Bab 23

952 48 0
                                    

Dalam perjalanan Bandung-Tasikmalaya itu mereka tidak banyak bicara, sibuk dengan pikiran masing-masing. Michelle masih memikirkan tentang kakaknya. Gadis itu bingung apa yang harus dilakukan dengan sang kakak. Dia merasa sendiri dan merasa tidak berdaya.

Di sebelahnya, Anisa juga memikirkan orang yang sama. Rasa khawatir menyelimuti hatinya. Rachel belum pulih seratus persen dari depresi ketika di Amerika Serikat, sekarang dia mendapat pukulan yang baru.

Tiga jam perjalanan sudah mereka tempuh, mobil yang dikendarai mang Agus telah sampai di rumah keluarga Utama. Bi Sumi membukakan pintu gerbang untuk mereka. Sedangkan pak Jordan pamit untuk kembali ke kantornya.

Michelle mempersilakan Anisa untuk masuk ke kediaman keluarganya. "Silahkan masuk, tidak perlu sungkan, sekarang hanya ada aku dan kakakku," katanya. Gurat sedih terlihat jelas di wajah gadis itu.

Anisa diajak berjalan menuju ke dapur, agar ia beristirahat di ruang makan dan bi Sumi bisa menyajikan makanan serta minum. Sejak dulu, keluarga mereka memang terbiasa menjamu tamu di ruang makan.

"Gimana kondisi Kakak, bi Sumi?" tanya Michelle saat bi Sumi datang membawa sebuah nampan.

"Masih seperti sebelumnya, Non. Gak ada perubahan."

Sambil mendengar percakapan tuan rumah, Anisa meminum jus jeruk segar yang disediakan bi Sumi.

"Mau menemui Kakak sekarang?" tanya Michelle pada gadis itu.

"Jika tidak merepotkan," jawab Anisa.

"Ayo ikut aku!" Michelle menuntun Anisa menuju kamar Rachel.

Anisa merasa takjub dengan rumah yang sedang dikunjunginya. Bangunan dua lantai itu begitu megah dan mewah. Perabotan yang ada di dalamnya terlihat mahal, hiasan-hiasan unik hampir memenuhi dinding dari lantai atas dan sampai lantai bawah. "Tapi, entah kenapa rumah ini begitu sunyi, nuansa kesedihan begitu dalam terasa." Anisa membatin.

Michelle terlihat membuka pintu sebuah kamar. Mungkin, itulah kamar wanita yang sedang dicari-cari Anisa. Gadis seumuran dengannya itu lantas menyalakan lampu. Tidak terlihat siapapun di kamar itu.

Michelle mematung di tempat dia memencet saklar, memandang sedih ke sudut kamar. Anisa mengerti, itu Rachel. Dia pernah mengalami ini sebelumnya.

Dulu, saat awal pertemanannya dengan Rachel, dirinya sempat beberapa kali mendapati wanita itu bersembunyi dibalik tirai di jendela apartemennya, menangis sambil memeluk lutut di sana.

Anisa berjalan mendekati sudut kamar yang sejak tadi dipandangi Michelle, menyingkap tirai sepanjang dua meter yang menjadi tempat persembunyian sang pemilik kamar.

"Kak Rachel." Dia berjongkok dan menyapa Rachel yang sedang meringkuk seperti bayi.

***

Saat mendengar ada yang menyebut namanya, dia menoleh. Terlihat wajah seseorang yang ia kenal, itu Anisa, orang yang pernah menemaniya beberapa waktu di Amerika Serikat.Tapi kemudian, Rachel teringat, bahwa Anisa adalah calon istri Arkan, pria dicintainya sampai mati rasa. Wanita ringkih itu kembali ke posisinya semula, dia tidak peduli pada orang itu, dia hanya ingin menangis.

Sementara itu, Anisa merasa heran Rachel tidak merespon panggilannya. "Apa yang terjadi? Apa dia hilang ingatan?" Batinnya bertanya-tanya.

Gadis itu hendak bangun dari posisi jongkok, tapi tubuh bagian belakangnya menabrak nakas, ada sebuah benda jatuh. Itu sebuah buku.

Wanita Dari Ruang RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang