Bab 11

1.1K 56 0
                                    

Waktu itu, Anisa tidak tahu apa yang harus dilakukan, dia hanya memeluk orang yang menabraknya dan mengusap-usap punggung wanita itu agar tangisnya reda.

"Ada apa, Nisa? Itu siapa?" Pamannya datang dan terheran-heran dengan apa yang ia lihat.

"Enggak tau, Mang, tau-tau si teteh ini nangis di sini," jawab Anisa.

Akhirnya, dia dan pamannya menunda kepulangan mereka, memberi waktu pada wanita tidak dikenal itu untuk menyelesaikan semua luapan emosinya. Anisa dengan setia mengusap-usap punggung rapuh di dalam pelukannya.

Secara perlahan-lahan Rachel mendapatkan kewarasannya kembali, usapan tangan seseorang di punggungnya benar-benar menenangkan hati.

"Maaf."

Lagi-lagi Rachel meminta maaf, melepaskan pegangan tangan pada gadis yang baru saja ditemuinya. Dia baru sadar sudah memegangi tangan kecil gadis itu erat sekali selama menangis tadi.

Lalu, dia melihat wajah pemilik tangan itu, ada sebuah senyum manis di sana. Secara otomatis Rachel juga tersenyum padanya.

"Maaf, saya terbawa perasaan tadi, maaf ya jadi ngagetin." Rachel mengusap sisa air mata di pipinya.

"Sudah dong minta maafnya, saya sudah maafin kok," kata gadis manis itu, senyum masih setia terpasang di wajah imutnya.

"Saya Anisa, ini paman saya Om Ali, kalau Kakak namanya siapa?"

Anisa menyodorkan tangannya untuk berkenalan, begitu juga Rachel.

"Saya Rachel, Rachel Utama. Anisa sudah lama tinggal di Washington DC?" tanyanya sedikit basa-basi.

"Enggak, Anisa cuma lagi liburan, rencana mau tinggal disini tiga bulan di rumah Om Ali. Nanti pulang lagi ke Indonesia."

Lalu, mengalirlah pembicaraan mereka. Rachel menjelaskan siapa dirinya dan apa yang dilakukannya di Amerika Serikat. Saat berpisah hari itu, Rachel dan Anisa memberikan nomor telepon masing-masing agar mereka dapat saling menghubungi di masa yang akan datang.

Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk bisa menjadi sahabat baik, bahkan, semakin lama semakin terlihat seperti kakak adik. Usia Anisa dua puluh tiga tahun, lebih muda empat tahun dari Rachel.

Gadis manis itu beberapa kali berkunjung ke sekolah tempat Rachel bekerja, juga ke apartemennya. Mereka saling berbagi kisah, Rachel juga menceritakan alasan dia menjadi histeris saat pertemuan pertama mereka.

Kepribadian Anisa sungguh sangat baik dan supportive, dia juga gadis dengan pemahaman agama yang cukup dalam. Anisa membantu Rachel keluar dari lubang gelapnya, belajar memaafkan diri sendiri, dan mengajaknya kembali kepada fitrahnya sebagai hamba.

Anisa yang ternyata putri pengelola sebuah pesantren di Tasik Malaya Jawa Barat itu, mengingatkan kembali bagaimana caranya sholat dan pentingnya membaca Al-Qur'an bagi kesehatan jiwa.

Rachel sangat menyayangi gadis mungil itu, sayang sekali dia harus kembali ke Indonesia besok pagi.

***

Sesuai perkataannya, pukul sembilan pagi dia sudah di Aberdeen, di rumah Ustadz Ali, paman Anisa.

Saat datang, gadis itu sedang berpamitan dengan sepupu-sepupunya. Mereka saling berpesan kepada satu sama lain. Rachel hanya tersenyum saja melihat itu semua.Ia jadi ingat adiknya sendiri, Michelle. Dahulu, hubungan mereka juga seakrab itu. Tak jarang memang bertengkar seperti layaknya seorang kakak dan adik, tapi saat mereka akur kembali, rasanya tidak ada yang bisa mengalahkan kekompakan mereka.

Sambil menunggu Anisa selesai berpamitan dengan anak-anak pamannya, Rachel mengambil telepon selular dari clutchnya. Dia mencari nomor adik kesayangannya dan mengetikkan pesan,

[Hei, Sayang. Bagaimana keadaan rumah Papa?] Setelah itu dia memencet tombol kirim.

Sejurus kemudian, Rachel melihat fitur galeri, banyak foto dirinya dan juga keluarganya di Indonesia yang sudah lama tersimpan disana. Tanpa sadar, tersungging senyum di bibirnya.

"Seneng banget sih kayaknya." Kata-kata Anisa itu mengejutkan Rachel.

"Lagi liat foto-foto adikku."

Rachel memperlihatkan foto-fotonya bersama Michelle kepada Anisa."Ini papa mama Kak Rachel?" tanya Anisa, saat itu dia melihat foto sepasang manusia seumuran ayah dan ibunya.

"Iya, ini papa, ini almarhum mama," jawab Rachel.

Tiba-tiba Anisa menghembuskan nafas berat, saat Rachel melihat gadis itu, wajahnya sedang cemberut.

"Kenapa?" tanya Rachel.

"Sebel banget sih, kenapa Nisa harus pulang hari ini ya? Padahal masih mau main sama kakak. Masih banyak cerita kakak yang mau Nisa dengar. Selama ini lebih banyak Nisa yang cerita-cerita." Gadis mungil itu merasa kecewa.

"Kan kita masih bisa whatsappan."

"Ya beda dong, kurang mantap kalau cuma teks pesan doang."

Jujur, saja Anisa memang sesayang itu pada Rachel, padahal wanita itu baru dikenalnya selama tiga bulan.

Sebagai anak paling tua, dari ayahnya yang juga anak sulung orang tuanya, Nisa adalah anak yang paling diandalkan di keluarga besar. Selalu diharapkan untuk menjadi paling dewasa.Gadis manis itu tidak pernah memiliki kesempatan bermanja-manja pada seseorang, khususnya kepada seorang kakak perempuan.

Bertemu dengan Rachel dan bisa dekat dengannya seperti sebuah oase kehidupan yang selalu Anisa inginkan selama ini.

Sama halnya dengan Rachel, baginya, bisa mengenal Anisa juga merupakan sebuah anugerah.Gadis itu begitu bahagia dan percaya diri. Caranya tertawa selalu membuat Rachel juga tertawa saat mereka bersama. Cerita-ceritanya yang lucu kadang-kadang juga konyol membuat Rachel melupakan kesedihannya.

Pengetahuannya tentang agama dan caranya menjelaskan kepada Rachel tentang ini itu sangat mudah dimengerti.

Rachel yang selama ini merasa kosong dan hampa, perlahan-lahan menemukan kembali jati dirinya sebagai seorang hamba.

"Cintai dirimu, seperti Allah yang selalu mencintaimu." Anisa berkata suatu hari. "Dia sangat mencintaimu Kak, that's why you're still alive. Dia ingin kamu menjadi orang yang lebih baik."

Saat itu Rachel sedang mengeluh betapa ia membenci dirinya sendiri setelah apa yang dia akukan atas bayinya.

"You are really a amazing person. Jangan kalah oleh rasa bersalah. Kakak sangat layak mendapat kebahagiaan."

Begitulah gadis mungil itu selalu membesarkan hatinya.

Sungguh, tiga bulan ini begitu luar biasa, Rachel benar-benar berterima kasih atas pertemuan mereka yang tak disengaja sebelumnya. Yang terpenting lagi, Rachel yakin bahwa ini adalah jalan hidayah dari Allah Yang Maha Kuasa.

Dia hendak menunjukkan kepada Rachel bahwa dia begitu dicintai. Rachel berjanji akan menjadi orang yang lebih baik.

Sejak bertemu Anisa, Rachel kembali shalat dan membaca Al Qur'an. Dahulu, jika sedang bersedih dan bingung Rachel melampiaskannya pada alkohol. Sekarang, dia akan menggelar sajadah, shalat dan membaca ayat-ayat suci.

"Janji sama aku ya!" kata Anisa tanpa suara, dia melambai-lambaikan tanganya.

"Aku janji." Rachel menjawab, juga tanpa suara, dia membalas lambaian tangan Anisa.

Waktu itu mereka sedang di Bandar Udara Internasional Washington Dulles, Rachel melepas gadis mungilnya pergi.

Beberapa menit lalu, sebelumnya Anisa melakukan check in, mereka berjanji untuk saling berbalas pesan. Dan jika Rachel ke Indonesia dia akan berkunjung ke kediaman keluarga Anisa.

.

Wanita Dari Ruang RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang