Bab 20

1K 51 3
                                    

Rachel tidak mengerti, mengapa air matanya mengalir sejak tadi? Ada yang mengabarinya bahwa terjadi situasi darurat di kantor ayahnya. Mereka bilang Papa sakit.

"Pak Agus, cepetan, Pak!" kata Rachel pada sopir pribadi ayahnya.

Saat sampai di depan gedung kantor Utama Jaya, seseorang mengarahkannya menuju Masjid yang berada tepat di samping gedung. Banyak orang berkerumun di gerbang masjid. Rachel berjalan dengan hati was-was. Semakin wanita itu masuk ke dalam komplek masjid, semakin dia merasa hampa.

Dia ingin berlari, tapi kakinya sungguh terasa lemah. Para jama'ah masjid yang sebagian besar pria menatap kedatangan Rachel, mereka berbisik-bisik satu sama lain. Seseorang memerintahkan agar orang-orang memberi jalan pada Rachel.

Saat jalan itu terbuka, terlihat sesosok tubuh sedang berbaring ditutupi kain. Rachel bisa melihat baju dan celana yang dipakai sosok tertutup kain putih itu, baju putih dan celana panjang cokelat.

Itu Papa.

Wanita itu tak kuasa menahan tangis, dia meraung di tempatnya berdiri. "Papa ...!Rachel berteriak memanggil sang ayah, dia tidak dapat melanjutkan perjalanannya.

"Papaaaaa!"

Rachel teringat ketika ia berusia tujuh tahun, Papa datang menghampirinya sambil berlari tergopoh-gopoh saat mendengar Rachel menangis karena terjatuh.

"Papaaaaa!"

Rachel memanggil laki-laki kesayangannya itu lagi. Dia tak kunjung menyahut, dia tidak bangun.

"Sabar ya, Bu," kata seseorang. Rachel menangis histeris. Kemudian, semuanya gelap.

***

Dua orang wanita lajang kakak beradik menyaksikan semua proses pemulasaraan ayah kandung mereka dengan seksama. Keduanya saling menautkan tangan, membagi beban dan kesedihan. Air mata tak berhenti menetes dari dua pasang mata milik mereka

"Papa ... Papa ...." Rachel memanggil-manggil ayahnya, entah sudah berapa lama. Dia tahu, laki-laki itu tidak akan kembali. Tapi dia tetap melakukannya.

Saat jenazah almarhum Tommy Utama selesai dikafani, Rachel dan Michelle dipanggil oleh penyelenggara jenazah, mereka harus melakukan perpisahan terakhir. Anak yang paling muda lebih dulu menyapa jenazah sang ayah.

"Pa, selamat jalan, Pa. Adek sayang Papa, maaf kalau adek banyak salah. Kita ketemu lagi di surga ya, Pa."

Michelle menutup perpisahan mereka dengan kecupan panjang di dahi jenazah. Lalu ia membimbing kakaknya yang tampak lebih rapuh untuk memberikan salam perpisahan pada ayah mereka.

"Papa ...." Rachel memeluk jenazah ayahnya dan menangis pilu. "Maafin Kakak, Pa. Maafin Kakak, harusnya Kakak pulang dari dulu. Maafin Kakak, Pa."

Sambil menangis begitu deras Rachel memeluk jenazah ayahnya dengan begitu kuat, sampai-sampai membuat jenazah bergoyang ke kiri dan kanan. Melihat hal itu, Michelle menarik bahu sang kakak, dia memeluknya.

"Papa ...." Rachel lagi-lagi memanggil papanya dalam pelukan sang adik.

Michelle mengusap punggung Rachel untuk menenangkannya. Dia juga harus kuat, dia sudah berjanji menjaga sang kakak.

***

Kediaman bu Nining dan pak Yayan

Ini hari Minggu pagi, pasangan suami istri pemilik rumah tersebut sedang bersantai di teras rumah di depan kolam ikan. Di atas kolam ikan, terdapat sebuah jendela terbuka yang merupakan jendela kamar anak sulung mereka, Arkan.

Keduanya duduk di atas bangku panjang berbahan kayu kayu jati berpelitur cokelat. Di samping bangku ada sebuah meja, di atasnya terdapat dua buah cangkir, satu cangkir beisi cairan hitam pekat, satu lagi berisi the manis.

Sepiring kue pisang menemani pagi mereka yang begitu santai dan damai.

"Kamari neng Anisa sareng si Aa ngobrol duaan di dieu (Kemarin Anisa dan Arkan ngobrol berdua di sini)." Bu Nining berkata kepada suaminya.

"Ngobrolkeun naon (ngobrolin apa)?" Pak Yayan menanggapi perkataan istrinya dengan ekspresi yang tidak suka.

"Nya teuing atuh, pan Mamah teu di ajak (Ya tidak tahu, Mamah tidak di ajak ngobrol)."

"Emang si Aa udah mau dijodohin sama Neng Anisa?" tanya sang suami.

"Ah, nanti juga mau kalau sering ketemu mah."

"Mau apa tidak si Aanya, Mamah? Kalau tidak mau jangan dipaksa, nanti kasihan Neng Anisa, gak enak juga nanti sama Ustadz Zulkifli dan Ustadzah Aisyah."

Istri pak Yayan menghela nafas berat, dia tidak menjawab pertanyaan suaminya. Tapi laki-laki itu sudah tahu jawabannya.

"Naha ari Mamah teh sok kitu amat sih? (Kenapa Mamah begitu amat sih?), Si Aa teh memang anak Mamah, tapi bukan barang yang bisa di atur sakahayang (sekehendak hati) Mamah. Dia juga punya keinginan sendiri, Mah."

Nasihat sang suami itu telah berkali-kali bu Nining dengar.

"Jujur aja, Ayah gak suka Mamah ngejodoh-jodohin si Aa sambil maksa begitu. Apalagi sekarang melibatkan Neng Anisa dan keluarganya. Bisa berabe urusan kita, Mah. Kalau si Aa marah, terus kabur dari rumah gimana? Mamah kayak gak tau anak sendiri aja."

Akhirnya pak Yayan bisa mengeluarkan gundah di hatinya yang telah beberapa hari ini dia simpan.

"Nah, bener tuh Ayah, dengerin atuh, Mah." Tiba-tiba Arkan menampakkan wajahnya di jendela kamar, yang berada tepat di depan bangku panjang yang sedang diduduki ayah dan ibunya .

"Ih! Si Aa teh, mani reuwas (kaget sekali) Mamah!" Bu Nining sangat terkejut dengan kehadiran Arkan, tiba-tiba saja wajahnya muncul di jendela.

"Hehehe." Arkan terkekeh. Ia tahu bahwa mengagetkan ibunya, dia memang sengaja melakukannya.

"Jadi, Aa teh ngobrol apa sama neng Anisa disini kemaren?" tanya bu Nining penasaran.

"Rahasia dong," jawab Arkan sambil terkekeh.

"Nih yah, Ayah kasih nasihat ka Aa, kalau memang tidak mau bilang tidak mau! Jangan setengah-setengah begitu, kasihan anak gadis orang."

"Aa emang gak mau kok, Mamah aja yang maksa," jawab Arkan.

Bu Nining yang merasa sedang dihakimi menjadi terbawa emosi.

"Kumaha atuh, kok jadi Mamah yang disalahin? Emangnya enggak boleh kalau Mamah pengen punya mantu kayak Neng Anisa? Kan, ini juga buat kebaikan Aa sendiri. Punya istri gak perlu repot nyari-nyari, solehah lagi."

Wanita paruh baya itu merasa anak dan suaminya bersekongkol untuk menjatuhkan dirinya.

"Kalau dia baik dan sholehah Arkan setuju, Mah, tapi apa dia harus jadi istri Aa? Kan belum tentu, namanya jodoh bukan kita yang atur," kata Arkan, masih dari balik jendela.

"Mamah jangan garasak gurusuk (grasakk-grusuk) kitu, Mah, pelan-pelan, biar ujungnya tidak menyakiti banyak orang." Pak Yayan menimpali perkataan Arkan.

"Ah, sabodo teuing! Pokoknya, Mamah pengen Aa nikah sama neng Anisa! Titik."

Wanita itu meninggalkan suaminya di teras rumah dan juga Arkan yang masih terlihat di jendela kamarnya.

Kedua laki-laki yang ditinggalkan bu Nining menghela nafas, mereka tahu betapa keras perangai wanita kesayangan mereka tersebut.

Wanita Dari Ruang RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang