupanya, Rachel lebih tidak ingin lagi jika ayahnya yang diberitahu. "Beri aku waktu, Sunny, aku akan baik-baik saja segera. Aku janji."
Rachel juga tahu, bahwa dia harus segera mengakhiri semua ratapan kesedihan ini, sama saja dengan menyiksa diri sendiri, itu sangat tidak bijak. Tapi, dia butuh waktu. Semua sudah terjadi, penyesalannya mungkin akan bertahan selamanya. Sampai kapanpun dia tak akan pernah memaafkan diri sendiri. Bagaimanapun, ini semua adalah kesalahannya, sejak awal dialah yang bersalah, dia akan menelan semuanya sendiri. Tidak ada orang lain yang boleh merasakan penderitaannya selain dia.
Tidak ayahnya, tidak Arkan, tidak juga Sunny.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanita Dari Ruang Rindu
RomanceArkan Ramadhan, anak laki-laki kebanggaan keluarganya. Dia menolak semua wanita yang dijodohkan dengannya. Padahal mereka adalah wanita-wanita shalehah dan terjaga. Mengapa Arkan bersikeras tidak ingin menikah?