Dengan dada berdebar, Arkan berjalan menuju kamar rawat Rachel. Perlaham-lahan laki-laki itu memutar handle pintu dan masuk ke dalam ruangan. Terlihat sang pasien sedang berbaring miring membelakanginya.
"Harusnya kamu pulang, Abah dan Ummi pasti cemas." Rachel mengira, yang masuk ke ruangannya adalah Anisa.
"Maaf jadi merepotkan. Sebenarnya kamu gak perlu melakukan apapun buat aku," kata Rachel lagi.
Arkan tidak tahu harus mengatakan apa. Dia hanya diam membisu, berkali-kali menelan salivanya sendiri, tubuhnya kaku dan tidak berani bergerak sedikitpun.
Rachel merasa heran karena Anisa tidak kunjung merespon perkataannya. Dia membalikkan tubuh, lantas teperanjat saat melihat siapa yang sedang menemaninya di ruangan itu.
"Kamu?! Kenapa kamu di sini?!" Rachel berteriak.
Arkan hanya diam, wanita itu menatapnya heran.
"Kamu bisu atau apa?" tanya Rachel.
"Ehm ... gimana keadaan kamu?"
Arkan mengernyit mendengar pertanyaannya sendiri. Bukankah itu pertanyaan yang aneh? Terdengar seperti basa-basi. Apakah situasi saat ini cocok untuk melakukan basa-basi? Aah! Dia seperti orang bodoh sekarang.
"Aku baik. Kamu boleh pulang sekarang," kata Rachel.
"Adik kamu bilang, aku harus jagain kamu sampai bi Sumi datang."
Rachel mengerti sekarang, tiba-tiba tangannya terasa sangat gatal, dia ingin sekali menjitak adiknya yang tengil itu. Bisa-bisanya dia membiarkan Arkan menungguinya.
"Dimana Anisa?"
"Anisa sudah pulang, tadi subuh dijemput abahnya."
Ada sedikit cemburu di hati Rachel saat mendengar Arkan mengucapkan nama gadis itu. "Harusnya kamu ikut pulang sama calon istri kamu dan mertua kamu."
Arkan gelagapan. "Dia bukan calon istriku, sumpah Chel." Laki-laki itu membentuk huruf V dengan telunjuk dan jari tengahnya, "aku sama belum menyetujui perjodohan itu. waktu itu,Mamahku cuma lagi iseng."
Rachel mengernyit. 'lagi iseng'? Apa maksudnya itu?
"Si Anisa juga belum setuju, bener Chel, kamu tanya aja dia," kata Arkan. Dia benar-benar takut
Rachel mempercayai bahwa ia sudah bertunangan dengan wanita lain.
Beberapa menit setelah itu, mereka hanya diam membisu. Rachel tidak mengatakan apapun. Tapi kemudian, dia merasakan sesuatu yang mendesak. Rachel bangun dari posisi berbaring, lantas perlahan-lahan menurunkan kaki.
Pasien rawat inap itu dengan susah payah membawa tubuhnya berdiri, tapi rasa pusing melanda dan tubuhnya oleng.
Rachel terjatuh, tapi bukan di lantai, di dada Arkan, wanita itu refleks menjauhkan dirinya.
"Kamu mau ke mana? Biar aku bantu."
"Aku mau ke kamar mandi, ambilkan kursi roda."
Rachel melihat kursi roda di pojok ruangan sejak ia memperoleh kesadarannya. Sekarang tidak ada Michelle yang akan menopangnya berjalan, dia harus mengandalkan kursi roda yang tersedia. Sedangkan mengenai Arkan, dia belum merasa nyaman ada di dekat laki-laki itu.
***
Dengkuran halus terdengar di telinga Arkan, dia menatap wanita yang sedang terbaring di hadapannya. Rachel baru saja meminum obat, dan tidur setelahnya.
Rasanya, seperti mimpi. Dulu, dia hanya bisa melihat wanita itu dalam memorinya, tapi sekarang, Rachel benar-benar ada di hadapan Arkan.
"Mama ... Maa ...." Tiba-tiba Rachel bergumam. Dia gelisah dalam tidur. "Mama ... Mama ...!"
Suara Rachel terdengar semakin pilu, netranya bahkan meneteskan bulir bening. Arkan mengira Rachel bermimipi buruk, dia mencoba membangunkannya.
"Chel! bangun Chel." Arkan menggoyang-goyang pelan bahu Rachel.
Tak berapa lama, wanita itu terbangun, nafasnya terengah-engah. Rachel menutup wajah dengan dua tangan, lalu tangisnya pecah.
Arkan mengelus lembut punggung Rachel. "Itu cuma mimpi, Chel," katanya.
.
Tentu Rachel mendengar apa yang dikatakan Arkan. Tidak, itu bukan cuma mimpi. Itu adalah sesuatu yang mengerikan yang pernah ia alami. Entah sejak kapan Rachel mendapatkan memori itu lagi. Kenangan saat terakhir kali ia bersama ibunya.
Sebuah batang pohon besar menimpa mobil yang dikendarai sang Mama, menewaskan wanita tercinta itu dan adik laki-laki yang bernama Juni.
Waktu itu, Rachel yang berusia sepuluh tahun merasa sangat takut, suasananya gelap, dia terhimpit kursi mobil, Juni yang ada di pangkuannya berhenti menangis dan ibunya tidak kunjung menyahuti panggilan Rachel.
Alasan kenapa mereka berada di mobil itulah yang selalu menjadi penyesalan terbesar Rachel. Seharusnya, ia tidak memaksa untuk pergi malam itu, Mama dan adiknya pasti masih hidup sekarang.
Semakin mengingat kejadian itu, semakin ia merasa bersalah. Rachel selalu merasa tidak pantas untuk hidup atau untuk mereguk bahagia..Arkan dibuat bingung oleh Rachel yang menangis semakin deras, bahkan sampai terbatuk-batuk.
"Minum dulu." Dia megambil segelas air untuk diminum wanita itu.
Rachel menerima gelas yang disodorkan oleh Arkan. Dia berusaha keras menguatkan dirinya sendiri, "Aku mau tidur lagi, kamu boleh pulang sekarang. Bi Sumi pasti datang sebentar lagi," katanya.
Rachel membawa tubuhnya untuk berbaring kembali, tidur membelakangi Arkan. Kehadiran laki-laki itu di sini, saat ini, membuatnya kesal. Dia tidak suka Arkan melihat dirinya dalam kondisi lemah.
"Aku gak akan pergi, Chel, bahkan setelah nanti bi Sumi datang, aku gak akan pergi," kata Arkan. "Chel, ayo kita nikah!"
Rachel tidak suka dengan apa yang didengarnya. "Kamu ngelindur ya?" tanyanya, sinis."Aku serius, Chel, sebenarnya sejak di Washington, waktu aku tahu kamu hamil aku udah berpikir untuk menikahi kamu."
Rachel berharap Arkan berhenti bicara tentang pernikahan, ini membuatnya sakit. "Sekarang aku udah gak hamil, jadi kita gak perlu menikah," kata Rachel. "Lebih baik kamu nikah sama Anisa, dia baik, pinter, cantik dan shalihah, dia cocok buat kamu. Mama kamu juga suka banget sama dia."
Benar, Anisa memang sangat cocok dengan Arkan. Gadis itu pasti bisa membuatnya bahagia. Sementara Rachel hanya wanita sakit mental yang akan membuat Arkan repot. Dia tidak sebaik Anisa, dia tidak pantas untuk menjadi istri Arkan, bahkan tidak pantas menjadi istri siapapun.
"Aku gak akan menikah dengan siapapun selain kamu." Arkan mantap dengan keputusan hatinya.
"Aku gak akan menikah dengan siapapun, sampai kapanpun. Aku akan sendiri seumur hidupku." Rachel juga sudah mantap dengan keputusan hatinya.
Arkan menatap heran wanita yang sedang bicara dengannya, kenapa dia mengatakan kata-kata seperti itu?
"Bukannya kamu cinta sama aku?"
"Mencintai seseorang tidak berarti harus menikahinya." Rachel menjawab pelan, matanya menerawang. "Lagipula kenapa kamu mau nikah sama aku? Kasian? Aku gak perlu dikasihani sama kamu, Ar."
"Aku cinta sama kamu."
"Cih." Rachel tertawa mendengar perkataan laki-laki itu.
"Benar, Chel, aku cinta sama kamu." Arkan mencoba meyakinkan wanita dari ruang rindunya. "Dari dulu, ma'af kalau dulu aku gak ngerti perasaanku sendiri, aku emang bego soal itu."
Ini benar, Arkan memang mencintainya, setelah mereka berpisah, dia baru menyadari betapa ia menginginkan Rachel menjadi miliknya.
"Aku akan menikahi kamu, terserah kamu mau apa enggak. Dari dulu aku selalu nurut maunya kamu. Tapi kali ini gak akan."
Arkan menatap dengan tatapan menantang. Wanita yang ditatapnya hanya menghembuskan nafas dan bersikap apatis, lalu berbaring membelakangi dirinya kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanita Dari Ruang Rindu
RomanceArkan Ramadhan, anak laki-laki kebanggaan keluarganya. Dia menolak semua wanita yang dijodohkan dengannya. Padahal mereka adalah wanita-wanita shalehah dan terjaga. Mengapa Arkan bersikeras tidak ingin menikah?