Bab 13

1K 64 0
                                    

Arkan memandang lekat purnama yang menampakkan dirinya dari jendela, sungguh sangat indah. Dia ingin tahu, bagaimana rasanya menjadi satu-satunya yang terlihat bersinar paling terang di angkasa yang begitu luas? Dia juga ingin tahu, bagaimana rasanya bisa mencintai diri sendiri? Bagaimana caranya agar dia bisa lepas dari rasa bersalah? Ini sungguh menyiksa.Arkan mengingat tentang Rachel dan bayi mereka yang telah pergi. Tidak ada satu malampun ia tidak mengingat wanita itu.


.

Di tempat lain, seorang wanita paruh baya sejak tadi memperhatikan anak laki-lakinya yang sedang menatap purnama dengan ekspresi yang begitu sedih. Itu bu Nining, ibu kandung Arkan.

Wanita berusia lima puluh tahun itu bertanya-tanya, apa sesungguhnya yang begitu menyiksa batin putranya. Jika bisa, ia ingin menggali dalam-dalam jiwa bayi laki-lakinya yang sudah menjelma menjadi pria dewasa itu.

"Lagi ngapain, Mah?" Suara seseorang mengusik lamunan ibu Arkan. Itu suaminya, pak Yayan.

"Ah enggak, lagi liat bulan." Wanita itu menjawab asal.

"Bulan ...?" Pak Yayan terheran, dia menatap bulan dengan tatapan aneh.

Tidak biasanya wanita yang sudah menemaninya hidup selama tiga puluh tiga tahun itu menghabiskan waktu hanya dengan menatap bulan.

"Yah." Bu Nining memanggil suaminya.

"Iya, Mah?" jawab laki-laki itu.

"Kenapa ya, si Aa enggak pernah mau dijodohin?"

"Padahal umurnya udah mau tiga puluh, Yah. Harusnya mah udah punya anak satu."

"Lagian Mamah teh kenapa atuh, pake acara jodoh-jodohan segala. Kayak jaman Siti Nurbaya aja." Ayah Arkan merespon keluh kesah istrinya.

"Si Aa juga baru beberapa bulan di Indonesia Mah, sabar atuh, biar dia menikmati dulu waktunya disini," katanya.

"Menurut Ayah, si Aa masih suka sama perempuan kan?!" tanya bu Nining.

"Astaghfirullahal azhiim. Ari si Mamah. Nu bener wae atuh! (yang benar aja dong!). Enggak mungkin si Aa kos kitu (seperti itu), Mah." Pak Yayan jadi geram sendiri.

"Mamah takut, Yah." Perempuan berdarah Sunda itu mengelus dada.

"Insya Allah, nanti juga si Aa nikah, ada jodohnya, ada waktunya. Mamah sabar aja, jangan mikir yang enggak-enggak. Berprasangka baik sama Allah. Begitu pak Yayan memberi nasihat pada istrinya.

Sang kepala rumah tangga menutup jendela kamar. Dia menyarankan istrinya untuk segera tidur.

Setelah memastikan seluruh pintu dan jendela rumah terkunci, pak Yayan mengetuk pintu kamar putra sulungnya.

Arkan membuka pintu dan mendapati wajah sang ayah di hadapannya.

"Aa udah mau tidur? Ayah mau ngomong sebentar."

"Belum, Yah." Arkan merespon pertanyaan ayahnya. "Mau ngomongin apa? Di dalam atau di ruang tamu aja? "

"Di dalam aja."

Selanjutnya terjadi percakapan serius antara Arkan dan ayahnya. Dimulai dengan beliau menceritakan kegundahan istrinya.

"Bukan karena apa-apa kok, Yah, Aa cuma mau fokus sama kerjaan dulu." Arkan mencoba menjelaskan alasannya terus menolak perjodohan yang dilakukan ibunya.

"Ayah juga tau, Aa anak pinter dan sholeh. Gak mungkin mengecewakan Mamah sama Ayah, iya kan?!"

"Iya, Ayah."

"Kalau-kalau, nanti Aa ada masalah terus butuh bantuan Ayah atau Mamah, Aa harus ngomong ya! Jangan disimpan sendiri." Pak Yayan meminta dengan sungguh-sungguh.

"Kalau Aa sedih atau terganggu, Aa boleh cerita sama Ayah," kata laki-laki itu lagi.

"Iya, Ayah."

Tiba-tiba Arkan diterpa perasaan haru bercampur sedih. Matanya berkaca-kaca mendengar perkataan ayahnya.

Pak Yayan memeluk putranya penuh sayang, Arkan membalas pelukan sang ayah dengan tangis yang tiba-tiba pecah.

Laki-laki hebat yang telah membesarkan Arkan sejak bayi merah itu lebih mengeratkan pelukan hangatnya. Ia tak ingin berkata-kata lagi, namun ia berjanji akan dengan sabar menunggu putranya siap menceritakan tentang semua gundah di hatinya.


Wanita Dari Ruang RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang