Bab 34

1K 58 2
                                    

Setiap orang tua akan melakukan apapun untuk anaknya, begitu kan? Bahkan jika harus berbohong. Ya, Berbohong.

Pak Yayan menatap anak dan menantu barunya yang sedang sibuk menggoda Sarah. Dia telah menyusun kebohongan untuk kedua orang itu. Meski ini salah, tapi sepertinya ini jalan terbaik.

Kilas balik sehari sebelumnya.

Pagi hari itu, jarum jam menunjuk ke angka delapan. Beberapa jam lalu pak Yayan mengundang keponakannya untuk datang ke rumah.

Aksa Ramadhan datang memenuhi panggilan pamannya bersama istrinya yang bernama Laila.

"Sarah, panggil Mamah ke sini, Ayah mau bicara."

Anak bungsunya mendengar perintah itu dan melakukan apa yang diminta sang ayah.

Aksa dan Laila duduk di atas sofa di ruang tamu, mereka mengira pamannya akan mengatakan sesuatu yang penting. Aksa adalah sepupu Arkan, usia mereka hanya terpaut dua tahun, Arkan lebih muda.

"Aya naon, Mang (ada apa Om)?"

"Iyeu, Sa, si Arkan kamari (kemarin) akad nikah."

"Hah?! Sareng saha, Mang (sama siapa Om)?"

Aksa kaget mendengar sepupunya menikah tanpa mengabarinya.

"Sareng baturna waktos (sama temannya waktu) di Amerika."

"Naha atuh meni ngadadak kitu (kenapa mendadak begitu)?"

Nah, pak Yayan telah merancang cerita tentang hal ini. Sebuah kebohongan memang, tapi ini demi nama baik anaknya dan keluarga mereka.

Sebagai seorang ayah dia tidak mungkin membiarkan orang-orang tahu alasan sebenarnya Arkan menikah terburu-buru, tapi tentu keluarga besar dan tetangganya harus diberi penjelasan kenapa Arkan tiba-tiba saja menikah.

Pak Yayan telah mendengar banyak hal tentang Rachel dan keluarganya dari pria bernama Teddy yang tak lain adalah paman Rachel, juga dari Michelle adik Rachel, dan bi Sumi, orang yang telah mengasuh Rachel sejak kecil.

Laki-laki itu sangat prihatin mendengar semua yang terjadi pada menantunya selama dia hidup, ditambah lagi dengan apa yang dilakukan Arkan, bertambah lagi rasa iba.

Sejujurnya, dia merasa menjadi ayah yang gagal, tidak menyangka sama sekali bahwa Arkan tega menyakiti seorang wanita.

Tapi tentu ia mengerti, bahwa setiap orang bisa saja melakukan kesalahan termasuk sang anak.

Karena itu ia sangat bersyukur saat Arkan mengatakan dia akan menikahi Rachel. Entah apa tujuannya, entah karena cinta atau karena rasa bersalah, yang jelas, menurut pak Yayan itu keputusan yang bijak.

Yang harus dilakukan sekarang adalah, membuat semua keluarga dan handai taulan mengetahui pernikahan Arkan tanpa berpikir ada yang salah.

Dan yang lebih penting lagi, dia harus membuat Nining, istrinya, bisa menerima Rachel sebagai menantu. Jika wanita itu butuh waktu, tidak apa-apa, dia akan diberi waktu.

"Sabenerna mah, tos lila direncanakeun, samemeh Arkan uih ti Amerika (Sebenarnya sudah lama direncanakan sebelum Arkan pulang dari Amerika)."

"Tapi, Qadarullah, Papanya neng Rachel wafat can lila (belum lama), terus neng Rachel sempet gering babulan-bulan (sakit berbulan-bulan), Aksa."

"Jadi, katunda-tunda (tertunda). Nah, pas neng Rachel cageur (sembuh), si Arkan teh, tos teu hoyong nunda deui (tidak mau menunda lagi), langsung akad nikah pas neng Rachel uih (pulang) ti rumah sakit."

"Geuring naon (sakit apa) teh Rachel, Mang?"

"Loba (banyak), Aksa, kacapean (kecapean) jadi tipes, nya kurang gizi, dehidrasi, sempet depresi karena sedih Papahna wafat. Pokokna mah, karunya (kasian) pisan."

Aksa dan Laila mengagguk-anggukkan kepala mendengar cerita sang paman.

Bu Nining ternyata sudah hadir di ruangan itu. "Naha kudu depresi sagala, timbang ditinggal bapakna doang (Kenapa bisa pakai depresi segala, hanya ditinggal ayahnya aja)." sinisnya.

"Eh, Bi, kondisi psikologi setiap orang beda-beda atuh, aya nu kuat, aya nu lemah, gampang sedih dan terguncang. Tergantung latar belakang mereka."

Mendengar bu Nining bicara seperti itu, Laila, istri Aksa angkat bicara, dia sedikit mengerti tentang ilmu psikologi.

"Enya, Mah, tong sinis pisan atuh, neng Rachel udah jadi minantu Mamah ayeuna teh (Iya, Mah, jangan terlalu sinis dong, Rachel sudah jadi menantu Mamah sekarang)," kata pak Yayan.

Bu Nining mencebik, dia heran dengan sikap suaminya, padahal, laki-laki itu, tahu siapa yang paling diinginkannya untuk jadi menantu.

"Kumaha atuh ayeuna? Mamah kadung ngabejaan batur, si Aa bade nikah sareng neng Anisa (Sekarang bagaimana, Mamah sudah terlanjur memberitahu orang kalau si Aa akan nikah dengan Anisa)."

Suaminya menghela nafas. "Makanya, Mah, kan Ayah udah bilang, jangan buru-buru, si Aa'nya aja belum setuju, neng Anisa juga belum setuju, Mamah udah carita kamana-mana. Salah saha (siapa) emang?"

Bu Nining mendelik tak suka. Dengan gerakan kasar dia bangun dari duduk dan meninggalkan forum keluarganya itu.

"Orangnya cantik, Yah?" tanya Sarah. Adik bungsu Arkan.

Sejak mendengar kakaknya akan menikah, ia sangat penasaran, bagaimana rupa wanita yang sudah membuat kakaknya yang menyebalkan itu bertekuk lutut.

"Cantik, almarhum Papanya mualaf, orang Tionghoa, almarhum ibunya orang Bekasi, Jawa Barat."

"Nanti juga Adek ketemu, katanya hari ini atau besok mereka mau ke sini." Sarah tersenyum gembira mendengar bahwa kakaknya akan datang membawa kakak ipar cantik.

Kemudian obrolan dilanjutkan.

Kepada Aksa, pak Yayan meminta laki-laki itu dan istrinya untuk membantu kegiatan syukuran pernikahan yang rencana akan dilakukan beberapa hari lagi.

Sebenarnya sempat terpikir untuk mengadakan resepsi pernikahan sekalian, tapi waktunya pendek, dan lagipula, pak Yayan mengira bu Nining tidak akan mau terlibat di dalamnya. Dia sangat mengenal watak istrinya itu.

Kilas balik selesai.

Bu Nining mengamati wajah menantunya dari kejauhan. Wanita bernama Rachel itu baginya terlihat biasa saja. Kulitnya memang putih khas warga keturunan Tionghoa, rambutnya hitam, lurus panjang sepunggung.

Rachel tidak banyak bicara, dia asyik mendengarkan cerita Sarah dan mertua laki-lakinya dengan Arkan yang sesekali menimpali cerita mereka.

Sering Rachel memandang gemas wajah Sarah, sepertinya anak bungsunya itu juga sangat menyukai istri kakaknya.

Bu Nining berjalan bolak-balik di kamarnya sejak tadi. Merasa sebal dengan pemandangan yang ia lihat di meja makan sebelumnya.

Ada perasaan ingin bergabung dengan empat orang tersebut, tapi ada juga keengganan.

Wanita Dari Ruang RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang