Bab 3

1.7K 110 4
                                    

Berkali-kali Arkan melihat jam tangannya. Hatinya bergelung resah. Berkali-kali pula ia menghembuskan nafas untuk menghilangkan kekesalan.

Bagaimana tidak kesal? Arkan sedang di penghujung deadline. Seharusnya saat ini Arkan berada di kamar, menyelesaikan sebuah proposal yang harus segera dikirimkan pukul empat sore nanti. Tapi yang terjadi sekarang justru lain dari harapan.

Dia ada di sebuah warung bakso, membawa banyak barang, dan tidak tahu apapun mengenai orang yang harus dia temui.

Bu Nining memintanya untuk mengantarkan kue pesanan. Katanya, mereka yang memesan menunggu di warung bakso.

Sebelumnya, Arkan berpikir, tidak apa kalau mengantarkan kue, paling hanya butuh waktu sepuluh menit. Makanya dia memenuhi permintaan itu.Tapi ini sudah hampir pukul dua siang, sudah lebih dari satu jam ia menunggu. Tapi, tidak ada siapapun yang menghampirinya untuk mengambil kue.

Arkan sudah menelpon ibunya dan menanyakan tentang orang yang akan mengambil kue.

"Tunggu aja dulu A', sabar ya!" Begitu kata sang ibu.

Arkan menggaruk-garuk rambut yang tiba-tiba gatal. Menyabar-nyabarkan dirinya sekali lagi. Bakso yang dia beli seraya menunggu sudah habis. Gelas minumannya sudah kosong. Lalu, dia memesan satu botol air mineral kepada pemilik warung.

Tiba-tiba masuk sambungan telepon di telepon selular Arkan, dari ibunya.

"A', itu yang mau ambil kue sudah di warung bakso, katanya berdua. Bu Yusi, nyuruh anaknya yang ambil kue, dua orang, tetehna sareng adina (kakaknya dan adiknya)."

"Yang mana, Mah? Disini banyak orang." Arkan menoleh ke samping kanan dan kiri.

"Katanya pake gamis biru, kerudungnya putih."

Di meja paling ujung, Arkan melihat sesosok wanita, menggunakan gamis biru dan kerudung putih.

Seketika perasaan kesal datang lagi. Kenapa sih mereka ini?! Dua wanita itu sudah sejak lama berada disana. Sedari tadi berbisik-bisik sambil melihat ke arahnya. Awalnya Arkan risih karena mereka bersikap seperti itu, tapi dia mencoba untuk mengabaikannya saja.

Dengan langkah tergesa Arkan mendatangi meja kedua wanita tersebut. "Permisi, maaf dengan mbak Aini?" Arkan bertanya kepada seseorang dengan ciri-ciri seperti disebutkan ibunya.

"Iya, Mas, eh ... Pak, eh ... Bang."

Si wanita menjawab dengan kikuk sekali. Arkan mengerutkan kening karena kekikukannya. Tapi ia memutuskan untuk tak peduli. Anak kesayangan pak Yayan dan bu Nining itu segera memberikan kue pesanan yang dia bawa.

"Ini kuenya, Mbak!" Segera ia berlalu dari warung bakso itu.

Arkan sadar nada suaranya sedikit ketus. "Mau bagaimana lagi? Siapa suruh membuatku jadi kesal? Mereka sudah tau siapa aku, mereka juga tahu aku sudah menunggu lama disana, kenapa tidak langsung ambil saja kuenya? Kenapa harus membuatku menunggu selama itu? Waktuku terbuang percuma jadinya." Begitulah Arkan berkeluh kesah di dalam hati.

Sesampainya di rumah Arkan disambut ibunya yang dengan antusias memintanya menceritakan pengalaman menunggu orang satu setengah jam itu.

"Jadi gimana, A'?"

"Gimana apanya, Mah?"

"Itu si Aini, anaknya Bu Yusi, Aa suka enggak?"

"Boro-boro suka, sebel malah."

"Kok sebel sih, A'?"

"Ya iyalah dia bikin Aa nunggu berjam-jam, Mah. Harusnya kerjaan Aa udah selesai sekarang." Arkan bersungut-sungut.

"Maklum lah, A', malu katanya. Bu Yusi bilang, dia gak pernah ketemu cowok tanpa ditemenin Ayahnya, jadi malu ketemuan sama Aa ditemenin adenya aja."

"Ketemuan gimana sih, Mah? Aa kan nganterin kue doang?".

Mendengar pertanyaan anaknya, Ibu Arkan tersenyum licik. "Pan sakalian kenalan, A', siapa tau Aa bogoh (jatuh cinta), terus ngelamar, terus nikah deh."


"Aeeuh, si Mamah. Udah ah! Aa capek, mau istirahat dulu di kamar."

"Jadi bogoh teu A'?"

"Gak." Arkan menjawab dengan tegas.

***

Selepas shalat Isya Arkan merebahkan tubuhnya di atas kasur. Mengerjakan tiga proyek sekaligus benar-benar membuatnya lelah lahir batin. Belum lagi aksi sang Ibu yang semangat sekali mencarikan jodoh untuknya.

Setelah dia menolak dijodohkan dengan putri Wa Dadang, dia pikir ibunya akan berhenti. Tapi ternyata semakin semangat melakukan audisi. Seharusnya cukup semua alasan yang sudah Arkan utarakan. Tapi ibunya benar-benar pantang menyerah.

Sejujurnya Arkan menolak gadis-gadis itu bukan benar-benar karena ia belum siap menikah. Bukan juga karena gadis-gadis itu tidak layak dijadikan istri. Justru layak sekali. Mereka gadis baik-baik. Tumbuh dalam penjagaan orang tua mereka. Bisa dipastikan mereka akan menjadi istri yang shalehah dan menurut pada suami.

Masalahnya, justru Arkan yang merasa tidak layak. Dia tidak layak untuk menjadi suami siapapun. Dia merasa tidak berhak untuk menikah dengan anak gadis dari orang tua manapun.

Dia pernah melakukan kesalahan. Dan rasa bersalah menghantuinya hingga hari ini.Dia menyakiti wanita itu. Dalam sekali.


Wanita Dari Ruang RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang