Bab 22

982 56 0
                                    

Rachel menangis begitu pilu di dalam pelukan adiknya. Dia merasa amat tak berdaya saat ini. Dulu dia kehilangan Mama dan adikya, lalu kehilangan janin atas keputusanya sendiri, dan kini dia kehilangan papanya.

"Harusnya aku pulang dari dulu," kata Rachel. "Papa pasti capek kerja sendirian, harusnya aku bantu." Rachel terus meracau sambil memanggil-manggil sang Papa. "Papa ..., maafin kakak, Pa. Kakak yang salah."

"Papa gak akan balik lagi, Kak," kata Michelle, gadis itu tak henti mengusap punggung kakaknya.

Allohu Akbar! Allohu Akbar!

Terdengar suara adzan dari mushola perumahan mereka, Musholla itu dibangun atas inisiatif Papa.

"Sholat dulu yuk. Habis itu kita makan. Yuk?!" ajak Michelle

Keduanya bangun dari duduk. Rachel masuk ke kamar mandi, sementara Michelle menyiapkan sajadah dan mukena untuk mereka sholat.

Rachel meminta adiknya memimpin shalat Jama'ah, Michelle memang lebih fasih membaca Al-Qur'an, tidak seperti dirinya, dia hanya bisa membaca Al-Qur'an dengan terbata-bata.

Shalat mereka dipenuhi air mata. Bacaan-bacaan shalat diselingi dengan isak tangis.

"Ya Allah, kuatkan mereka Ya Allah," kata bi Sumi pelan.

Wanita yang sudah bekerja lebih dari tiga puluh tahun pada keluarga Utama itu merasa cemas karena kedua Nonanya tidak kunjung menyambangi meja makan. Dia mendatangi kamar tidur Rachel untuk melihat apa yang terjadi. Pintu kamar terbuka lebar, dia melihat pemandangan yang ada di dalamnya, membuatnya haru tapi juga membuat pilu.

.

.

.


"Makan dulu Yuk." Ajak Michelle pada kakaknya. Mereka sudah selesai menunaikan sholat.

Gadis itu mengerti sekarang, kenapa dia yang harus menjaga sang kakak, sesuai pesan sang ayah. Nyatanya, dia memang lebih kuat.

Tentu sedih kehilangan orang paling penting dalam hidupnya, tapi hidup harus terus berjalan. Banyak yang harus dilakukan. Michelle harus tegar, kuat dan mandiri seperti kata papanya. Dan Rachel, harus segera makan sekarang, sebelum dia jatuh pingsan.

Tentu Rachel mendengar apa yang dikatakan sang adik, setalah shalat dia sudah lebih tenang, tapi dia tidak lapar sama sekali.

"Kak?!" Michelle memanggil lagi.

Yang dipanggil hanya menggelengkan pelan. Rachel merebahkan dirinya di atas sajadah, berbaring miring dalam kondisi masih menggunakan mukena

Sang adik menghela nafas. Ini berat. Dia hampir frustasi dengan keadaan kakaknya. Apa yang harus dilakukan?

***

Sejak sepuluh menit lalu dia menatap sebuah nomor di daftar kontak teleponnya, nomor yang sudah lama tidak dihubungi, nomor yang sebenarnya sudah dia hafal setiap angkanya.

Dulu, dia berjanji pada seseorang, untuk tidak menghubungi nomor itu. Tapi sekarang situasi berubah, bukan? Sekarang, dia dan pemilik nomor itu sama-sama berada di Indonesia. Sedangkan Sunny tidak ada di sini. Mungkin tidak apa-apa jika dia menghubungi Rachel lagi.

Arkan mengetik tiga huruf di fitur pesan, lalu mengirimkannya ke nomor yang sejak tadi ia tatap.

Terkirim!

Nomor Rachel sudah aktif kembali rupanya. Dia akan menunggu sampai pesannya dibalas.. Ya, dia akan menunggu, tidak akan terburu-buru.

***

Suara bel terdengar, seseorang mendatangi rumah mereka pagi itu. Seorang pengacara bernama Jordan Situmorang. Itu pengacara pribadi almarhum pak Tommy.

.

"Ini adalah berkas-berkas dari aset-aset yang akan diwakafkan bapak sebelum wafat." Pak Jordan menjelaskan maksud kedatangannya.

Michelle membuka berkas-berkas yang dibawa sang pengacara, ada beberapa aset yang ia ketahui memang milik papanya.

"Baik, jadi bagaimana selanjutnya?" tanya Michelle.

"Kita akan melakukan serah terima dengan pihak pesantren."

"Apa tidak bisa diwakili aja, Pak?"

"Maaf tidak bisa, Bu, harus ada ahli waris sah yang melakukannya secara lagsung," jawab pak Jordan.

Michelle menjelaskan situasinya. Gadis itu harus mengurus perihal manajemen perusahaan ayahnya, dia juga harus mengurus sang kakak yang kondisinya sedang tidak baik, belum lagi urusan skripsinya yang terbengkalai, tidak terurus sama sekali.

.

.

.

Dan di sinilah Michelle sekarang, di sebuah kantor KUA di Tasik Malaya, di mana di salah satu kelurahan di wilayah tersebut terdapat beberapa asset pribadi ayahnya yang memang sebelum beliau wafat sudah diniatkan untuk diwakafkan.

Michelle datang ke tempat itu bersama Mang Agus dan pak Jordan Situmorang. Mereka sedang menunggu pihak yang akan menerima wakaf yaitu, pengurus pesantren Ibnu Sabil.

Hari ini gadis itu mengenakan atasan tunik berbahan kaos berwarna biru tua, dipadu celana kulot berwarna hitam serta kerudung berwarna biru langit yang ia temukan di bangku mobil bagian belakang saat.

"Assalamu'alaikum ...!" Ustadz Zulkifli dan putrinya--Anisa telah tiba di lokasi serah terima aset wakaf.

"Wa'alaikumussalam ...!" Semua yang hadir di ruangan serentak menjawab salam beliau.

.

Michelle menandatangani sebuah dokumen berjudul Ikrar Wakaf untuk mewakili almarhum Papanya, begitu juga dengan Ustadz Zulkifli sebagai penerima. Pak Jordan menjelaskan mengapa Michelle harus berada di sana sebagai ahli waris. Para hadirin, khususnya Ustadz Zulkifli merasa kaget mendengar kabar wafatnya Tommy Utama, sang wakif (orang yang mewakafkan hartanya).

"Inna lillaahi wa inna ilaihi rooji'uun." Serentak semua yang hadir mengucap kalimat tersebut.

"Saya tidak mengira akan seperti ini. Semoga Allah ampuni dosa-dosa pak Tommy dan Allah terima semua amal ibadahnya." Ustadz Zulkifli berdoa, diikuti ucapan 'Aamiin' dari semua yang mendengar do'a beliau.

.

.

.

"Bagaimana keadaan kak Rachel?" Anisa bertanya pada Michelle. Sebelum pulang, dua gadis seusia tersebut mengambil waktu untuk bicara empat mata.

"Buruk." Michelle menjawab pertanyaan gadis di hadapannya. Dia tidak tahu bagaimana harus menjelaskan keadaan Rachel pada orang yang tidak begitu dikenalnya itu.

Anisa termenung mendengar satu kata yang diucapkan adik sahabatnya. "Dia bisa diajak bicara?"

Michelle menggeleng.

"Dia mau makan?"

Lagi-lagi Michelle menggeleng.

"Boleh aku mengunjungi kakakmu?" Anisa terus bertanya, ia tidak peduli orang sedang ditanyainya berekspresi begitu suram.

"Silahkan, mungkin kamu bisa ajak dia bicara."

Bergegas Anisa meminta izin pada abahnya, untuk ikut dengan Michelle kembali ke Bandung. Dulu, gadis itu pernah menceritakan tentang Rachel pada Ustadz Zulkifli, dan kini, ia merasa Rachel sedang butuh bantuannya, lagi.


Wanita Dari Ruang RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang