Di sebuah kamar, terdapat 2 orang dengan posisi berbeda. Salah satu diantaranya sedang terbaring lemah di ranjang, sedangkan yang lainnya berdiri tegak dengan tatapan dingin.
Kamar yang temaram membuat penglihatan sulit melihat ke dalam ruangan. Gadis itu terlihat tenang dalam tidurnya, tanpa merasa bahaya saat pria dengan tatapan tajam itu melihat kearahnya dengan hastrat membunuh dari dalam dirinya.
"Setelah melakukan upaya bunuh diri 2 bulan lalu, apalagi yang kau rencanakan Cecil? " Jarinya menarik sejumput rambut gadis yang di sapa, Cecil.
Cecil tidak menjawab, dengkuran halus terdengar dari sela bibirnya yang terbuka. Cahaya lampu balkon masuk menerangi sebagian wajahnya. Membuat gadis itu terlihat bersinar meski sedang tertidur.
"Apapun itu, lakukanlah. Lakukan sampai kamu puas. "
Nada datar masih konsisten ia gunakan. Tak berniat mengganti intonasi nadanya.
Ia menarik tangannya saat Cecil bergerak gelisah dalam tidur. Entah apa yang ia mimpikan, tapi dari gerak tubuhnya jelas jika itu bukan sesuatu yang baik.
"Kau bahkan tidak mendapatkan ketenangan walau dalam tidurmu. Hidupmu..... Miris. "
Ia memandang sekali lagi wajah yang sudah 10 tahun menemani hari-harinya dan membuat hidupnya runyam, sebelum keluar dari kamar itu meninggalkan Cecil dengan mimpinya yang membuat ia gelisah.
Sampai pagi menjelang, Cecil masih memimpikan hal yang cukup menyeramkan. Tidak dapat disebut mimpi, tapi lebih ke arah memori yang ditinggalkan seseorang.
Ia memimpikan semuanya. Tentang kehidupan seorang Cecil sepanjang ia hidup sampai akhirnya jiwanya tergantikan oleh gadis dengan phobia bicara itu, Thanaya Vebryana.
Gadis malang itu, yang tidak tahu apa-apa harus menanggung segala perbuatan yang ditinggalkan Cecil. Sang pembuat onar.
Cecil bangun di pagi hari dengan keringat di sekujur tubuh. Kepalanya yang terlilit perban terasa sakit. Saat memori memasuki otaknya dengan paksa, ia harus menanggung semua kesakitan yang tak pernah ia rasakan.
Sampai akhirnya semua terasa lebih ringan. Rasa sakit yang menghentakkan kepala, mereda. Membuat otot-otot kepalanya menjadi rileks.
"Hah, semua terlalu tiba-tiba. Aku tidak tahu, haruskah aku menangis, atau tertawa. " Dia mendengus sedih.
Pikirannya kacau, hatinya lebih parah dari pada pikirannya.
Perasaan yang ia punya, memori lamanya tentang kedua orang tuanya, tentang adiknya yang ia tinggalkan. Semua bercampur menjadi emosi yang sulit di ungkapkan.
Bahkan, meski ia sulit berbicara pada orang asing, ia masih merasa gelisah saat sendiri.
"Semua asing disini. Ayah, ibu, Rena, aku kesepian. " Dia menunduk sedih. Semua yang ia sayangi berada di dunia sana. Sedangkan disini, ia tak memiliki siapapun untuk dijadikan sandaran.
Dia menangis pilu saat membandingkan kasih sayang yang ia terima dengan kasih sayang yang Cecil rasakan.
Bersama orang yang ia cintai saja ia masih belum bisa mengendalikan phobia anehnya, sekarang ia berada di tempat asing dengan orang-orang asing, bagaimana ia harus menghadapi hidup ini?
Tubuh ini sehat, namun terasa sia-sia saat jiwa yang menempatinya sakit.
Thana tidak memiliki kakak laki-laki, ia juga tidak terbiasa dekat dengan laki-laki, tapi saat ia menempati tubuh Cecil, ia memiliki keduanya. Saudara laki-laki, dan seorang laki-laki yang sangat tampan. Tapi sayang, mereka disini bukan untuk melindungi Thana, mereka disini untuk menghancurkan tubuh Cecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mute Villainess
FantasyR16+ Dulu, kupikir selama aku diam semua akan baik-baik saja. Kini aku sadar, bahkan dalam sunyi, tak ada tempat bagiku untuk bersembunyi. Dia mampu mengetahui keberadaan ku, bahkan di tempat paling sunyi, dengan bibir tertutup rapat. ➹➷ "Padahal a...