Bab 21

985 51 0
                                    

"Sini, A'! Ngobrol sama ayah." Pak Yayan memanggil Arkan, putranya.

Setelah bu Nining meninggalkan mereka berdua, akhirnya ayah dan anak tersebut melanjutkan pembicaraan antar sesama laki-laki.

"Jadi, Aa teh sama sekali gak suka sama neng Anisa?" tanya pak Yayan.

"Bukan gak suka, Yah, gak ada perasaan apa-apa," kata Arkan.

"Maksudnya?" Wajah pak Yayan mengekspresikan ketidakmengertian.

"Maksudnya, Aa gak suka tapi gak benci juga, biasa saja. Sama aja kayak ke perempuan lain."

"Ooh ... Gitu." Pak Yayan mengangguk-angguk pelan.

"Aa enggak mau buru-buru nikah, mau membangun karir dulu, Yah. Banyak ini yang harus dipikirin."

"Emang gak ada sama sekali gadis yang Aa suka?"

Arka terpaku, mulutnya membisu. Sejurus kemudia ia menengadahkan wajahnya ke angkasa.

"Ada?" Pak Yayan mengulangi pertanyaannya.

Arkan tertawa kecut, dia menggelengkan kepalanya, lalu mendongak dengan ekspresi sedih.

"Saha (siapa)? Ayah boleh tahu?"

Bibir Arkan kelu, tidak mampu bicara mengenai wanita itu, tapi ia tidak ingin menyembunyikan apapun dari ayahnya.

"Arkan kenal dia di Amerika, kita dulu deket, Arkan sempet mau nikahin dia, tapi dia enggak mau."

Pak Yayan kembali mengangguk-anggukan kepala mendengar curahan hati anak sulungnya. "Sekarang dia masih di Amerika?"

"Dia sudah di Indonesia."

"Aa pernah ketemu dia di Indonesia?"

"Pernah, sekali."

"Terus ...?"

"Terus gimana? Dia nyapa aja gak mau. Kayak gak kenal sama Aa."

Pak Yayan mengelus punggung Arkan. Ternyata, anak laki-lakinya tersebut menyimpan kenangan cinta yang tak berbalas. "Yang sabar ya, A, kalau jodoh tidak kemana," katanya.

"Aa sudah gak berharap berjodoh sama dia, Aa merasa gak pantas, Yah." Bulir bening jatuh di pipi Arkan.

***

"Eta ngomongin apa sih mani serius pisan (itu ngomongin apa sih serius sekali)?" kata bu Nining, penasaran.

Setelah berlalu pergi, wanita itu mengintip interaksi suaminya dan anak laki-laki mereka dari balik pintu. Bu Nining sangat menyayangkan keduanya bicara begitu pelan, dia jadi tidak bisa menguping. Rasa iri datang menghampiri wanita itu, Arkan memang bisa bicara seterbuka itu dengan ayahnya. Sementara dengan bu Nining, sangat menjaga privasinya.

"Haaah ...." Wanita itu menghela nafas, merasa kalah, dia menyandarkan diri ke pintu yangg sejak tadi digunakannya sebagai pelidung aktivitas mengintip.

***

Sekali lagi, dia melihat aplikasi whatsapp di telepon selularnya, sunyi. Berkali-kali gadis itu mengirim pesan pada Rachel, tidak kunjung ada balasan, padahal pesannya sudah terkirim. Dia juga sempat menelepon, tapi tidak diangkat.

Anisa mengingat pembicaraan pertamanya dengan Arkan beberapa hari lalu. Laki-laki itu bertanya tentang Rachel, dia bilang, dia mengenalnya.

"Kapan mereka kenal? Di mana mereka bertemu? Apakah mereka berteman? Kalau hanya berteman, mengapa Arkan bertanya begitu spesifik tentang kondisi fisik Rachel? Jika mereka pernah dekat, sedekat apa?" Batin Anisa bertanya-tanya.

Setitik api cemburu muncul di hati Anisa, tapi cepat-cepat dia meyadarkan diri. "Astaghfirullahalazhiim," gumamnya pelan.

Anisa meraup wajah cantiknya. Gadis itu bertekad untuk tidak akan terbawa prasangka-prasangka buruk, dia tahu Rachel wanita seperti apa. Lagi pula, Arkan juga bukan siapa-siapa baginya. Mereka masih sebatas calon suami atau istri, belum tentu benar-benar berjodoh.

***

Sudah hampir sepuluh menit Michelle berdiri di sana, menatap sebuah foto. Benda itu terletak tepat di tengah dinding ruang tamu rumahnya.

Di dalam foto tersebut ada gambar lima orang sedang tersenyum bahagia. Mama, wanita itu mengenakan gaun berwarna merah muda. Ada anting berbentuk bunga sederhana menempel di kedua daun telinganya. Dia tersenyum manis.

Michelle tidak begitu ingat bagaimana Mamanya dulu. Gadis itu masih berusia lima tahun saat beliau wafat. Dia hanya ingat, wanita itu selalu mengusap lembut rambutnya dan tersenyum manis seperti di foto tersebut.

Mama mengendong bayi kecil berusia lima bulan. Itu Juni, adik Michelle. Dia bayi yang sangat lucu, selalu tertawa jika Michelle bermain cilukba dengannya.

Lalu ada dua gadis kecil di samping kiri dan kanan Mama, itu dirinya dan Rachel. Mereka mengenakan baju yang warnanya senada dengan baju yang dikenakan Mama. Ada bando berwarna keemasan di kepala keduanya.

Di sisi paling kiri ada pria yang selalu ia panggil 'Papa'. Seminggu lalu, pria kesayangan itu masih di sini bersama Michelle, berbicara padanya, menggodanya, mengecup keningnya, mengusap lembut kepalanya.

"Tangan hangat Papa ...." Michelle bergumam seraya mengusap bagian belakang rambutnya, mungkin saja masih tersisa hangat dari tangan itu. Tapi ....

Gadis itu mencampakkan tangannya, lalu menghempaskankan tubuh ke dinding yang berjarak sekitar sepuluh centimeter di belakang tempatnya berdiri.

Michelle menangis tanpa suara, ia memandang langit-langit rumah. Biasanya, rumah ini terasa begitu luas, tapi beberapa hari ini begitu sempit menghimpit.

Sementara di dapur bu Sumi sedang mempersiapkan makan malam untuk kedua anak mendiang majikannya. Dia mengambil beberapa piring saji.

"Pake yang ceper aja Bi." Teringat ia pada kata-kata pak Tommy beberapa hari lalu.Sejak ada non Rachel, beliau begitu bersemangat berperan serta dalam menyajikan makanan di rumah ini.

"Bikin sayurnya yang banyak, bi Sumi," pintanya. Beliau begitu khawatir mengenai kondisi anak sulungnya. Dia begitu kurus dan ringkih.

"Ya Allah, Ampuni dosa-dosa beliau, masukkan ke dalam surgamu. Aku bersaksi beliau orang yang sangat baik dan juga sholeh." Bi Sumi berdoa dalam hati.

"Non, makan malam sudah siap," kata bi Sumi pada Michelle.

Wanita itu mendapati Non bungsunya sedang termenung sambil memandangi foto keluarga. Mereka memang masih dalam suasana berduka, tapi perut harus tetap diisi.

"Saya panggil kakak dulu, Bi Sumi kalau mau makan duluan enggak apa-apa," kata Michelle. Gadis itu berjalan menaiki tangga rumah menuju kamar kakaknya.

Tok! Tok!

Michelle mengetuk pintu kamar Rachel, lalu membuka handle pintu, ternyata tidak dikunci.

Kamar sang kakak gelap gulita, gadis itu memencet saklar. Tidak terlihat Rachel di kamar itu.Michelle memeriksa setiap sudut kamar, juga memeriksa kamar mandi, tidak ada siapa-siapa.

Lalu, tirai kamar sedikit bergerak, Michelle menyingkap kain sepanjang dua meter tersebut.

Terlihat kakaknya di balik tirai, sedang menangis sambil memeluk lutut. Michelle merasa seperti ada yang menonjok dadanya melihat pemandangan itu.

Dia mendekati wanita kesayanganya itu, lantas duduk bersila di hadapan Rachel, kedua tangannya merengkuh bahu ringkih milik sang kakak. Mereka menangis bersama, lagi.

.

Wanita Dari Ruang RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang